~Never do something permanently foolish just because you are temporarily upset~
Anonim
"J, bangun!" Ranice mengguncang tubuh Juro yang masih terbalut selimut hingga sebatas dagunya. Ranice sudah terbiasa menerobos rumah Juro dengan seenaknya. Tante Mayang tidak pernah keberatan jika Ranice mengganggu tidur nyenyak putranya yang pemalas itu.
"Apa sih? Masih pagi ini, ngantuk tau," Juro bergumam malas.
"J, ayo bangun dong," bujuk Ranice.
"Rae, balik gih ke seberang. Ngapain ke sini pagi-pagi? Kayak nggak punya kamar sendiri. Ganggu orang aja!" balas Juro kesal.
"Nggak mau, J! Aku butuh bantuan kamu. Kamu harus bangun sekarang juga, terus temenin aku ke suatu tempat," pinta Ranice sambil mulai menarik-narik selimut yang dipakai Juro.
"Shh, Rae! Sumpah ganggu banget ya! Mau apa sih?" Juro mulai membuka matanya meski berat.
"Aku mau nikah, J," balas Ranice enteng, dengan nada yang sama yang biasa dipakainya jika meminta Juro menemani dirinya makan es campur kesukaannya.
"What?!" Perkataan Ranice berhasil membuat semua nyawa Juro yang masih beterbangan, terkumpul dalam sekejap. Juro terlonjak dan segera duduk di tempat tidurnya. Selimutnya dilemparkan ke sembarang arah. Diguncangnya bahu Ranice berkali-kali. "Lo bilang apa?! Mau nikah?! Sama siapa?! Gimana caranya?!" cecar Juro berang.
"J, satu-satu nanyanya," ujar Ranice sambil tersenyum santai. Membuat Juro ingin menghantam wajah cantik di hadapannya itu dengan lampu kecil di sebelah tempat tidurnya.
"Oke, lo mau nikah sama siapa?" Juro mencoba mengendalikan dirinya dan bertanya dengan tenang.
"Pak Axel," jawab Ranice masih dengan senyum manisnya.
"Axel? Axel si produser yang katanya seksi itu?!" Juro kembali emosi.
"Hmm." Ranice melebarkan matanya membenarkan pertanyaan Juro.
"Ah, gila! Gimana ceritanya?" Juro tidak habis pikir. Bagaimana bisa dalam kurun waktu tiga bulan Ranice semudah itu berpaling dari Theo?
Ranice menceritakan semuanya tanpa ada yang disembunyikan sama sekali. Dia percaya Juro tidak akan mengkhianatinya, dan jujur dia butuh seseorang yang dapat memahami keadaannya saat ini.
"Gila! Rae, ini bener-bener gila! Nggak bisa Rae, gue nggak setuju. Gue nggak akan izinin lo nekat kayak gini!" Juro mencak-mencak meluapkan keterkejutannya.
"J, please .... Tolong ngertiin aku." Ranice memohon.
"Tapi kenapa juga lo harus mengikat diri dengan pernikahan sandiwara kayak gini, Rae? Gue yakin cepat atau lambat lo juga bakal ketemu laki-laki lain, lo bakal jatuh cinta lagi, dan lo bisa nikah. Bukannya malah terjebak sama hal konyol kayak gini. Kalian berdua tuh nggak punya otak atau gimana sih?!" Juro memarahi Ranice. Dia begitu menyanyangi Ranice, dia tidak rela sahabatnya mengambil keputusan yang akan menghancurkan masa depannya sendiri.
"J, aku udah nggak punya keinginan lagi buat menjalin hubungan dengan laki-laki mana pun. Aku udah mati rasa, J. Theo udah bawa pergi semua." Pandangan mata Ranice meredup, senyum manis penuh kepura-puraan yang sejak tadi ditampilkannya, kini luntur dan berganti senyum getir.
"Terus kalau gitu ngapain juga lo harus pura-pura nikah sama si Axel itu?"
"Karena cepat atau lambat, Ayah pasti berharap aku bakal nikah, J. Ayah nggak akan tenang kalau lihat aku sendiri terus. Menikah dengan Axel aku rasa pilihan terbaik. Kami sama-sama membutuhkan pernikahan ini sebagai topeng untuk melindungi diri kami masing-masing. Kami sama-sama tahu untuk siapa hati kami, jadi kami tidak akan saling menuntut apa pun dalam pernikahan ini."
"Rae, kalo lo segitu butuhnya buat nikah, gue bisa bantuin lo. Masih mending lo nikah sama gue, Rae. Jelas-jelas gue udah kenal lo dari kita masih kayak kecebong." Juro benar-benar menyesali pilihan Ranice. Juro rela menikahi Ranice, bukan karena diam-diam dia mencintai gadis itu, tapi karena dia menyayangi Ranice. Adik kecil yang akan selalu dijaganya sampai kapan pun.
"Itu yang aku nggak mau, J. Aku nggak mau kamu berkorban buat aku. Kamu berhak dapat pernikahan yang baik, menikah dengan orang yang memang mencintai kamu. Tapi aku? Aku nggak punya hati lagi untuk aku kasih sama kamu. Aku juga tahu kamu lagi dekat sama seseorang, mana tega aku rusak kebahagiaan kamu, J." Ranice meremas tangan Juro, memohon restu sahabatnya itu.
***
"Tolong kalian berdua pelajari sekali lagi, baca dengan teliti. Kalau sudah benar-benar yakin, silakan tanda tangani berkas-berkas ini. Setelah ini saya akan mengurus keabsahannya," ujar Alfan, pengacara keluarga Adinata.
Di ruang kerja Leander saat ini tengah berkumpul lima orang untuk proses penandatangan surat perjanjian terkait pernikahan mereka. Elle yang sengaja pulang ke Indonesia karena permintaan Leander, turut hadir sebagai saksi dari pihak Leander, sementara Juro hadir sebagai saksi dari pihak Ranice.
"Kamu yakin?" Juro berbisik di telinga Ranice sambil menyikut lengan gadis itu.
"Hmm." Ranice mengangguk mantap sambil menekuni berkas di hadapannya.
"Begitu kamu tanda tangan, nggak ada kesempatan buat batal, Rae." Juro coba memperingatkan.
"Aku tahu," balas Ranice datar.
Leander sama sekali tampak tidak terganggu dengan kasak-kusuk yang terjadi antara Ranice dengan Juro. Dia sejak tadi membaca dengan tenang, bahkan sebenarnya sama sekali tidak membacanya lagi. Dia hanya berpura-pura membacanya agar Alfan tidak akan menceramahinya lagi.
Elle yang sejak tadi diam, kini mulai mengganggu Leander. Kurang lebih sama dengan pertanyaan yang dilontarkan Juro pada Ranice.
"Lee, kamu serius? Apa iya harus sampai kayak gini?"
"Shh, El! Berisik! Kan semua udah kita bahas semalam," tegur Leander.
"Ah, terserah kamulah!" Elle tidak dapat menyembunyikan kegelisahannya.
Semalam ketika Leander menceritakan tentang pernikahannya dengan Ranice, Elle masih tidak terlalu menganggap serius. Tapi pagi ini, ketika Leander menggiringnya untuk menjadi saksi pengesahan perjanjian ini, mau tidak mau Elle harus merasa gelisah.
Apalagi ketika melihat calon istri kakaknya itu. Gadis itu terlihat sangat rapuh. Gadis baik-baik yang sama sekali bukan tandingan Becky jika wanita itu sampai memutuskan untuk mencari masalah dengannya, gadis baik-baik yang terlihat tidak cocok untuk terlibat dalam sandiwara gila rancangan Leander. Ahh, Elle benar-benar pusing memikirkan kelakuan kakaknya!
Sejak pertama melihat Ranice, Elle langsung jatuh hati pada calon kakak iparnya itu. Kakak ipar yang usianya empat tahun lebih muda darinya itu. Kakak ipar rasa adik kecil.
"Sudah selesai, berkas ini akan segera saya proses. Saya permisi dulu," ujar Alfan memecah keheningan dan mengakhiri pertemuan mereka."
"Aku juga permisi," ujar Juro dengan nada tidak bersahabat.
"J ...," panggil Ranice.
"Jangan lihat aku kayak gitu. Tugas aku udah selesai 'kan? Aku harus pergi, Rae. Ada meeting." Juro berlalu tanpa merasa perlu berpamitan dengan Leander.
"Maaf," ujar Ranice. "Sepertinya hal ini masih terlalu mengejutkan untuknya."
"Nggak masalah," ujar Leander tidak peduli. Kalau keluarganya saja tidak dia pusingkan, apalagi hanya tanggapan orang lain? Sama sekali bukan hal yang penting bagi Leander.
"Rae," panggil Elle. "Kalau kamu nggak ada acara, bisa temani aku lunch? Sekalian kita bisa membahas rencana untuk persiapan pernikahan kalian. Aku yang akan membantu kalian mempersiapkan segala sesuatunya." Elle menatap Ranice dengan pandangan bersahabat, dan Ranice tidak sampai hati untuk menolak ajakan gadis itu.
***
--- to be continue ---