DISNEYLAND

1003 Kata
Nadia geram sekaligus kecewa pada suaminya, Tama, karena memilih tinggal bersama Yunita dan putrinya Kaila di rumah sakit. Dia merasa ditinggalkan, sendirian, dan tidak dicintai. Apakah ini pilihan yang tepat dari pihak Tama? Tentu saja, mereka bisa saja menemukan orang lain untuk tinggal bersama Yunita dan Kaila - Tama tidak perlu menempatkan istrinya di urutan kedua seperti ini. Lalu bagaimana dengan kebutuhan istri Tama dan anaknya sendiri? Apakah Tama menganggap mereka tidak membutuhkannya? Menghela nafasnya, Nadin kembali ke kamar dengan raut wajah kecewa. Jika saja Dinda belum tertidur dan melihat ibunya seperti ini, anak itu pasti akan banyak bertanya dan membuat Nadin bingung harus menjawab bagaimana. Nadin merebahkan tubuhnya di atas kasur, mencoba memejamkan matanya, membuat dirinya terlelap. Keesokan harinya, Nadin terbangun sendirian. Nadin menguap, meregangkan tubuhnya yang pegal. Ia melihat jam yang tergantung pada dinding, pukul enam pagi, Nadin segera turun dari tempat tidur dan mandi. Selesai mandi dan berpakaian, Nadin keluar dari kamarnya, turun ke lantai dua untuk memasak sarapan. Hari ini adalah hari libur, jadi Nadin membiarkan Dinda tidur sampai jam sembilan karena biasanya anak itu bangun jam enam jika di hari-hari biasa. "Hari ini masak apa, ya?" gumam Nadin pada dirinya sendiri. Nadin membuka kulkas, melihat bahan makanan yang tersedia di sana. Melihat ayam di dalam kulkas, Nadin akhirnya memutuskan untuk membuat bubur ayam sederhana. Pertama-tama Nadin menyiapkan panci yang cukup besar, memasukan air, beras, serai, dan jahe dan masak sampai mengental dan bumbu meresap. Sambil menunggu nasinya menjadi lembek, Nadin terlebih dahulu menyiapkan kuah kaldu untuk bubur ayamnya. Nadin memanaskan minyak goreng, lalu tumis bumbu halus, serai, lengkuas, daun salam, dan daun jeruk hingga wangi. Tambahkan ayam. Masak sampai ayam berubah warna. Tuang air. Masak kembali sampai bumbu meresap dan ayam matang. Angkat ayam dan tiriskan. Setelah itu Panaskan kembali minyak goreng. Masukkan ayam, goreng sampai kecoklatan. Angkat dan tiriskan. Lalu Suwir-suwir ayam dan taruh pada mangkuk yang cukup besar. Butuh waktu sekitar satu jam untuk memasak dan setelah semuanya selesai Nadin menghela nafas lega. Ia lalu menyajikan semuanya dalam satu mangkuk, berjalan kearah meja makan dan mulai memakan sarapannya. Selesai sarapan, Nadin membereskan dapur, menyimpan sisa bubur ayam untuk Dinda dan suaminya. Sudah jam setengah delapan, tapi deru mobil Tama belum juga terdengar. Nadin membereskan rumahnya terlebih dahulu, dia menyapu dan mengepel, lalu menyortir pakaian kotor di kamar untuk di bawa ke ruang laundry. Bibi yang keluarga mereka pekerjakan belum datang karena hari ini adalah hari minggu dan Nadin mengizinkan pembantu rumah tangganya untuk datang di jam sembilan. Cukup lelah untuk mengerjakan pekerjaan rumah, Nadin duduk di sofa, beristirahat sambil memejamkan matanya. Entah berapa lama matanya terpejam, Nadin mendengar suara deru mobil dari halaman depan rumah, ia buru-buru keluar untuk melihat siapa yang datang. Sesuai dengan dugaan Nadin, itu adalah Tama. "Sayang," panggil Tama dengan senyuman. Nadin mendengus, berbalik pergi mengabaikan Tama. "Kamu marah?" tanya Tama, memeluk pinggang istrinya. "Lepasin Mas, aku harus beres-beres lagi." Nadin mencoba melepaskan pelukan Tama. "Aku minta maaf, Nad. Keadaan Kaila bener-bener parah semalem, aku harus antar mereka ke rumah sakit." "Kamu bisa aja cuma antar, tapi kenapa harus ikut menginap segala?" Tama menghela nafasnya, membenamkan kepalanya pada pundak sang istri, "Aku khawatir sama mereka, aku enggak mungkin meninggalkan mereka di rumah sakit berdua. Jangan marah, okey? Aku lapar sekarang, kamu masak apa?" Nadin menghela nafas, "Ada bubur ayam di dapur. Memangnya kamu udah mandi?" "Belum, aku mau sarapan dulu." Nadin menganggukkan kepalanya, dia dan Tama masuk kedalam rumah dan pergi ke dapur. Tama duduk di meja makan, sedangkan Nadin menyiapkan bubur ayam buatannya untuk sang suami. "Dinda belum bangun?" tanya Tama pada sang istri. "Belum," jawab Nadin sambil menaruh semangkuk bubur di depan Tama. Tama menghirup aroma bibir ayam di depannya, wanginya membuat perut kosong bergejolak. "Masakan kamu enak banget," puji Tama dengan tulus, "Ah, gimana kalau besok kita ke Disneyland? Dinda pasti seneng banget, kan?" "Beneran, Mas?" tanya Nadin, menatap Tama dengan tatapan bersemangat. "Um, kebetulan aku free untuk lima hari ke depan." "Disneyland mana? Kamu udah beli tiketnya?" "Jepang, kebetulan ada taman aku yang kemaren bawa anaknya kesana. Aku udah pesen tiket, kita tinggal berangkat." "Kalau gitu kita harus nginep, kan, ya? Aku bangunin Dinda dulu sambil packing baju-baju, ya. Kamu jangan lupa mandi habis ini." Setelah mengatakan itu, Nadin naik ke lantai dua, masuk kedalam kamar Dinda untuk membangunkan sang putri. Dinda menguap dengan malas saat Nadin membangunkannya. Anak itu merengek pada Nadin, bersandar pada tubuh sang ibu lalu kembali membuka matanya. "Sayang, ayo dong bangun. Papa bilang mau ajak Dinda ke Disneyland, memangnya Dinda enggak mau?" Nadin mengelus punggung putrinya dengan lembut. "Disney? Kapan, Ma?!" Dinda langsung terbangun, bertanya dengan nada bersemangat pada Nadin. "Besok, sekarang Dinda mandi sama sarapan dulu, habis itu bantuin Mama buat packing baju!!" "Yey! Siap, Ma!" *** "Ma, baju Dinda yang ini bawa, ya? Yang ini juga, ya, Ma! Sepatu Dinda bawa yang ini." Dinda sangat bersemangat membantu Nadin berkemas barang-barang yang akan mereka bawa ke jepang nanti. Gadis kecil itu tidak henti-hentinya mengambil barang favorit yang dia miliki dan meminta Nadin untuk mengemasnya bersama. "Jangan bawa sepatu yang itu," tolak Nadin pada Dinda. Dinda cemberut, merajuk pada Nadin, "Tapi pengen bawa, Ma. Sepatunya cantik, Papa yang belikan Dinda ini!" "Iya, Mama tau. Tapi kamu udah bawa tiga sepatu, nanti gampang tinggal beli di sana kalau misalkan kurang, okey?" "Kenapa?" Tama masuk kedalam kamar melihat istri dan anaknya berkemas bersama-sama. Melihat Dinda yang cemberut pada istrinya, Tama tidak bisa untuk tidak bertanya. "Dinda pengen bawa banyak banget sepatu, kopernya enggak muat," jawab Nadin sambil terus melipat barang. "Papa!" Dinda dengan manja berlari memeluk ayahnya, anak itu mengeluh pada Tama, "Dinda pengen bawa ini juga, boleh, ya, Pa." Tama tersenyum, hatinya melembut melihat tingkah putrinya yang manja, "Boleh, tapi habis ini jangan bawa sepatu yang lain lagi, ya." Dinda mengangguk senang, apalagi saat sang ayah mengelus pucuk kepalanya dengan lembut. Nadin yang melihat ayah dan anak itu menghela nafas, tapi hatinya berbunga-bunga karena jarang Tama mau mengabulkan permintaan Dinda. Ia cukup senang dengan interaksi mereka, apalagi saat melihat senyum lebar di bibir putrinya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN