Bahkan ketika keesokan harinya Nadin terbangun, Tama masih belum pulang sedari semalam. Nadin menahan amarahnya, ia pergi mandi di pagi hari lalu membangunkan Dinda karena anak itu harus masuk sekolah. Nadin sebenarnya sudah meminta izin dari guru untuk lima hari libur Dinda, tapi karena mereka pulang lebih awal dari waktu yang ditentukan, anak itu harus kembali ke sekolah.
"Dinda bangun, yuk, sayang." Nadin menepuk tubuh putrinya dengan pelan hingga anak itu menggeliat dengan malas.
"Nanti aja, Ma sekolahnya~ Dinda ngantuk."
Nadin menghela nafas, ia juga berpikir bahwa putrinya tidur larut malam semalam. Pada akhirnya Nadin membiarkan Dinda untuk kembali tidur, ia sendiri pergi mandi dan mulai melakukan aktivitasnya sebagai seorang ibu dan seorang istri. Nadin memasak sarapan terlebih dahulu, untuk hari ini dia membuat nasi goreng yang cukup mudah di buat.
Untuk bahan Nadin cukup menyiapkan nasi putih, beberapa butir telur, beberapa ekor udang, dan sayur secukupnya. Dan bumbu yang Nadin gunakan adalah bawang putih, cabai rawit, bawang bombay, saus tiram, garam dan lada bubuk. Pertama yang Nadin lakukan adalah mengocok telur dan menggorengnya menjadi telur orak-arik, ia lalu menumis semua bumbu yang telah di cincang hingga bau harum keluar dari wajan, setelah itu masukan telur orak-arik, masukan sayuran dan tumis hingga layu. Baru di step terakhir masukan nasi putih, beri saus tiram, garam dan lada bubuk secukupnya dan aduk hingga rata. Nadin juga menggoreng kerupuk untuk teman sarapan.
Selesai memasak dan menyajikan nasi goreng itu di meja makan, Nadin seperti biasa membereskan dapur dan alat memasak yang kotor. Karena lapar, setelah semua itu selesai Nadin mulai menyajikan sepiring nasi goreng untuk dirinya sendiri. Di saat seperti ini, Nadin sadar bahwa sarapan di meja yang sama dengan Tama sangatlah jarang mereka lakukan. Jika Tama tidak sibuk 'menemani' Yunita dan putrinya, maka pria itu akan sibuk dengan pekerjaan, langsung berangkat ke perusahaan tanpa memakan sarapan.
"Aku pulang!" Suara Tama terdengar, pria itu melangkah masuk kedalam rumah.
Nadin membersihkan piring bekas dia sarapan, bergegas menyambut Tama yang baru saja pulang.
"Kaila udah baikan?" tanya Nadin.
Tama menganggukkan kepalanya, ia melepas jas yang dia pakai, meletakkannya di sembarang tempat.
"Udah, Kesehatan Kaila akhir-akhir ini sering terganggu, makannya aku enggak bisa ninggalin Yunita sendiri buat jaga Kaila." Tama menatap istrinya, memegang bahu wanita yang sudah delapan tahun itu menemani ia, "Maaf, ya. Aku harap kamu mengerti."
Mengangguk, Nadin benar-benar tidak ingin lagi beradu argumen dengan Tama.
"Syukurlah kalau Kalian udah sehat, kamu udah makan?" tanya Nadin.
"Belum, aku langsung pulang karena khawatir sama kamu dan Dinda," jawab Tama dengan senyuman.
"Kalau gitu kamu mau mandi dulu atau makan dulu?"
"Aku mau mandi dulu."
Setelah mengatakan beberapa patah kata lagi, Tama melenggang pergi menuju lantai atas untuk mandi. Nadin mengambil jas yang tergeletak begitu saja di sofa. Ia juga menyusul Tama kelantai atas, pria itu biasanya akan meletakan di mana saja pakaian kotornya hingga Nadin harus memunguti satu persatu. Dan benar saja, ada kemeja Tama yang dari semalam belum pria itu ganti tergeletak di atas tempat tidur. Nadin mengambil kemeja berwarna putih itu, lalu kembali keluar kamar untuk meletakan baju-baju kotor Tama di ruang laundry.
"Bu," sapa Asisten rumah tangga Nadin yang telah tiba dan sedang mengerjakan tugasnya.
"Ini sekalian cuci, ya, Bi." Nadin menyerahkan pakaian Tama pada Bi Lastri.
Wanita setengah baya bernama Lastri itu menganggukkan kepalanya. Mengambil pakaian yang Nadin berikan. Mengecek sebentar, kening Bi Lastri berkerut, bertanya dengan bingung pada Nadin, "Ini bekas merah di kemeja Bapak bekas apa, Bu?"
Perhatian Nadin tiba-tiba beralih pada kemeja itu. Mungkin karena tadi Nadin membawanya dengan cara yang berantakan, dia sama sekali tidak melihat noda merah di kemeja Tama.
"Coba saya lihat dulu." Nadin mengambil kemeja suaminya dari tangan Bi Lastri.
Mengamatinya sebentar, Nadin menyadari bahwa itu adalah noda lipstik. Tangan Nadin tiba-tiba sedikit membeku, menebak di mana Tama mendapatkan noda lipstik berwarna merah itu di kerah bajunya. Ada tebakan di hati Nadin, tapi dia benar-benar tidak ingin menuduh secara sembarangan karena bisa saja bekas lipstik ini Tama dapatkan secara tidak sengaja.
"Bu? Bu?" Suara Bi Lastri yang memanggilnya membuat Nadin tersadar, dia buru-buru mengembalikan kemeja kotor itu pada Bi Lastri.
"Itu belas lipstik saya, mungkin Dinda yang mainkan."
Bi Lastri menganggukkan kepalanya mengerti.
Nadin pergi dari ruang laundry dengan tatapan kosong. Otaknya penuh dengan pikiran yang berkecamuk.
"Itu mungkin cuma kebetulan, noda biasa," bisik Nadin dalam hati, dia masih mau mempercayai suaminya.
"Kamu kenapa?" Tama yang baru saja turun dari lantai dua melihat sang istri yang berjalan sambil melamun.
"Enggak pa-pa. Mau makan sekarang?" tanya Nadin.
Tama menganggukkan kepalanya.
"Dinda belum bangun?"
Nadin menggeleng.
"Dia marah sama aku?"
"Kamu harus ngomong langsung sama Dinda," ujar Nadin sebagai jawaban dari pertanyaan suaminya.
Tama duduk di kursi meja makan, "Dinda harus diberi pengertian, dia harus lebih banyak peduli sama Kaila."
"Kenapa Dinda harus mengerti kamu yang lebih banyak menghabiskan waktu sama Kaila dan Yunita? Kamu yang harusnya mengerti kalau Dinda masih kecil, dia butuh lebih banyak perhatian dari kamu." Nadin mengatakan itu tanpa mengangkat wajahnya.
"Bukan itu, Na. Kaila sakit, tentu Dinda harus mengerti. Vino udah enggak ada, Kaila enggak punya tempat buat-"
"Masih ada ibunya, Mas, masih ada Yunita. Jangan ngomong seolah-olah Kaila itu sebatang kara."
"Kalau Yunita dengar kamu bicara kaya gini, dia pasti sedih, Na. Yunita itu peduli sama kamu dan Dinda, semalam dia bahkan nyuruh aku buat pulang. Kurang apalagi dia sama kamu?"
Nadin meletakan piring yang sudah terisi nasi dan lauk pauk di atas meja makan dengan sedikit keras hingga menimbulkan suara.
"Dia nyuruh kamu pulang karena kamu suami aku, Mas. Lagian Yunita bisa aja minta temenin temen-temennya yang lain, enggak harus kamu, kan. Kadang aku suka heran sama kamu, semua yang keluar dari mulut kamu itu seolah-olah aku selalu menjadi seseorang yang egois dan enggak masuk akal."
"Memang begitu kenyataannya. Kamu selalu memikirkan diri kamu sendiri, enggak pernah memikirkan orang lain."
"Memikirkan orang lain? Apa yang kamu maksud dengan 'enggak pernah memikirkan orang lain?' apa aku harus rela melihat suamiku sendiri lebih perhatian sama wanita lain bahkan rela menginap di rumah sakit cuma buat nemenin wanita lain yang anaknya lagi sakit? Apa aku harus diam terus setiap kali melihat kamu sama dia yang sudah seperti keluarga kecil yang bahagia? Mas!"
"Nadin, kamu selalu menangkap hal-hal lain. Maksud Yunita itu baik, enggak seperti kamu yang selalu memandang Yunita dari sisi negatif."
"Udah, lah, Mas. Aku capek setiap hari berdebat sama kamu tentang hal yang sama." Setelah mengatakan itu dengan suara lelah, Nadin memilih untuk kembali ke kamarnya dari pada perdebatan mereka menjadi lebih serius dan lebih panjang.
Selalu seperti ini, kenapa Ia dan Tama tidak pernah mendapatkan pagi yang damai? Pagi keduanya selalu diakhiri oleh perdebatan. Nadin tidak tau kapan Tama akan benar-benar lepas dari bayang-bayang Yunita.