Tama sedang di kamar mandi saat ponselnya yang tergeletak di atas tempat tidur berdering. Nadin bangkit berdiri dari sofa, meraih ponsel Tama dan melihat nama Yunita yang ternyata menelpon suaminya. Nadin terdiam, dia ragu apakah akan menjawab panggilan itu atau tidak.
"Halo, Mas?"
Suara Yunita terdengar diseberang sana saat Nadin mengangkat panggilan teleponnya.
"Mas, kamu-"
"Mas Tama tidak ada, dia sedang di kamar mandi." Nadin menjawab.
Yunita di sana terdiam sebentar sebelum akhirnya suara lembut dan penuh rasa bersalahnya terdengar lagi.
"Mbak Nadin, Aku minta maaf kalau Mbak merasa aku selalu merepotkan Mas Tama," ujar Yunita.
"Kamu sadar ternyata, kalau begitu stop ganggu Mas Tama, kamu bisa minta tolong orang lain buat membantu kamu, entah itu antar-jemput atau bantu mengurus Kaila. Mas Tama punya istri dan anak, dia tidak bisa selalu meluangkan waktunya untuk kamu." Nadin berbicara panjang dan lebar, hanya agar Yunita sadar bahwa ia dan Dinda lebih berhak dan membutuhkan waktu Tama.
"Maaf, Mbak. Aku bener-bener bingung mau minta tolong sama siapa lagi selain Mas Tama. Kaila sudah menganggap Mas Tama sebagai ayahnya sendiri, jadi aku-"
"Kaila menganggap Mas Tama sebagai ayahnya, jadi Dinda bukan anaknya?" tanya Nadin dengan nada tidak sedap. Dia tiba-tiba teringat akan noda lipstik di kerah kemeja Tama yang dia temukan tadi pagi, "Jangan berpikir macam-macam tentang Mas Tama, Yunita. Kamu mungkin memang sahabatnya sedari kecil, tapi kamu sendiri yang lebih memilih menikah dengan orang lain dan membiarkan Mas Tama menikahi aku." Setelah itu Nadin menutup panggilan telepon.
"Siapa yang menelpon?" tanya Tama yang baru saja keluar dari kamar mandi.
Nadin berbalik dengan tenang, "Yunita, tapi aku suruh dia telepon lagi pas kamu selesai mandi."
Mengangguk, Tama mengambil pakaian yang telah Nadin siapkan untuknya.
"Kamu habis ini mau kemana, Mas?"
"Enggak kemana-mana. Memangnya kenapa?"
"Aku mau minta antar ke mall, udah lama banget, kan, kita enggak ke mall."
Tama terlihat mengangguk-anggukan kepalanya, ia selesai memakai pakaian, melangkah menghampiri Nadin. Nadin menatap bingung dengan apa yang akan Tama lakukan, ternyata lelaki itu membungkuk, mencium bibir Nadin dengan intens. Nadin sama sekali tidak menolak, dia mengalungkan kedua lengannya di leher sang suami, ikut membalas lumatannya. Lidah keduanya saling bergulat, bertukar saliva yang ketika Tama melepaskan ciuman mereka, sebuah benang perak tertarik memanjang di antara bibir keduanya.
"Mas, ini masih pagi." Nadin memprotes saat Tama mengangkat tubuhnya dan membaringkan dia di tempat tidur.
Tama tidak mengatakan apapun, pria yang baru saja memakai pakaian itu kembali melepaskan pakaian atasnya.
"Nanti Dinda bangun, ini udah jamnya Dinda buat bangun."
"Satu kali aja, oke?" bujuk Tama, menurunkan kepalanya, menelusuri leher jenjang Nadin dengan bibirnya.
"Kamu baru aja mandi, ugh." Nadin menggeliat saat Tama menghisap lehernya, "Jangan ninggalin bekas, Mas!"
Tama terengah-engah, dengan liar terus mengecup leher hingga tulang selangka istrinya, dia sama sekali tidak mendengarkan istrinya bicara. Ketika suasana keduanya sedang memanas, ponsel Tama kembali berdering.
"Hah... Mas, ada yang nelpon kamu," ujar Nadin mengingatkan suaminya.
"Biarin," jawab Tama tidak peduli.
Namun nampaknya si penelpon sangat gigih, ketika panggilan pertama tidak ad ayang menjawab, dia terus menelpon hingga Tama menyingkir dari atas tubuh istrinya karena kesal. Tama mengambil ponselnya, saat dia melihat nama yang tertera di layar ponsel Tama hanya menghela nafas, pergi ke balkon untuk menerima panggilan.
Nadin menebak siapa yang menelpon Tama, kemungkinan besar itu adalah Yunita. Nadin bangkit dari tempat tidur, dia berjalan pada kaca rias, melihat tanda merah yang tercetak jelas di lehernya.
Di balkon, Tama sepertinya sudah selesai menerima telepon. Ketika Nadin berbalik, pria itu datang padanya dan menatap Nadin dengan tajam.
"Kenapa?" tanya Nadin pada Tama. Meskipun ia juga menebak Yunita mungkin mengadu pada Tama karena apa yang ia katakan sebelumnya di telpon. Nadin pikir Tama akan sangat marah, tapi siapa yang tau pria itu hanya akan menggelengkan kepalanya dengan pelan.
"Kamu bangunkan Dinda kalau kamu mau ajak dia pergi juga," ujar Tama pada istrinya.
Apa yang Tama katakan membuat Nadin menatapnya dengan heran, tapi di dalam hati Nadin senang karena Tama tidak mempedulikan apapun. Nadin menganggukkan kepalanya, keluar dari kamar untuk membangunkan Dinda di kamarnya.
***
Setengah jam kemudian, keluarga yang terdiri dari tiga orang itu sudah berada di dalam mobil dengan Tama yang mengendarai mobilnya. Nadin duduk di samping Tama sedangkan Dinda duduk di kursi belakang. Tama melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang menuju mall terbesar di ibukota.
Setibanya di mall, Tama memarkirkan mobilnya di parkiran mall, berbaris rapi di antara mobil-mobil lainnya.
"Ayo keluar," ajak Tama.
Nadin mengangguk, ia keluar dari dalam mobil, setelah itu membantu putrinya melepaskan sabuk pengaman. Setelah semua orang keluar dari dalam mobil, mereka berjalan beriringan, masuk kedalam mall yang ramai akan pengunjung.
"Mas, kita mampir ke sana dulu, yuk!" ajak Nadin, menunjuk salah satu toko brand fashion yang menjual baju anak-anak seusia Dinda.
Tama mengangguk, ia hanya mengikuti ibu dan anak itu di sepanjang jalan. Manik mata Tama melihat kesekeliling, ia akan berdiri di pojokan atau duduk di sofa yang disediakan jika Nadin sibuk memilih pakaian. Ketika Tama duduk di sofa, ponselnya dalam kantung kemeja bergetar. Tama melihat sebuah pesan yang dikirim Yunita.
Yunita: Habis minum obat langsung tidur ❤️
Wanita itu juga melampirkan sebuah foto Kaila yang tertidur pulas. Tama tanpa sadar menarik sudut mulutnya dan tersenyum, hatinya selalu sangat senang bahkan saat dia hanya menerima kabar sepele seperti ini dari Yunita. Membalas pesan Yunita, Tama mendongak melihat ke kejauhan di mana istri dan putrinya sedang asik berbelanja. Ada sedikit perasaan bersalah yang Tama rasakan pada Istrinya, apalagi saat Tama mengingat malam kemarin di mana dia hampir saja khilaf melakukan sesuatu dengan Yunita. Tama memang mencintai Yunita, tapi tidak pernah singgah dipikirannya untuk mengkhianati Nadin. Tidak pernah sedikitpun.
"Mas, aku udah selesai, tinggal bayar!" Nadin mendatangi suaminya.
Tama tersadar dari lamunannya saat Nadin datang, pria itu mengangguk, berdiri untuk membayar belanjaan yang istrinya beli.
"Pa, Dinda beli sepatu princess!" Dinda berkata pada ayahnya dengan nada semangat.
"Oya? Nanti Papa lihat gimana sepatu princess anak Papa," ujar Tama menanggapi Dinda.
"Iya!" Dinda sangat senang, anak itu berdiri di samping ayahnya, ingin ayahnya yang menuntun ia sepanjang jalan.
Selesai membayar di kasir, Tama bertanya pada Nadin, "Mau kemana lagi?"
"Keliling dulu aja, aku pengen beli peralatan dapur, soalnya udah lama enggak diganti."
Tama mengangguk, telapak tangan besarnya menggenggam tangan kecil dan lembut sang putri.