"Aku enggak pernah menuduh, Mas, tapi faktanya memang seperti itu. Setiap kamu sibuk menghabiskan waktu sama aku dan Dinda, Yunita pasti akan menghubungi kamu, aku enggak mengerti kenapa."
"Nadin! Plis, stop, kamu buat aku enggak mood kali ini. Jangan menghancurkan suasana hati aku hanya karena kamu terlalu cemburu sama Nita." Tama mengusap keningnya dengan frustasi.
"Mama? Papa?"
Disela-sela perdebatan keduanya, Dinda yang baru saja bangun dari tidurnya menatap ayah dan ibunya yang sibuk beradu argumen. Anak itu berdiri di ambang pintu, menguap dengan malas.
"Dinda udah bangun? Mau mandi sekarang?" tanya Nadin pada putrinya. Raut wajah Nadin langsung berubah saat menghadapi Dinda.
Dinda mengangguk, berlari naik keatas tempat tidur, menghampiri sang ayah yang sedang sibuk, "Papa! Hari ini kita jadi ke Disneyland, kan, Pa?" tanya Dinda.
Tama mengangguk, "Iya, Dinda ikut Mama mandi, ya. Habis itu giliran Papa dan kita berangkat ke Disneyland!"
"Yey!" Dinda berseru senang, Ia lekas turun dari kasur menghampiri Nadin, "Ayo mandi, Ma!"
Nadin tersenyum, membawa Dinda masuk kedalam kamar mandi. Nadin memandikan Dinda dengan santai, namun anak yang dia mandikan ingin cepat-cepat menyelesaikan mandinya.
"Ayo, Ma, cepet!"
Nadin hanya bisa menggelengkan kepalanya dengan tidak berdaya karen Dinda yang memaksanya untuk segera selesai, "Sebentar, Mama bilas dulu pake air."
Beberapa menit kemudian, Nadin keluar dari kamar mandi dengan Dinda yang terbungkus oleh handuk berwarna putih lembut. Nadin tidak melihat Tama di tempat tidur, dia melihat ke sekeliling, menebak mungkin Tama berada di ruang keluarga atau dapur.
"Dinda pengen pake baju princess, Ma!"
Nadin menuruti apa yang putrinya mau, dia mengambil sebuah gaun indah berwarna pink dan putih dalam koper, dengan senang hati memakaikannya pada sang putri. Setelah memakaikan gaun, Nadin juga tidak lupa mengeringkan rambut Dinda, mengepangnya dengan rapih. Dinda berdiri di depan cermin, terkikik saat melihat sosok dirinya di sana.
"Dinda cantik gak, Ma?" tanya Dinda sambil memutar-mutar tubuhnya.
"Cantik, anak Mama cantik banget!" jawab Nadin dengan penuh pujian.
Dinda senang, anak itu tidak sabar untuk menunjukan dirinya yang memakai gaun ala princess pada sang ayah.
"Ma, Dinda cari Papa, ya!" Setelah mengatakan itu, Dinda berlari keluar dari kama runtuh mencari sosok ayahnya.
Nadin hanya bisa tersenyum melihat kepergian putrinya. Nadin mulai merias diri di depan cermin meja ria, dia mengoleskan serangkaian kosmetik yang membuat wajah manisnya terlihat sangat cantik. Selesai make-up Nadin keluar dari kamar, dia pergi ke ruang keluarga dan melihat Tama yang sedang berbicara dengan seseorang ditelepon.
"Mas? Dinda mana?" tanya Nadin pada suaminya.
Tama menoleh saat mendengar suara Nadin, pria itu menunjuk kearah sudut ruangan di mana Dinda yang sedang berusaha memakai sepatu kecil pemberian Tama.
Dua jam kemudian, ketiga orang itu siap untuk pergi ke Disneyland. Tidak butuh waktu lama dari hotel tempat mereka menginap hingga pada akhirnya tiba di Disneyland. Dinda memegang kedua lengan ibu dan ayahnya, bibir kecil itu tertarik keatas tanpa lelah. Mereka menghabiskan banyak waktu, mencoba berbagai wahana yang terdapat di sana.
"Kamu tunggu di sini, aku harus angkat telpon." Tama tiba-tiba melepaskan genggaman Dinda padanya, pria itu berkata pada Nadin, lalu pergi begitu saja tanpa menunggu jawaban dari Nadin.
"Papa mau kemana, Ma?" tanya Dinda, menatap bingung pada kepergian ayahnya.
"Papa mau jawab telpon sebentar. Ayo duduk dulu, Dinda enggak capek memangnya?"
Dinda menggeleng, "Enggak capek, Ma. Dinda seneng. Besok kita jalan-jalan lagi, kan?"
Nadin tersenyum, mengusap pucuk kepala putrinya, "Iya, besok kita jalan-jalan lagi."
Beberapa menit menunggu, Tama akhirnya datang menghampiri anak dan istrinya lagi.
"Ayo balik ke hotel," ajak Tama. Pria itu tampak tergesa-gesa.
"Ada apa, Mas?" tanya Nadin dengan bingung. Jelas ini masih pukul dua, tapi suaminya sudah ingin pulang ke penginapan.
"Jangan dulu, Pa. Dinda masih mau main!" Dinda menggeleng, menolak untuk kembali ke hotel.
"Dinda jangan bantah, kita pulang ke Indonesia sore ini."
"Kenapa? Coba jawab aku dulu." Nadin memaksa Tama untuk menjawab pertanyaannya.
Tama menghela nafas, ada kekhawatiran dalam suaranya saat menjawab, "Sakit Kaila semakin parah, Nita panik sendirian di rumah sakit. Kita pulang, kasihan dia kalau harus sendirian mengurus Kaila."
Nadin terdiam tiba-tiba, perempuan itu melepaskan genggaman Tama padanya, membuat Tama menoleh pada Nadin.
"Kenapa?" tanya Tama, menatap Nadin dengan heran.
"Mas, kita baru sehari, loh, di sini. Dinda bahkan belum puas main dan kamu main ajak kita pulang gitu aja," protes Nadin.
"Na, kamu mengerti atau tidak sih? Kaila sakit, Nita, dia-"
"Aku tau! Aku mengerti! Tapi dia, kan, bisa sewa orang buat bantu dia jaga Kaila, enggak harus kamu!" Jika saja Nadin tidak ingat bahwa mereka masih berada di luar, dia mungkin sudah menjerit dan meninggikan suaranya sekarang.
''Jangan buat aku marah, Na. Ayo balik ke hotel sekarang.'' Tama melenggang pergi setelah itu,
''Ma, kita mau pulang, ya?''
Dinda yang berdiri di samping Nadin tiba-tiba mengeluarkan suaranya, bulu mata lentik anak itu terkulai ke bawah, Nadin menunduk untuk melihat putrinya, ia menghela nafas, membungkukkan tubuhnya sambil memegang bahu Dinda. Dengan suara lembut, dia berkata pada Dinda, ''Papa ada kerjaan habis ini, jadi harus buru-buru pulang. Dinda anak baik enggak pa-pa, kan?''
''Iya, Ma.'' Dinda mengangguk dengan suara lirih.
Nadin menghela nafas, buru-buru mengajak Dinda keluar dari kawasan Disneyland. Sudah ada Tama yang menunggu keduanya di samping mobil. Nadin tidak mengatakan apapun, dia membawa Dinda masuk kedalam mobil, keduanya duduk di kursi belakang. Tama juga hanya diam, duduk di samping kursi kemudi dan melirik anak dan istrinya sebelum akhirnya sopir melajukan mobil.
Tidak ada yang berbicara di sepanjang perjalanan menuju hotel, bahkan Dinda yang sangat bersemangat saat mereka berangkat kini hanya bersandar dengan lesu pada Nadin. Nadin mengusap punggung putrinya, tau jika Dinda pasti sangat kecewa dengan keputusan sang ayah. Setibanya di hotel, Nadin langsung membereskan barang-barang mereka, sedangkan Tama menyuruh orangnya untuk memesan tiket pesawat dengan penerbangan dua jam lagi.
''Dinda enggak mau pulang, Ma.'' Anak itu terus mengeluh pada Nadin.
''Lain kali nanti kita datang kesini lagi, ya.'' Nadin membujuk.
Setengah jam membereskan barang-barang, Nadin akhirnya selesai.
''Ayo, nanti kita ketinggalan pesawat,'' ujar Tama pada anak dan istrinya.
***
Nadin tidak menyangka bahwa mereka akan benar-benar kembali, lima hari yang dijadwalkan pada awalnya hanya satu hari mereka habiskan di Disneyland Tokyo. Sekarang dia kembali duduk di pesawat, terus menenangkan Dinda.
''Nanti kita datang lagi, ya, Ma,'' ujar Dinda pada Nadin dengan sedih.
''Iya, nanti kita datang lagi. Dinda jangan sedih, ya,'' bujuk Nadin.
Dinda mengangguk dengan patuh.
Pukul dua belas malam, mereka baru turun dari pesawat dan Tama mengatakan bahwa dia akan langsung pergi kerumah sakit di mana Kaila dirawat.
''Kamu enggak capek memangnya, Mas?''
''Aku harus langsung kesana, kamu dan Dinda panggil taksi untuk pulang.''
Ya, Tama bahkan membiarkan istri dan anaknya pulang menggunakan taksi di jam dua belas malam.