Tama pergi dengan mobilnya menuju kediaman Yunita, tatapan pria itu fokus pada jalanan kota di malam hari di mana banyak muda-mudi yang menghabiskan malam mereka dengan bersenang-senang.
Setibanya di sana, Tama memarkirkan mobilnya di depan rumah Yunita, ia menyapa satpam yang Tama sendiri pekerjakan untuk menjaga ibu dan anak itu.
"Mas!" Yunita yang sudah bersiap menyapa Tama dengan senang hati.
"Kamu sudah siap?" tanya Tama dengan suara lembut.
"Iya, aku nungguin dari tadi, Mas lama banget soalnya!" Yunita cemberut, berpura-pura merajuk pada Tama.
Tama tertawa, dengan gemas mengusap pucuk kepala Yunita.
"Kaila enggak akan diajak?"
Yunita menganggukkan kepalanya, "Dia udah tidur, aku minta bi Lasmi jaga Kaila sebentar. Ayo, Mas, nanti kita telat. Mbak Nadin bisa marah lagi sama kamu."
Hati Tama menghangat, dia merasa bahwa Yunita adalah wanita yang sangat pengertian. Andai dulu dia bisa mendapatkan hati Yunita, Tama merasa bahwa hidupnya pasti akan sangat bahagia. Bukannya Tama merasa tidak bahagia dengan kehidupannya yang sekarang, tapi selalu ada celah di hatinya saat dia bersama dengan Nadin, ada sedikit rasa sepi dan sedikit penyesalan atas keputusannya menikahi wanita yang sekarang berstatus sebagai istrinya itu.
Yunita menggenggam telapak tangan Tama secara tiba-tiba, menarik Tama keluar dari rumahnya. Jantung Tama berdebar dengan kencang, di setiap langkahnya mengikuti Yunita, hatinya tidak bisa untuk tidak berbunga-bunga karena senang.
Keduanya masuk ke dalam mobil, Yunita duduk di kursi samping Tama, sedangkan Tama sendiri yang mengemudikan mobilnya. Mobil berwarna hitam itu melaju dengan kecepatan sedang, hanya butuh waktu beberapa menit sebelum akhirnya mereka tiba di butik yang Yunita miliki.
"Ayo, Mas," ajak Yunita, ia keluar dari mobil disusul oleh Tama.
Tama mengikuti Yunita masuk kedalam gedung butik yang tidak terlalu besar, sudah tidak ada pegawai yang ada di sana karena semua orang pulang kerumahnya masing-masing, hanya ada mereka berdua, satu pasang Adam dan Hawa di sana.
"Mas Tama mau kopi?" tanya Yunita pada Tama.
"Boleh, kebetulan aku kangen banget sama kopi buatan kamu."
Yunita tertawa kecil, lalu berjalan ke bar mini di ruangannya. Dengan tangan terampil, ia membuat segelas kopi untuk Tama. Setelah selesai membuat kopi, Yunita menyajikan segelas kopi itu di depan Tama, menatap Tama yang dengan pelan menyeruput kopi hitam.
"Enak," puji Tama, rasanya persis seperti kopi yang selalu Yunita buatkan untuknya. Rasa yang selalu membuat Tama rindu dan bertanya-tanya kapan lagi dia bisa menikmati secangkir kopi buatan Yunita.
"Enakan kopi buatanku atau buatan mbak Nadin?" tanya Yunita.
Kening Tama sedikit bertaut, sejujurnya ia tidak bisa membandingkan kopi buatan mereka. Kopi yang Yunita buat enak, tapi itu karena dia merasa bernostalgia saat menyesapnya. Sedangkan saat meminum kopi buatan istrinya, Tama merasakan ketenangan rumah yang sesungguhnya. Mungkin jika dibandingkan, Tama tidak bisa berbohong bahwa secangkir kopi yang istrinya buat jauh lebih enak. Tapi Tama tidak bisa mengatakan itu pada Yunita.
Melihat raut wajah Tama yang terlihat tidak suka, Yunita buru-buru berkata, "Aku cuma becanda kok, Mas. Aku tau kopi buatan mbak Nadin pasti lebih enak. Secara dia, kan, perempuan yang setiap hari ada di rumah, punya banyak waktu untuk buatkan kamu kopi."
"Menurut aku kamu lebih hebat lagi, entah kenapa tangan kamu selalu bisa membuat sesuatu yang hebat. Kamu, kan, designer, membuat kopi untuk aku bukan ranah kamu." Tama menenangkan Yunita.
Yunita tersenyum dengan lembut.
"Kalau gitu Mas tunggu sebentar, ya, Aku mau beresin kerjaan dulu sebentar."
Tama mengangguk, mengiyakan. Ia duduk di sofa panjang di ruangan milik Yunita sedangkan Yunita sendiri sedang sibuk di ruangan lain. Di temani secangkir kopi, Tama merasa agak bosan berdiam diri di sana. Ia bangkit berdiri, keluar dari ruangan itu.
Butik milik Yunita terdiri dari beberapa ruangan, ada kamar mandi, ruang tunggu, ruangan pribadi Yunita, serta ruangan-ruangan lain yang dipenuhi oleh pakaian atau design pakaian.
Satu jam kemudian, Yunita yang sudah menyelesaikan pekerjaannya akan kembali ke ruangan tempat Tama berada saat langkah kakinya terhenti. Dia melihat Tama yang sedang berjalan-jalan. Yunita tersenyum, melangkah menghampiri Tama.
"Mas!" Yunita menepuk pundak pria itu.
Tama lantas berbalik, cukup kaget melihat Yunita yang tiba-tiba datang.
"Sudah selesai?" tanya Tama.
Yunita menganggukkan kepalanya, "Udah, mau pulang sekarang? Tapi aku lapar banget, kita mampir beli makan dulu yuk, Mas."
"Oke." Tama mengangguk setuju.
Sebelum pergi, Yunita terlebih dahulu mengambil tas yang ia tinggalkan di ruangan yang tadi ia dengan Tama singgahi. Setelah itu, barulah keduanya keluar dari butik menuju restoran terdekat.
***
Nadin selesai menidurkan Dinda, sekarang sudah hampir pukul sepuluh malam, tapi batang hidung suaminya tidak kunjung terlihat. Nadin menunggu Tama di ruang tamu besar, seperti yang biasa ia lakukan jika Tama pulang larut malam. Memejamkan matanya sebentar, Nadin hampir saja benar-benar tertidur saat suara pesan masuk di ponselnya terdengar. Menguap, Nadin melihat siapa yang mengirimkan pesan padanya.
Mas Tama: Malam ini aku enggak pulang, Din. Pas aku dan Yunita pulang, Kaila tiba-tiba sakit, kami bawa dia ke rumah sakit. Aku akan menemani dia di sini.
Terdiam, Nadin benar-benar hanya bisa terdiam membaca pesan dari Tama. Amarah di hatinya langsung memuncak, ia benar-benar tidak mengerti dengan Tama yang memilih menemani orang lain dari pada pulang untuk tidur bersama istri dan anaknya.
Nadin: Mas, aku mau kamu pulang sekarang.
Ada balasan lagi dari Tama.
Tama: Cuma malam ini, kasihan Nita, dia sendirian. Aku takut ada apa-apa sama Nita dan Kaila.
Nadin: Kamu kasihan sama wanita lain, tapi kamu enggak kasihan sama aku yang udah nunggu kamu pulang?
Nadin menekan tombol kirim, setelah itu tidak ada lagi balasan dari Tama. Nadin terengah, dia benar-benar marah pada sang suami. Nadin tidak tau lagi harus melakukan apa agar Tama satu kali saja memilih menemaninya dari pada menemani Yunita.
Pernah sekali, Dinda jatuh sakit begitu parah hingga anak itu harus dilarikan ke IGD. Tapi saat itu Tama sibuk mengantar Yunita bertemu dengan beberapa klien butiknya hingga saat Nadin menelpon Tama mengatakan bahwa urusan Yunita sangat mendesak, sedangkan putrinya yang sekarang jatuh sakit tidak mendesak sama sekali.
Jauh di dalam hati Nadin, ingin rasanya ia menyerah. Tapi Nadin selalu ingat bahwa ini adalah pernikahan yang sudah ia impikan sejak dulu, Nadin tidak mau semua perjuangan nya selama sembilan tahun berujung sia-sia hanya karena masalah seperti ini. Bullshit rasanya jika Nadin mengatakan bahwa dia mempertahankan pernikahannya karena Dinda, pada dasarnya semua ini adalah keegoisannya sendiri.