Tama menghela nafas menatap Yunita, merasa bahwa Yunita adalah wanita paling baik yang pernah ia kenal dalam hidupnya.
Entah dulu atau sekarang, Yunita selalu menjadi orang yang sangat lembut pada siapa pun. Berbeda dengan Nadin, istrinya itu selalu cerewet dan galak. Jika saja dulu Yunita tidak memaksanya untuk memacari Nadin dengan alasan Yunita juga telah berpacaran bersama Vino dan ingin merasakan double date, Tama mungkin masih sendirian sekarang. Bahkan saat Tama melamar Nadin, itu adalah Yunita yang membujuknya sehingga Tama setuju.
"Aku pulang dulu, Mas. Setelah ini Kaila ada les," pamit Yunita pada Tama.
Tama sedikit enggan membiarkan ibu dan anak itu pulang, tetapi ia tidak menghentikan Yunita karena tahu Yunita juga punya kesibukannya sendiri.
"Mau aku antar?" tanya Tama, menawarkan diri.
Yunita menggelengkan kepalanya.
"Enggak usah. Aku bisa naik taksi kok."
"Andai Nadin sedewasa kamu," ujar Tama pada Yunita.
Yunita tertawa pelan. Setelah itu, Yunita membawa Kaila pergi.
"Dadah, Om!" Kaila melambaikan tangannya pada Tama.
Tama tersenyum, membalas lambaian tangan Kaila.
***
Anisa: Gue tadi liat perempuan itu datang lagi ke kantor suami lo sama anaknya.
Nadin terdiam melihat pesan yang dikirim oleh temannya. Teman Nadin bernama Anisa, bekerja sebagai asisten pribadi Tama di perusahaan. Ia selalu melaporkan hal-hal tentang Tama pada Nadin, termasuk tentang kedekatan Tama dan Yunita.
Anisa: Gila, Din. Apalagi sih yang mau dipertahankan dari rumah tangga lo? Berapa kali dalam sebulan lo datang ke kantor, mungkin bisa dihitung pake jari. Tapi perempuan itu sama anaknya hampir tiap minggu ke sini.
Menghela nafas, Nadin merasa bahwa apa yang Anisa katakan adalah hal yang juga ia tanyakan pada dirinya sendiri. Untuk apa ia masih bertahan dengan Tama, mungkin jika Nadin bisa menjawab, itu adalah karena harapan. Dia berharap bahwa suatu hari Tama akan melihatnya dan Dinda. Meski tampaknya harapan Nadin meredup seiring berjalannya waktu, selama sembilan tahun pernikahannya.
"Mama," panggil Dinda yang telah keluar dari kamar. Anak itu memiliki wajah sembab dan memerah.
"Sayang." Nadin memberi isyarat untuk putrinya datang.
"Dinda benci sama papa," bisik Dinda di telinga Nadin.
Nadin memeluk putrinya, mengusap punggung anak itu dengan lembut.
"Kok gitu? Dinda enggak boleh ngomong kaya gitu, kalau papa denger, papa pasti bakalan sedih," ucap Nadin menasehati sang putri.
"Tapi papa enggak sayang kita, Mah. Papa cuma sayang tante Yunita sama Kaila aja," lirih Dinda.
Hati Nadin sesak mendengar ucapan putrinya. Bukan pertama kali Dinda mengatakan hal seperti itu, sebelumnya, jika Tama membatalkan janji yang ia buat dengan alasan Yunita dan Kaila, Dinda akan menangis dan mengatakan bahwa ia membenci ayahnya. Bahkan, anak berusia tujuh tahun seperti Dinda saja tahu bahwa ayahnya memang lebih dekat dengan orang lain dan merasa cemburu karena hal itu.
"Papa itu sebenernya sayang banget sama Dinda. Papa, kan, udah janji kalau pulang mau bawakan Dinda kue."
Dinda menggelengkan kepalanya di bahu sang ibu. "Dinda enggak mau kue."
"Kalau gitu Dinda mau apa? Biar Mama telepon papa supaya papa bisa belikan Dinda nanti."
Dinda lagi-lagi menggeleng.
"Ma, papa itu papanya Kaila, ya?"
Pertanyaan yang keluar dari mulut Dinda membuat Nadin kaget bukan main. Dinda menatapnya dengan tatapan wajah yang polos. Anak itu melontarkan pertanyaan pada Nadin seolah itu adalah pertanyaan biasa.
"Enggak dong, Sayang. Papanya Kaila, kan, om Vino." Nadin mengusap kening putrinya.
"Tapi temen-temen Dinda di sekolah bilangnya gitu, papa itu sebenernya papanya Kaila, bukan papa Dinda," ucap Dinda, karena gadis kecil itu satu sekolah dengan Kaila.
Rasanya sangat sesak mendengar pernyataan yang Dinda keluarkan dari bibir mungilnya, rasanya sakit sekali melihat putrinya sendiri mengatakan hal itu.
"Papa itu papanya Dinda, bukan papanya Kaila. Jangan ngomong gitu, ya, Sayang! Nanti kalau papa denger papa pasti sedih."
Dinda cemberut, menganggukkan kepalanya pada sang ibu.
***
"Dinda, Papa pulang bawain kue kesukaan kamu!"
Tama masuk ke dalam rumah, berseru pada Dinda yang sedang menonton tayangan televisi bersama istrinya.
"Makasih, Pa!" Dinda dengan senang hati mengambil box kue yang Tama berikan, anak itu berjinjit untuk memberi ciuman pada ayahnya.
Tama tersenyum, mengusap pucuk kepala Dinda. Hati Nadin juga menghangat melihat suaminya benar-benar membelikan Dinda kue.
"Mas, boleh aku ngomong sebentar sama kamu?" pinta Nadin pada Tama.
Sambil melepas jas dan dasi pada tubuhnya, Tama menatap sang istri, lalu menjawab, "Jangan sekarang, aku mau keluar lagi."
"Hah? Kamu memangnya kamu ke mana lagi? Ini udah mau malem, loh, Mas."
"Nita minta anter aku buat pergi ke butiknya."
"Loh, rumah Yunita sama butiknya, kan, lumayan deket, Mas. Dari pada kamu harus ke rumah Yunita jadi lebih lama, jadi lebih lama, bukannya lebih baik dia naik taksi atau ojek aja, ya?" tanya Nadin dengan heran.
Tama menatap istrinya. "Yunita itu perempuan, Din, ini juga udah mau maghrib, enggak mungkin aku biarin dia ke butik sendirian. Lagi pula aku sahabatnya, aku pengen selalu ada buat Nita. Apalagi Vino sudah enggak ada."
Nadin terdiam, ia tidak tahu lagi bagaimana harus mengatakan pada Tama bahwa Nadin tidak ingin Tama pergi.
"Terus kamu mau makan malam di mana?"
"Mungkin sama Nita aja, kalau aku pulang kemalaman, kamu makan malam duluan sama Dinda!" Setelah itu, Tama melanjutkan, "Aku mandi dulu, ya, aku takut Nita nunggu aku kelamaan." Setelah itu, Tama naik kelantai atas, meninggalkan Nadin yang menatap punggungnya.
"Ma, papa mau ke tante Yuni, ya?" tanya Dinda, hilang sudah kebahagiaan perempuan kecil itu setelah menerima kue dari sang ayah.
Sambil menghela nafas, Nadin berbalik pada sang anak, "Iya, cuma sebentar, kok. Papa mau nganterin tante Yuni sebentar. Kamu makan kuenya, ya!"
"Yah, padahal Dinda pengen ajak papa jalan-jalan, Ma." Dinda cemberut.
"Ih, kok anak Mama cemberut gini, sih? Besok papa enggak ke kantor, kita ajak papa pergi, ya?" bujuk Nadin.
Dinda tersenyum, mengangguk pada sang ibu.
"Dinda di sini dulu, Mama mau ke kamar buat susul papa."
Nadin berjalan menuju kamarnya di lantai dua. Di sana, dia melihat Tama yang baru saja keluar dari kamar mandi dengan tubuh penuh uap.
"Mas, tadi aku bilang ke Dinda kalau besok kita mau jalan-jalan." Nadin membuka lemari, mengeluarkan pakaian yang akan suaminya kenakan.
"Kok kamu main janji aja, sih, Din?" tanya Tama dengan nada sedikit kesal.
"Kenapa? Besok, kan, kamu bebas, enggak ke perusahaan."
Tama menghela nafas, memakai pakaiannya dengan cepat.
"Sini, aku keringkan rambut kamu!" Nadin duduk di tepi tempat tidur sedangkan Tama duduk di bawahnya.
Perempuan itu dengan telaten mengeringkan setiap helai rambut Tama, sesekali memijat kepala Tama membuat pria itu memejamkan mata karena merasa nyaman.
"Kenapa Yunita pergi ke perusahaan kamu?" tanya Nadin secara tiba-tiba, ia teringat akan isi pesan yang Anisa kirimkan padanya.
Tama tiba-tiba mendongak. "Cuma mampir buat ngajak Kaila main, memangnya kenapa?"
"Aku aja jarang, loh, Mas, main ke sana, Yunita kayaknya hampir setiap hari, deh."
"Terus? Kalau kamu mau, kamu juga bisa ke sana setiap hari. Toh aku enggak larang kamu." Tama mengerutkan keningnya saat mengatakan itu.
Nadin tidak lagi mengatakan apa pun, ia tidak percaya bahwa Tama sama sekali tidak mengerti apa yang ia maksud. Tidak ingin terlibat pertengkaran dengan suaminya, Nadin kembali fokus untuk mengeringkan rambut Tama.
"Sampai kapan kamu bisa ngerti perasaan aku, Mas? Apa kamu nggak tahu, aku tuh cemburu kalau kamu terlalu dekat dengan Yunita?" Di dalam hati, Nadin menahan kesedihannya. Ini bukan pertama kali dirinya harus mengalah, menerima kedekatan antara suami dan sahabatnya.