~When it hurts so much that you can't breathe; that's when you know you're still alive~
Anonim
"Kenapa sih kita harus datang, Lee?" Ranice tidak hentinya mempertanyakan keputusan Leander mengajaknya menghadiri resepsi pernikahan Theo dan Bella malam ini. Sejak Leander menjemputnya siang tadi dan menyeretnya untuk ikut ke butik milik Elle, Ranice sudah merasa tidak nyaman. Dan sekarang, dirinya sudah berpenampilan maksimal, berada di dalam mobil Leander untuk menuju hotel tempat resepsi.
Perasaannya saat ini sangat sulit digambarkan. Perpaduan antara rasa marah, sedih, kecewa, takut, benci, dan berbagai rasa lainnya yang membuat dadanya sesak.
"Jelas harus, Rae. Theo itu artis yang aku produseri, akan aneh kalau aku nggak datang ke acara pernikahannya."
"Tapi 'kan nggak perlu ajak aku, Lee. Kamu 'kan bisa pergi sendiri, atau sama Becky aja," balas Ranice frustasi.
"Kamu lupa? Publik itu harus mulai mencium kedekatan kita, dan mulai sekarang aku nggak boleh lagi terlihat berdua dengan Becky di depan publik. Lagian, memangnya kamu nggak mau lihat seperti apa pernikahan mereka? Tunangan dan sahabat kamu."
"Mantan, Lee!" ralatnya ketus. "Dan aku sama sekali nggak berminat buat menyaksikan pernikahan mereka."
"Kenapa? Takut nggak kuat? Takut nangis-nangis histeris lihat mereka?" tanyanya mengejek.
Mata gadis itu sontak terbelalak kesal. "Lee ..., mulut kamu itu lho, jahat banget!"
"Aku bicara kenyataan, Rae," balasnya santai. "Aku kasih tahu kamu ya, ini momen yang tepat buat membalas mantanmu itu. Tenang aja, aku sendiri yang akan memastikan kamu nggak akan sampai dipermalukan di pernikahan mereka nanti."
"Terserah, Lee ..., terserah! Sesuka kamu aja!" Ranice membuang pandangannya ke jendela dan menyandarkan kepalanya di jendela. Malas meneruskan percakapan dengan Leander yang membuatnya tambah sakit kepala.
***
Ketika menjejakkan kakinya di ballroom hotel tempat resepsi pernikahan Theo dan Bella, kepala Ranice serasa berputar. Jika Leander tidak memegang pinggangnya kuat-kuat, mungkin dia sudah terjerembap karena tidak kuat menahan tubuhnya sendiri.
"Rae ..., kita hadapi sama-sama," Leander berbisik menguatkan Ranice. Diambilnya tangan kanan Ranice kemudian dilingkarkannya pada lengan kirinya. "Jangan dilepas! Pegang aku selama kita berada di sini."
Napasnya tercekat ketika melihat betapa romantisnya suasana di dalam ballroom ini. Semua yang dilihatnya mengingatkannya pada rencana pernikahan yang pernah dirancangnya bersama Theo. Dia tidak habis pikir bagaimana Theo sampai hati menjadikan ide pernikahan impiannya menjadi konsep untuk pernikahannya bersama Bella?
"Ayo kita menyalami mereka dulu." Leander kembali meraih pinggang Ranice, membawanya semakin merapat ke tubuhnya. Sebisa mungkin menampilkan kemesraan di antara mereka. Selain untuk memberi pelajaran pada Theo, Leander melakukannya karena menyadari para wartawan yang diam-diam mulai membidikkan kameranya ke arah mereka.
Pelaminan terlihat sudah lengang karena mereka memang datang cukup terlambat. Leander melangkah dengan mantap ke arah pelaminan, sementara Ranice merasakan lututnya semakin lemas saja. "Lee, aku mau pulang aja," rintih Ranice.
"Nggak bisa, Rae. Kita harus menyalami mereka. Itu tujuan kita datang ke sini."
"..." Ranice menatap Leander dengan pandangan memohon.
"Ayo, Rae. Kamu harus kuat. Kamu pasti bisa! Tunjukkan sama mereka kalau kamu nggak semudah itu dihancurkan."
"Theo, congrats!" Leander menjabat erat tangan Theo sambil tidak lupa tetap merangkul pinggang Ranice dengan posesif, seolah menunjukkan kepemilikannya atas gadis itu.
"Thanks, Pak Axel. Kalian ...." Theo memicingkan matanya melihat kedekatan antara Ranice dan Leander. Tangannya bergetar ketika menyambut uluran tangan Ranice.
"Tunggu undangan dari kami. Kamu harus bernyanyi di pernikahan kami nanti," ujar Leander sambil menampilkan senyumnya.
Ranice segera menarik tangannya dan bergerak ke arah Bella. Dipeluknya Bella dan dikecupnya kedua belah pipi wanita itu. "Kamu harus bahagia." Hanya kata itu yang diucapkannya.
"Makasih ya, Rae. Sekali lagi aku minta maaf-"
Ranice segera memotong ucapan Bella. "Shh! Udah nggak perlu dibahas lagi."
"Kamu nggak datang sama Juro?" tanya Bella heran.
"Juro ada acara penting hari ini, dia nggak bisa datang. Tapi dia titip salam buat kalian." Tentu saja Ranice berbohong, yang sebenarnya adalah Juro mungkin sedang duduk santai di rumahnya menonton pertandingan sepakbola, atau film horor, atau lawak, atau apa pun. Juro bukan tidak bisa datang tapi dia memang tidak sudi untuk datang ke acara pernikahan ini.
Setelah itu Ranice dan Leander berpindah menyalami orangtua Theo, karena sudah ada beberapa tamu lain berdiri di belakang mereka untuk menyalami kedua mempelai.
Ranice menyalami kedua orang tua Theo dengan perasaan berkecamuk. Kedua orang ini hampir menjadi orang tuanya, tapi kini semua kandas.
Orang tua Theo memeluk Ranice begitu erat, mengucapkan permintaan maaf yang mereka tahu tidak akan pernah bisa mengobati luka hati yang ditorehkan oleh putra mereka.
"Kamu harus bahagia ya, Sayang. Kami benar-benar mohon maaf atas kesalahan Theo," ujar ibunda Theo menahan tangis.
"Iya, Tante. Ini bukan salah Om dan Tante." Ranice mengangguk dan mempererat pelukannya pada ibunda Theo.
Leander kembali merangkul Ranice dan menuntunnya meninggalkan pelaminan. Setelah momen yang menyesakkan itu berlalu, mereka berbaur dengan para kenalan yang lain. Orang-orang yang kebanyakan juga berasal dari industri musik.
Leander sama sekali tidak membiarkan Ranice jauh-jauh darinya, mereka menempel erat sepanjang acara. Ke mana pun Leander bergerak, dia akan memastikan Ranice ikut bersamanya. Orang yang tidak tahu pasti akan menganggap mereka pasangan yang sedang dimabuk cinta, begitu mesra dan tidak terpisahkan. Padahal yang sebenarnya terjadi, Leander hanya sangat takut Ranice akan pingsan mendadak. Karena dia dapat merasakan tubuh gadis itu semakin dingin dalam dekapannya.
Kedua mempelai terlihat turun meninggalkan pelaminan untuk melakukan mingle. Tidak lama setelahnya terjadi hal yang mengerikan bagi Ranice.
Suara seorang pria terdengar melantunkan sebuah lagu diiringi alunan musik dari band pengiring. Ratusan pasang mata memandang penuh kagum pada sesosok pria yang tengah berdiri di tengah kerumunan tamu yang hadir. Tepukan riuh terdengar menyambut suara pria itu.
Seketika tubuh Ranice bergetar. Tanpa perlu melihat, dia sudah tahu siapa yang tengah bernyanyi saat ini. Suara yang telah begitu akrab di telinganya selama tujuh tahun ini. Suara yang sering menyenandungkan lagu cinta untuknya. Suara yang sanggup membuainya ke dalam mimpi yang terindah.
Di atas panggung kecil di tengah ballroom, sosok Theo berdiri tegak. Sementara band pengiring sudah digantikan oleh personil band teman-teman Theo sendiri. Beberapa orang gadis yang sepertinya merupakan para bridesmaid terlihat menuntun Bella dari kerumunan tamu berjalan menuju tengah panggung.
Theo menyanyikan lagu itu untuk wanita lain. Lagu yang pernah Theo janjikan akan pria itu nyanyikan di hari pernikahan mereka. Lagu berjudul Tulang Rusuk yang dibawakan oleh Sammy Simorangkir. Lagu yang dulu pernah melambungkan angan Ranice tentang sebuah pernikahan yang indah, namun yang kini terasa menyayat hatinya.
Setiap kata dari lagu itu kini menghujam jantungnya, membuatnya semakin sesak dan perih. Hatinya yang sudah penuh luka kini berdarah-darah. Kakinya seakan tidak kuat menahan tubuhnya lagi. Tangannya mencengkeram tangan Leander dengan sangat kuat. Dipalingkannya wajahnya ketika menyadari Theo bernyanyi sambil menatap dirinya. Pria itu seolah menatap Bella, padahal pandangannya mengarah jauh ke belakang Bella, tempat Ranice saat ini berdiri.
Ranice menyembunyikan wajahnya di balik pundak Leander, menempelkan pipinya di belakang bahu Leander. Ranice terus menggenggam erat tangan pria itu seolah mencari kekuatan di sana, dengan gemetar dia berbisik lirih, "bawa aku pergi dari sini. Aku mohon bawa aku pergi. Ke mana saja, asal aku tidak perlu lagi melihat semua ini."
Meski Leander tidak memiliki perasaan apa pun untuk Ranice, tapi dia sungguh tidak tega melihat gadis itu hancur seperti ini. Direngkuhnya Ranice ke dalam pelukannya, kemudian dibimbingnya gadis itu meninggalkan ballroom.
***
--- to be continue ---