CEMBURU

1031 Kata
''Aku mau minta maaf, Mas. Kejadian waktu di rumah sakit, aku tau aku salah, aku sama sekali enggak ada niatan seperti itu, aku-'' ''Nit, bukan cuma kamu yang salah, aku juga salah.'' Tama menghela nafasnya, ''Sudah, enggak usah dibahas lagi.'' Yunita menganggukkan kepalanya, wanita itu menundukkan kepalanya membuat Tama merasa bersalah. Tama mengulurkan tangan, mengusap pucuk kepala Yunita dengan lembut. Tama mengerti bahwa Yunita tidak bermaksud seperti itu, dan di sini bukan hanya Yunita yang salah, namun juga dirinya. ''Aku pergi dulu, Nadin udah nunggu di rumah,'' ujar Tama, ia bangkit dari tempat duduknya. ''Mas,'' Yunita buru-buru mencekal lengan Tama. ''Ada apa?'' tanya Tama, menundukkan kepalanya untuk menatap Yunita. ''Bisa antar aku pulang?'' Tama terdiam sebentar, dia bermaksud untuk sedikit menjauh dari Yunita, namun melihat wajah memelas Yunita, Tama tidak tega dan pada akhirnya mengangguk setuju. Yunita tersenyum senang, dia buru-buru bangkit berdiri, berjalan beriringan dengan Tama. Di perjalanan, Tama tidak mengatakan apapun yang membuat Yunita cukup sebal dalam hatinya. Butuh waktu sekitar lima belas menit untuk mereka akhirnya tiba di kediaman Yunita. Yunita keluar dari dalam mobil di ikuti oleh Tama. ''Makasih, Mas udah mau nganterin aku pulang,'' ucap Yunita. Tama menganggukkan kepalanya. ''Mas marah, ya, sama aku?'' tanya Yunita atas sikap Tama padanya yang tidak seperti biasa. ''Aku enggak. kamu salah paham.'' ''Oh, ya? Tapi Mas enggak seperti biasanya. Aku udah minta maaf soal kejadian di rumah sakit, tapi kenapa Mas masih marah sama aku? Apa Mbak Nadin tau dan marah sama Mas? Nyuruh Mas buat jauhi aku?'' Pertanyaan beruntun Yunita lontarkan pada Tama, ia menundukkan kepalanya, isakan pelan keluar dari bibirnya. ''Nit, aku enggak bermaksud seperti itu-'' ''Aku cuma punya Mas Tama, dari kecil aku sama Mas selalu sama-sama, aku enggak tau harus gimana kalau Mas benci sama aku.'' ''Aku enggak benci kamu Yunita, Aku cuma-'' ''Aku tau, Mbak Nadin istri Mas, dia segalanya buat Mas Tama, jadi wajar kalau Mas Tama lebih mau menuruti apa yang Mbak Nadin-'' ''Yunita,'' panggil Tama dengan pelan, ''Jangan nangis, Mas minta maaf.'' Yunita memeluk erat tubuh Tama, membenamkan wajahnya pada d**a bidang pria itu. Tama mengulurkan tangannya, mengusap pucuk kepala Yunita dengan lembut. ''Aku takut kalau Mas Tama benci sama aku,'' ucap Yunita. ''Mas enggak benci sama kamu.'' Keduanya berpelukan cukup lama sebelum akhirnya Kaila yang keluar dari rumah berteriak senang saat melihat Tama. ''OM!'' Tama dan Yunita melepaskan pelukan mereka. ''Halo, Kaila apa kabar?'' tanya Tama dengan nada lembut. ''Baik, Om! Kaila udah sembuh, Mama bilang tinggal habiskan obatnya aja.'' Anak itu dengan antusias bercerita pada Tama, membuat kedua orang dewasa di sana tersenyum. Setelah beberapa menit mendengarkan ocehan Kaila, Tama berpamitan pada ibu dan anak itu. ''Yah, masa Om udah mau pulang. Kaila, kan, mau main sama Om Tama!'' ''Lain kali, ya, sayang. Nanti Om kesini lagi.'' ''Janji, ya, Om!'' ''Oke, Om janji.'' *** ''Kamu habis kemana, Mas?'' tanya Nadin yang melihat Tama masuk kedalam rumah. ''Ada urusan sebentar tadi.'' Nadin mengangguk, lalu bertanya lagi pada suaminya, ''Mau aku buatkan minuman?'' ''Boleh, aku mau air dingin.'' Tama mendudukkan dirinya di sofa dengan lelah. Nadin tersenyum, pergi ke dapur untuk mengambil segelas air putih untuk Tama. Setelah itu, dia kembali ke ruang keluarga, menyerahkan gelas itu pada Tama. ''Makasih, sayang,'' ucap Tama sambil tersenyum. Nadin ikut mendudukkan dirinya di samping sang suami, menyandarkan kepalanya pada Tama. Nadin terdiam, ia mengendus pakaian Tama, merasa mencium bau yang tidak asing dari pria itu. ''Kenapa?'' tanya Tama bingung, heran dengan tingkah istrinya. ''Enggak, kamu bau asem, cepet mandi sana!'' titah Nadin. Tama mengendus tubuhnya sendiri, lalu cemberut pada Nadin, ''Wangi kok.'' Nadin mendengus, ia memaksa Tama untuk pergi mandi hingga akhirnya Tama tidak mempunyai pilihan dan segera pergi atas desakan sang istri. Setelah kepergian Tama, Nadin terdiam, sebenarnya wangi yang Nadin cium di tubuh Tama bukanlah bau asam. Melainkan bau parfum yang sangat Nadin kenal. parfum yang sering Yunita pakai. Tapi Nadin tidak ingin berburuk sangka pada Tama, bisa saja bau itu Tama dapatkan secara tidak sengaja dari orang lain. Bangkit berdiri, Nadin pergi ke kamar putrinya, ingin melihat apa yang sedang anak itu lakukan. ''Anak Mama lagi ngapain, nih?'' tanya Nadin setelah melihat sang anak yang sibuk bermain sendirian. ''Mama! Dinda lagi main barbie, Barbie nya jadi dokter, Ma!'' jawab Dinda, tersenyum lebar melihat Nadin datang. Nadin ikut tersenyum, ''Dinda mandi dulu ya, mau Mama mandiin?'' Dinda menggelengkan kepalnya pada sang ibu, ''Mau mandi sendiri, Ma!'' Setelah pergi dari kamar Dinda, Nadin pergi ke kamarnya untuk menyiapkan pakaian sang suami seperti yang biasanya ia lakukan. Tama belum keluar dari kamar mandi saat ini, Nadin tau jika Tama tidak lagi akan keluar, jadi ia hanya menyiapkan pakaian santai untuk Tama. "Jangan duduk di kasur kalau habis mandi, nanti kasurnya ikut basah," omel Nadin saat sang suami yang baru keluar dari kamar mandi langsung mendudukkan dirinya di tempat tidur. "Enggak basah kok," ujar Tama menyangkal. "Cepet pake bajunya, nanti kamu masuk angin." Tama menganggukkan kepalanya, pria itu memakai pakaian yang telah disiapkan Nadin. Selesai memakai pakaian, seperti biasanya, Nadin akan mengeringkan rambut Tama yang basah. Selesai di keringkan, giliran Nadin untuk mandi. "Liat Dinda udah mandi apa belum di kamarnya," titah Nadin sebelum akhirnya masuk kedalam kamar mandi. Tama mengangguk, keluar dari kamar untuk melihat sang putri. Saat Tama masuk kedalam kamar Dinda, anak itu masih asik bermain dengan Barbie nya. "Kamu belum mandi?" tanya Tama. "Papa! Dinda belum mandi, bentar lagi, Pa." "Kok belum mandi? Bukannya Mama udah nyuruh Dinda buat mandi." Tama menghela nafas, menghampiri sang putri. "Nanti aja, Pa, Dinda masih mau main," rajuk anak itu pada sang ayah. "Mandi sekarang, nanti Mama marah-marah." "Gamau!" "Dinda." Suara Tama berubah menjadi serius, "Kakak Kaila enggak pernah mandi terlambat, Dinda harus mencontoh Kaila, tau?" Dinda cemberut saat ayahnya menyebut nama Kaila. Anak berusia tujuh tahun itu tau jika Ayahnya sering menghabiskan waktu dengan Kaila, semua teman-teman di sekolah bahkan pernah bertanya pada Dinda apakah ayahnya juga ayah Kaila. Dinda menangis saat itu, dia merasa bahwa apa yang teman-temannya katakan di sekolah benar bahwa Kaila adalah anak ayahnya. Anak-anak terkadang seperti itu, cemburu saat ayah atau ibunya disangkut-pautkan dengan anak lain. Bahkan ada anak yang sampai membenci orang yang mendapatkan lebih banyak perhatian dari orang tuanya meski kadang orang dewasa tidak menyadari hal tersebut.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN