FOUR

1780 Kata
~Parental love is the only love that truly selfless, unconditional and forgiving~ Dr. T. P. Chia   "Rae ..., jangan tegang begitu." Leander bisa merasakan kegugupan gadis itu. Saat ini mereka sedang dalam perjalanan menuju rumah Leander. Leander sudah mengatakan pada kedua orang tuanya bahwa dia akan memperkenalkan seseorang pada mereka. "Maunya juga nggak tegang, Pak. Tapi susah," ujar Ranice tanpa dapat menyembunyikan kegugupannya. "Santai aja. Papa Mama pasti akan menerima kamu dengan baik." Leander berusaha membesarkan hati Ranice. "Apa yang membuat Bapak yakin kalau mereka akan menerima saya? Sementara Mbak Becky yang sesempurna itu aja nggak dapat respon yang positif padahal udah bertahun-tahun kenal dengan mereka? Apa lagi saya? Gadis ingusan tanpa prestasi dan dari berasal keluarga yang biasa." Jujur saja Ranice memang merasa sangat minder. Apalah dirinya jika dibandingkan dengan Becky? Dilihat dari sisi manapun juga, keadaan Becky jauh lebih baik darinya. Ditambah dengan kenyataan bahwa Leander memang mencintai wanita itu. Sementara dirinya? Sudah tidak memiliki modal apa-apa, tidak dicintai juga oleh Leander, dan ketika nanti mendapat penolakan dari orang tua Leander, maka lengkap sudah! "Nggak tahu, tapi aku yakin mereka akan menerima kamu. Entahlah ...," ujarnya santai. "Jangan terlalu yakin dulu, Pak!" "Rae ..., stop panggil aku 'bapak'. Papa Mama bisa curiga." Leander mengingatkan. "Terus saya harus panggil apa?" tanyanya bingung. "Panggil aja Lee," balasnya datar.   "Gimana ceritanya nama Pak Axel jadi Lee?" tanya Ranice penasaran. "Itu nama kecilku, disingkat dari 'Leander'." Dia mengangkat bahu tidak peduli. "Tapi kenapa semua orang panggil kamu Axel?" tanyanya semakin penasaran. "Karena yang panggil aku 'Lee' cuma keluarga aja." Ranice merasa sedikit heran, karena setahunya bahkan Becky memanggil pria ini Axel. Leander memarkirkan mobilnya di halaman rumahnya, kemudian memberi kode agar Ranice mengikutinya turun. "Ayo, masuk!" bisik Leander di telinga Ranice. Digenggamnya tangan gadis itu yang sedikit gemetar. Ada sedikit rasa bersalah terselip dalam hati Leander karena menyeret Ranice dalam sandiwara ini. Ranice setengah mati menahan dirinya agar tidak berlari meninggalkan rumah Leander. Rasa gugup menderanya. Kakinya sulit untuk digerakkan, tangannya kaku, dan bibirnya terlihat pucat. "Hei! Rileks, Rae ...," bisik Leander menenangkan. "Muka kamu kaya orang mau dibantai gitu." "Lee ..., sudah pulang?" sapa Adelia dari meja makan ketika menyadari kedatangan Leander. Tanpa sadar dia mulai menilai gadis yang tengah berjalan berdampingan dengan putranya. Daniel yang sedang menikmati makan malamnya, mengangkat kepala ketika tangan sang istri menepuk perlahan kakinya di bawah meja. Pandangannya segera jatuh pada sesosok gadis yang berdiri tegang di sebelah Leander. "Siapa ini?" tanya Adelia tersenyum ramah. Adelia berjalan mendekat dan merentangkan tangannya menyambut Ranice. "Pa ..., Ma ..., kenalkan. Ini Ranice." Leander mempererat pegangannya pada bahu Ranice. "Selamat malam, Tante, Om," ujar gadis itu gugup sambil membungkukkan badannya. "Ayo, ikut makan!" ajak Adelia, merangkul pundak Ranice dan menuntunnya duduk. Untuk beberapa waktu mereka hanya menikmati hidangan makan malam, tidak ada percakapan di antara keempatnya, karena masing-masing sibuk dengan pikirannya sendiri. Ranice begitu gugup dan merasa serba salah. Berkali-kali dia mengutuki dirinya sendiri karena berani-beraninya datang ke sini. Sementara Leander sibuk memperhatikan tatapan kedua orang tuanya yang terus menerus mencuri lihat ke arah Ranice. Adelia sibuk menilai gadis yang dibawa oleh putranya malam ini. Entah mengapa dia langsung jatuh hati pada gadis itu. Manis dan sederhana. Sikapnya sangat wajar dan tidak dibuat-buat. Sementara Daniel tidak terlalu ambil pusing dengan kedatangan Ranice. "Jadi, apa ada sesuatu yang khusus malam ini?" tanya Adelia tidak dapat menahan rasa penasarannya lebih lama lagi. "Tidak ada. Hanya ingin memperkenalkan Ranice pada kalian." "Sebagai siapa?" goda Daniel. Dia tahu Leander tidak akan membawa pulang seorang gadis untuk diperkenalkan jika tidak ada alasan khusus. "Tidak sebagai siapa-siapa." Leander masih menimbang-nimbang sebaiknya dia memperkenalkan Ranice sebagai siapa. "Ayolah, jangan coba-coba membohongi kami. Apa setiap malam kamu selalu membawa teman wanitamu untuk diperkenalkan pada kami? Seingat Mama ini adalah pertama kalinya sejak bertahun-tahun," ujar Adelia tidak sabar.          Ranice sedari tadi hanya sibuk memilin-milin tangannya di bawah meja. Terlalu gugup mengikuti percakapan mereka. "Sebagai siapa, Rae?" tanya Leander lembut. Tiba-tiba pria itu sudah menggenggam tangan kanan Ranice dan membawanya ke atas meja. Ranice hanya tertegun tanpa dapat menjawab apa-apa. Setelah lama menunggu jawaban Ranice, Leander akhirnya menjawabnya sendiri, "Baiklah, Pa, Ma. Aku akan perkenalkan Rae sebagai wanita yang spesial, yang akan memiliki arti penting dalam hidupku ke depannya." Senyum Adelia merekah sempurna. Setelah itu perbincangan mulai mengalir dengan lancar. Pertanyaan demi pertanyaan dilontarkan pada Ranice. Seputar kehidupannya, keluarganya, pekerjaannya, dan lain sebagainya. Leander lega melihat interaksi kedua orang tuanya dengan Ranice. Tanpa perlu mengatakan apa pun, dia tahu orang tuanya menyukai Ranice. *** "Ayah ...." Rae memeluk Anton dari belakang dan menyandarkan kepalanya di bahu sang ayah. "Aduh, manjanya." Anton meletakkan koran yang sedang dibacanya di atas meja makan, memutar kepalanya untuk melihat anak gadisnya. Tangannya terulur untuk menjawil hidung Ranice. "Ayah ..., Rae minta maaf ...," ujarnya lirih di bahu sang ayah. "Lho, lho? Ada apa ini? Pagi-pagi wajahnya sudah mendung, pakai minta maaf juga?" Anton kaget mendengar permintaan maaf Ranice yang tiba-tiba. "Rae minta maaf karena nggak dengar kata-kata Ayah sejak dulu." Nadanya terdengar sangat sedih di telinga Anton. "Rae ..., coba lihat Ayah!" Ditariknya Ranice agar duduk di kursi makan di sebelah kirinya. "Rae, ada apa sebenarnya? Cerita sama Ayah. Kamu tahu 'kan kalau kamu bisa menceritakan apa pun sama Ayah?" tanya Anton meyakinkan putrinya. "Ini soal Theo, Yah. Rae mengakhiri hubungan kami. Harusnya sejak awal Rae menuruti kata-kata Ayah. Sekarang Ayah pasti malu dengan keluarga kita, karena kami sudah sempat bertunangan tapi sekarang semuanya batal," ujar Ranice sambil menunduk. Sama sekali tidak berani menatap mata ayahnya. "Kamu pasti memiliki pertimbangan. Ayah tidak akan menyalahkan kamu. Mau cerita sama Ayah penyebabnya?" Suara ayahnya terdengar sangat lembut dan mampu menenangkan hati Ranice yang kacau. "Bella hamil anak Theo, Yah." Ranice mengatakannya dengan suara yang bergetar, campuran antara perasaan marah pada kedua orang itu dan rasa takut menghadapi reaksi ayahnya. "Kamu sedih karena mereka?" Pertanyaan yang diajukan Anton sama sekali jauh di luar perkiraan Ranice. Dikiranya sang ayah akan mengamuk karena Theo sudah menyakitinya seperti ini. "Rae merasa dibodohi, Yah," akunya sedih sekaligus kesal. "Kamu sedih karena tidak mungkin lagi menikah dengan Theo setelah kejadian ini?" tanyanya lagi. "Tidak juga, Yah. Rae lebih merasa malu ketimbang sedih. Ternyata selama ini Rae sangat bodoh. Rae membuang waktu selama tujuh tahun untuk laki-laki seperti dia. Coba Rae dengar perkataan Ayah." Ranice memang benar-benar menyesali pilihannya. Dulu saat pertama dia dekat dengan Theo, ayahnya sudah pernah mengatakan kurang menyukai pria itu. Namun ayahnya memang tidak melarang apa pun yang menjadi pilihan Ranice. Bahkan ketika Theo datang untuk meminta restunya, Anton hanya menyerahkan semua keputusan pada Ranice. "Rae, semua yang terjadi dalam kehidupan kita itu adalah proses yang memang Tuhan izinkan untuk terjadi. Semua proses itu Tuhan biarkan ada dalam perjalanan kita untuk menjadikan kita lebih dewasa, lebih kuat. Mungkin sekarang kamu merasa sakit, Rae. Tapi percaya pada Ayah, saat ujian ini lewat kamu akan mengucap syukur karena Tuhan begitu baik padamu. Tuhan tidak izinkan kamu menikah dengan pasangan yang tidak tepat. Sebelum kamu sampai menikah dengan dia, Tuhan tunjukkan terlebih dulu seperti apa Theo itu. Bisa kamu bayangkan kalau ini terjadi setelah kalian menikah?"   Ranice masih ingat dengan jelas ketika tiga bulan yang lalu dia harus mengakui hubungannya dengan Theo yang kandas di tengah jalan, dan sekarang dia harus kembali menghadapi ayahnya untuk meminta restu menikah dengan Leander. Ranice tidak bisa membayangkan reaksi ayahnya mendengar semua ini. Tapi mau bagaimana lagi, dia sudah terlanjur melangkah. Semalam mereka sudah menemui orang tua Leander dan mendapat tanggapan positif dari keduanya. Hari ini giliran mereka menemui ayah Ranice. Ditatapnya Leander yang tengah duduk dengan sangat tenang di sebelahnya di ruang tamu rumahnya, sementara Ranice setengah mati berusaha meredam getaran tangannya. "Kenapa kamu bisa setenang ini, Lee?" tanya Ranice sambil berbisik. Takut terdengar oleh Anton, padahal ayahnya itu sedang mandi. "Memangnya aku harus gimana?" tanya Leander heran. "Hmm ..., bukan harus gimana, cuma ...." Kalimatnya menggantung. Dia sendiri bingung seharusnya Leander bersikap seperti apa? "Cuma apa? Kamu merasa aku terlalu santai? Sama sekali nggak kelihatan tegang? Begitu?" tanyanya dengan nada mengejek. "Hmm." Ranice mengangguk. "Memangnya kamu. Ketemu Papa Mama aja kayak mau ketemu siapa," ejek Leander lagi. "..." Ranice mendelikkan matanya karena kesal dengan ucapan Leander. "Lagian aku tuh datang baik-baik, Rae. Mau minta kamu secara baik-baik. Bukan datang buat bilang kalau aku udah hamilin kamu, atau hal-hal nggak pantas yang lainnya. Jadi buat apa juga aku harus takut?" "Terserah!" Ranice menelan kedongkolannya melihat sikap Leander yang menyebalkan. "Ah, maaf ya. Saya tadi mandi dulu. Tidak lama 'kan?" Suara Anton menghentikan perdebatan mereka berdua. "Tidak apa-apa, Om. Saya yang harusnya minta maaf sudah mengganggu waktu istirahat, Om." Leander sudah lebih dulu menjawab sebelum Ranice sempat membuka mulut. "Tidak masalah. Jadi ada apa ini? Tumben Nak Axel datang ke sini?" tanya Anton. Perasaannya sebagai seorang ayah mengatakan bahwa kunjungan Leander ke rumahnya pastilah karena sesuatu yang penting. "Begini, Om. Sebelumnya saya minta maaf kalau ini terkesan mendadak. Kedatangan saya ke sini ingin meminta restu Om untuk menikahi Ranice. Saya tahu kalau Ranice baru saja berpisah dengan mantan tunangannya. Tapi saya serius dengan Ranice, Om. Sudah lama saya menaruh perhatian lebih pada Ranice, tapi saya tidak ingin merusak hubungan mereka. Tetapi dengan kejadian yang terjadi tiga bulan yang lalu, saya merasa yakin untuk memulai hubungan serius dengan Ranice." Leander memulai penjelasannya dengan tenang. "Apa ini tidak terlalu cepat?" tanya Anton terus terang. Dalam hati dia menghargai sikap Leander yang begitu tenang. "Hubungan kami memang baru dimulai, Om. Tapi kami sudah cukup lama saling mengenal. Om tidak perlu kuatir, karena saya tidak main-main. Pria seusia saya ini, sudah bukan waktunya lagi untuk main-main." Leander menampilkan senyumnya yang menawan. "Saya benar-benar serius dengan Ranice, dan saya berjanji akan menjaganya dengan baik. Saya tahu betapa berharganya Ranice untuk, Om. Karena itu saya berjanji untuk selalu membahagiakannya." Hebat sekali akting orang ini! Ranice merinding mendengar semua perkataan Leander. Seandainya dia tidak ingat bahwa ini hanyalah sandiwara, mungkin dia sudah menangis terharu mendengar perkataan Leander. "Rae?" panggil Anton dengan nada bertanya. "Ya, Ayah?" Ranice menatap ayahnya dengan perasaan bersalah. "Kamu mau mengatakan sesuatu?" tanya Anton lembut. "Rae cuma berharap kali ini Rae nggak salah pilih, dan Rae berharap Ayah merestui hubungan kami." Setelah merenung cukup lama, Anton akhirnya berbicara, "Kalau memang ini pilihan kalian, dan ini adalah yang terbaik menurut kalian, Om tidak akan menghalangi. Om hanya minta satu hal sama kamu, jangan pernah sakiti Rae." Permintaan teramat wajar yang diajukan oleh seorang ayah. Ayah mana yang tidak ingin melindungi satu-satunya putri yang dimilikinya? Satu-satunya harta yang ditinggalkan oleh mendiang istrinya. "Terima kasih, Om. Saya berjanji tidak akan menyakiti Ranice." Leander mengangguk pasti. Dalam pikirannya tentu saja dia tidak akan menyakiti Ranice. Karena mereka tidak saling mencintai sehingga tidak mungkin akan terjadi aksi saling menyakiti. *** --- to be continue ---
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN