DARREN MAHENDRA

1129 Kata
"Nah, makan yang banyak, ya, supaya cepat besar!" Nadin menyajikan putrinya makan malam yang telah dia masak. Dinda mengangguk, memakan makanannya dengan senang hati. Jarang bagi keluarga mereka untuk bisa makan malam bersama, ada Tama, Nadin dan ia. Anak itu merasa senang karena ayahnya menghabiskan lebih banyak waktu di rumah selama dua hari ini. "Pa, besok Papa main lagi, ya, sama Dinda!" ujar Dinda dengan penuh semangat pada ayahnya. "Enggak bisa sayang, Papa harus pergi keperusahaan besok, nanti kalau Papa pulang kita main lagi, ya," sahut Tama. "Yah, kalau gitu besok Dinda ikut Papa keperusahaan aja deh." Duduk di samping putrinya, Nadin menghela nafas, dengan lembut memberi Dinda pengertian, "Dinda besok sekolah, masa mau libur lagi, kan liburnya udahan, sayang." Dinda berada di bangku kelas satu SD saat ini, gadis kecil itu bersekolah di sekolah yang sama dengan Kaila yang berada di bangku kelas tiga SD. Meski satu sekolah, Dinda tidak dekat dengan Kaila, dia selalu ingat bahwa Kaila adalah seseorang yang ingin merebut ayahnya. Bahkan di sekolah, Kaila akan mengatakan kepada semua orang bahwa dia dan Dinda bersaudara, memiliki ayah yang sama. Padahal kala itu Vino masih hidup, tidak tau siapa yang mengajari anak itu untuk mengatakan hal seperti itu pada teman-temannya, tidak mungkin anak seumuran Kaila berbohong tanpa ada yang membimbing. "Nanti kalau liburan kamu sama Mama main ke kantor Papa, ya. Sekarang cepetan habiskan makanan kamu." Mengangguk, Dinda melanjutkan makan malamnya. Selesai makan malam, Nadin dan Tama duduk di atas sofa sambil menonton tayangan tv mereka. Dinda sang putri telah kembali ke kamarnya untuk tidur karena sudah mengantuk. "Kamu besok pulang jam berapa?" tanya Nadin, kepalanya bersandar pada d**a bidang Tama. "Belum tau, nanti aku usahakan buat pulang secepatnya," jawab Tama sambil mengecup pucuk kepala istrinya. Nadin mengangguk pelan, kembali menonton televisi. Satu tangan Tama yang merangkul Nadin mengusap dengan pelan leher wanita itu. Semakin lama, usapannya turun pada d**a Nadin. Selain membelai sesuatu yang terhalang pakaian dan bra, Tama juga meremasnya dengan pelan. "Mas," peringat Nadin pada suaminya. "Hm?" Tama berpura-pura tidak mengerti kenapa Nadin memanggil dia. "Tangan kamu bisa diem enggak, sih?" Nadin menjauh dari pelukan Tama, tetapi saat wanita itu menoleh untuk memarahi Tama, tubuhnya terjatuh keatas sofa, Tama menekan tubuhnya di sana. "Ayo ke kamar," ajak Tama. "Aku masih mau nonton tv," balas Nadin. Tama menurunkan kepalanya, mengecupi leher sang istri. Nadin meleguh pelan, bersusah payah mendorong tubuh tegap Tama untuk menjauh dari ia. "Mas, jangan kaya gini, ah." "Kalau gitu di sini aja." Setelah mengatakan itu, Tama membuka kancing pakaian istrinya dengan paksa. Tubuh atas Nadin yang terbalut bra terpampang dengan indah di bawah Tama. "Masih jam segini, Mas. Gimana kalau Dinda bangun?" tanya Nadin, masih mencoba untuk menolak. "Enggak akan, lagian jarak kamar sama ruang keluarga jauh." Nadin mendesah pelan saat Tama tangan besar Tama menyentuh dadanya yang kini tidak terbalut sehelai benangpun. Nadin mencengkram lengan Tama, tapi tidak mencoba untuk menghentikan suaminya. Ia pasrah saat Tama menjamah tubuhnya di atas sofa hingga Tama melakukan pelepasan pertamanya. Nadin pikir semuanya sudah selesai, tapi siapa yang tau bahwa Tama akan menggendong tubuhnya ala putri dan membawanya ke kamar di lantai dua. "Mas!" sebal Nadin saat Tama melemparkan dirinya di atas tempat tidur. Ia hendak bangkit berdiri, namun tidak jadi karena lagi-lagi Tama menahan tubuhnya. Sepasang pasutri yang sudah menikah selama bertahun-tahun itu menikmati malam mereka hingga keduanya terengah-engah di atas tempat tidur besar. Nadin bahkan lupa kapan Tama berhenti karena dia tertidur setelahnya, bahkan saat permainan Tama belum selesai. *** "Aku berangkat dulu," pamit Tama sambil mengecup pipi Nadin. Nadin mengangguk, mengantarkan Tama ke depan rumah seperti yang biasa dia lakukan setiap kali Tama berangkat bekerja. "Hati-hati di jalan," ujar Nadin mengingatkan. Ia berdiri tepat di depan Tama yang tersenyum memandang istrinya. Nadin merasa senyum Tama sangat menyeramkan, ia memukul bahu pria itu, "Kamu kenapa, sih!" Tama tertawa melihat tingkah istrinya yang merasa malu, "Habisnya kamu cantik banget." "Ish! Cepet berangkat, nanti kamu kesiangan," titah Nadin dengan wajah malu. Tama mengangguk, sekali lagi mengecup kening istrinya. Nadin menatap punggung suaminya hingga pria itu masuk kedalam mobil dan pergi. Nadin kembali kedalam rumah yang kini sepi karena hanya ada dia sendirian di sana. Putrinya Diana pergi ke sekolah dan akan pulang di siang hari. "Hah, ngapain, yah, sekarang," gumam Nadin pada dirinya sendiri. Berjalan menuju ruang keluarga, Nadin duduk di sofa panjang, merebahkan tubuhnya yang cukup.lelah karena sibuk menyiapkan keperluan Tama dan Dinda. Nadin membuka ponselnya, mengklik nama temannya Anisa. Nadin: Kamu lagi sibuk, Nis? Pesan itu terkirim dengan lancar. Anisa di seberang sana tidak segera membalas membuat Nadin menaruh kembali ponselnya kesamping. Nadin membuka tayangan televisi yang sedang menayangkan sederet artis yang terkena skandal perselingkuhan. Gerakan tangan Nadin yang ingin memindahkan channel berhenti, ia menaruh remote nya kembali. Di jaman sekarang, sepertinya rumah tangga dari banyak orang sedang tidak baik-baik saja. Kebanyakan adalah para suami yang berselingkuh atau jajan di luar. Nadin takut jika hal itu terjadi padanya, tapi Nadin masih percaya bahwa Tama tidak setega itu. Hampir sembilan tahun mereka menikah, rasa percaya Nadin pada Tama sangatlah besar. Karena sembilan tahun bukanlah waktu yang mudah untuk keduanya. Ponsel Nadin berdering sekali, Nadin tau bahwa itu mungkin dari Anisa yang membalas pesannya. Benar saja, ketika Nadin membuka ponsel, ada nama Anisa yang terpampang di sana. Anisa: Perempuan itu datang lagi keperusahaan. Heran deh gue, katanya perancang baju tapi nyamperin suami Lo mulu kaya pengangguran *** "Kamu sedang apa?" Anisa yang tengah bermain dengan ponselnya terperanjat kaget saat mendengar suara itu. Dengan panik ia langsung menaruh kembali ponselnya, mendongak menatap Darren yang berdiri di depan meja. "Pak Darren," sapa Anisa dengan gugup. Darren Mahendra, sahabat dari Tama Akarsana itu menatap sekertaris pribadi temannya yang tampak gugup saat ketahuan bermain ponsel di jam kerja. Darren tersenyum miring, pria itu berjalan mengelilingi meja Anisa lalu menarik kursi yang Anisa duduki hingga mendekat kearahnya. "Pak!" Anisa berteriak kaget lalu dengan cepat menutup mulutnya karena takut terdengar oleh seseorang. "Chating-an sama pacar kamu?" tanya Darren, wajahnya menatap lekat wajah Anisa. Posisi keduanya sangat dekat hingga Anisa menahan nafasnya sejenak. "Pak, saya mau lanjut kerja!" "Tapi saya dari tadi liat kamu main ponsel terus, bukannya kerja." "I-itu, sebenarnya saya lagi-" "Mas Darren?" Suara seorang wanita yang datang membuat Darren serta Anisa menoleh secara bersamaan. "Yunita?" Alis Darren terangkat, menatap Yunita yang menatap dia dengan senyuman. Pria itu menegakan tubuhnya, menjauh dari Anisa. "Mas Darren mau ketemu Mas Tama? Kenapa enggak langsung ke ruangannya aja?" Saat Yunita mengatakan itu, sudut matanya melirik Anisa di belakang Darren. Wajah Anisa berubah menjadi dingin, jijik dengan pick me seperti Yunita yang selalu ingin menarik perhatian pria. Yunita melangkah maju, memegang lengan Darren. "Kita ngobrol di luar aja, Mas." Darren juga merasa tidak ada yang salah, dia membiarkan Yunita menarik lengannya dan mengikuti langkah wanita itu. Sedangkan Anisa berdecih melihat kepergian mereka.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN