~ You can be the moon and still be jealous of the stars ~
Gary Allan
"Mau ketemu siapa kita?" Ranice akhirnya tidak dapat menahan rasa penasarannya lagi. Sudah hampir setengah jam mereka duduk diam di sebuah restoran siang itu, tapi Leander sama sekali tidak menjelaskan apa-apa. Leander tiba-tiba menjemputnya dan mengajaknya pergi untuk bertemu seseorang. Tapi Leander tidak mengatakan akan bertemu dengan siapa dan untuk alasan apa.
"Tunggu aja. Sebentar lagi juga sampai. Mereka kena macet katanya." Leander menanggapi pertanyaan Ranice tanpa memandang gadis itu sama sekali karena tengah sibuk berbalas pesan dengan Becky.
Akhir-akhir ini Ranice merasakan sikap Leander yang kurang bersahabat, cenderung dingin bahkan. Bukan Ranice mengharapkan perhatian dari Leander, atau merasa cemburu dengan Becky. Sama sekali tidak. Dia hanya merasa heran karena lama-lama Leander seperti menjaga jarak dengannya, bahkan memusuhinya. Sangat berbeda dengan sikapnya sebelum ada perjanjian di antara mereka.
"Hai! Maaf lama," sapa sebuah suara yang mendekat ke meja mereka. Ranice melihat seorang pria bertubuh tinggi tegap tengah merangkul seorang wanita bertubuh mungil dengan perut yang sedikit membuncit.
Leander berdiri dan menyambut mereka. "Nggak apa-apa, Mas. Thanks kalian udah mau meluangkan waktu buat datang. Kenalin Mas, ini calon istri gue, Ranice."
"Hai, Ranice. Saya Reiga, dan ini istri saya, Freya." Ranice berjabat tangan dengan keduanya.
Mereka kembali duduk, kemudiam memesan makanan, sambil memulai percakapan.
"Jadi, Mas Reiga ini dulu senior aku waktu kuliah bisnis di London, Rae. Mas Reiga ini punya studio design, dan aku meminta bantuan Mas Reiga untuk mendesain interior rumah kita. Karena kebetulan sekali istrinya Mas Reiga ini seorang designer interior." Leander menjelaskan dengan sikap yang hangat. Sikap yang sangat berbeda dengan sikapnya ketika mereka hanya berdua saja tanpa ada orang lain.
"Iya, istri saya ini sempat jadi kepala studio di sana, tapi karena sedang hamil sudah tidak mengepalai Flaming Works lagi. Tapi khusus untuk Axel, saya beri izin agar Freya yang menangani interior design untuk rumah kalian." Pria bernama Reiga itu berbicara sambil menatap istrinya penuh cinta. Ranice bisa melihat sebesar apa pria itu mencintai istrinya, jelas terlihat dari sikapnya yang terkesan sangat melindungi sang istri.
"Nah Rae, sekarang kamu tinggal bilang aja semua yang kamu mau sama Freya. Mau dibuat kayak gimana rumah kita nantinya, terserah kamu aja. Aku sih ikut aja, Rae." Leander kembali melancarkan jurus andalannya. Semua-terserah-kamu-aku-ikut-aja.
Seperti biasa Leander akan melemparkan semua urusan yang berkaitan dengan pernikahan mereka ke tangan Ranice. Dia sama sekali tidak berminat untuk terlibat, bahkan sekadar untuk menunjukkan ketertarikan. Inilah yang membuat beban Ranice semakin bertambah, dia merasa tertekan dengan sikap Leander. Ranice sendiri sama dengan Leander, sama-sama terjebak dalam sandiwara ini, dan tolong jangan lupakan siapa yang menyeret Ranice dalam permainan ini. Tapi sikap Leander yang seperti ini, membuat Ranice pusing dan terbeban. Pria itu sama sekali tidak berniat untuk membuat keadaan menjadi lebih mudah untuk mereka.
***
Ranice tidak bisa mengalihkan perhatiannya dari pemandangan di depannya yang membuat hatinya serasa tercubit.
"Silakan menjelajah di proyek baru kamu, tapi ingat jangan terlalu lelah. Kalau udah selesai, segera kembali ke sini. Aku dan Axel akan menunggu kalian." Reiga mengecup Freya dan melepaskan rangkulannya di pinggang wanita itu. Ranice bisa melihat betapa posesifnya Reiga terhadap istrinya itu.
Betapa beruntungnya wanita ini. Dicintai sedemikian rupa oleh suaminya. Sedangkan aku? Apa yang akan aku dapatkan dalam pernikahanku sendiri nantinya? Hanya sebuah sandiwara.
"Ayo, Rae. Kita mulai berkeliling. Kamu mau mulai dari mana?" Freya menggamit tangan Ranice dan memaksa gadis itu mengehentikan lamunannya. Mereka berlalu meninggalkan kedua pria itu di halaman belakang.
Jangan disesali. Bukannya ini pilihan kamu sendiri?
"Hmm. Sebenarnya aku juga bingung, Mbak. Sama sekali nggak ada bayangan mau dibuat seperti apa rumah ini." Tentu Ranice berkata jujur. Dia saja baru pernah ke rumah ini satu kali, dan ini adalah kali kedua dia menjejakkan kakinya di rumah ini. Lagipula Ranice tidak pernah memimpikan untuk tinggal di sebuah rumah dengan pria lain, rumah yang pernah diimpikannya adalah rumahnya bersama Theo. Rumah yang sekarang ditempati Theo bersama Bella.
"Kalau gitu aku bantu ya. Kamu jawab aja pertanyaan-pertanyaanku, supaya aku dapat gambaran mau dibuat seperti apa rumah ini. Oke?" ujar Freya menenangkan.
"Iya, Mbak. Maaf ya jadi repot." Ranice merasa menyesal sudah merepotkan wanita yang tengah hamil besar ini untuk memenuhi permintaan khusus Leander.
"Nggak, Rae. Nggak sama sekali." Freya memberikan senyum manisnya pada Ranice.
Aduh senyummu, Mbak. Pantas suamimu lengket begitu.
"Tapi, Mbak yakin ini nggak apa-apa? Mbak lagi hamil tujuh bulan, malah direpotin sama urusan kami." Ranice bertanya sangsi.
"Nggak, Rae. Aku malah senang bisa dapet kerjaan gini. Rei itu over protective banget sama aku. Aku nggak boleh ngerjain apa-apa, takut kenapa-kenapa katanya." Freya meringis membayangkan kelakuan suaminya.
"Kelihatan kok, Mbak." Ranice terkikik menanggapi perkataan Freya.
"Ya, begitulah." Freya terkekeh geli.
Mereka terus berkeliling dan Freya memulai sesi tanya jawab dengan Ranice yang sama sekali tidak punya bayangan apa pun tentang rumah yang akan ditinggalinya.
"Oke, Rae, jadi nanti berapa orang yang akan tinggal di rumah ini?"
"Rencanya kami hanya akan tinggal berdua, Mbak."
"Tanpa ART atau ada ART?" tanya Freya memastikan.
"Sementara sih tanpa ART, Mbak." Mereka memang rencananya tidak ingin memakai ART, demi menghindari para ART akan mencium hal mencurigakan dari keseharian Ranice dan Leander. Lagipula mereka akan jarang berada di rumah. Untuk urusan kebersihan, mereka bisa memakai jasa cleaning service panggilan.
"Hmm. Rumah sebesar ini tanpa ART ...," gumam Freya sambil berpikir. "Berarti kita harus pikirkan agar perawatan rumah ini tidak terlalu merepotkan buat kamu."
Ranice mengangguk setuju saja.
"Oh ya, kamar mana yang akan dijadikan kamar utama?" tanya Freya kembali saat mereka tengah melangkah di tangga menuju lantai atas.
"Aku belum tahu, Mbak." Ranice menggeleng serba salah.
Ranice mulai menangkap raut bingung di wajah Freya. "Hmm. Kalau gitu coba kita lihat-lihat dulu ya. Nanti kita pilih yang view-nya paling bagus aja. Gimana menurut kamu?"
"Boleh, Mbak."
"Nah, aku rasa kamar ini paling cocok untuk dijadikan kamar tidur utama," Freya berseru ketika menemukan kamar yang dirasanya paling tepat setelah melihat empat tidur yang ada di lantai atas. "Sekarang tinggal kita tentukan gayanya. Kalian suka gaya yang seperti apa? Kalau kesukaan kalian sama, akan lebih mudah. Tapi kalau berbeda pun, tinggal kita mix aja."
"Mungkin dibuat maskulin aja deh, Mbak. Karena saya juga nggak tahu Axel sukanya yang seperti apa." Ranice menggigit ujung bibirnya tanpa sadar. Mati kutu dengan pertanyaan sederhana yang dilontarkan oleh Freya. Ranice bisa melihat wajah Freya yang semakin kebingungan. Ranice menangkap sedikit rasa curiga dalam diri sang desainer.
Wajar sebenarnya jika Freya bingung menghadapi sikap Ranice. Sementara para kliennya biasa sangat antusias menceritakan keinginannya tentang rumah impian mereka, apalagi kalau kliennya adalah calon pengantin seperti Ranice ini. Sementara Ranice?
"Memang kamu suka gaya maskulin? Kalian 'kan akan menempati kamar ini bersama, dan desain kamar itu 'kan tidak bisa diganti sebulan sekali, Rae. Nanti kalau kamu nggak betah gimana?" Freya mencoba memperingatkan Ranice.
"Mbak, sebenernya kami nggak akan tidur di kamar yang sama. Aku akan menempati kamar yang berbeda dengan Axel." Ranice terpaksa mengakui kebenarannya.
Freya semakin merasakan kejanggalan di sini. Sepertinya ada yang tidak beres dengan kedua calon pengantin ini. Tapi untunglah Freya bukan orang yang usil, yang ingin mencari tahu tentang segala sesuatu. Dia bungkam saja mendengar penuturan Ranice.
Tapi tanpa sadar tercetus juga pernyataan keheranan dari Freya. "Kalian ini seperti dua orang asing yang terpaksa harus menikah ...."
"Karena memang seperti itu kenyataannya, Mbak," ujar Ranice lirih. Dia tengah mempertimbangkan apakah bijak mengatakan yang sebenarnya pada wanita yang baru dikenalnya ini?
"..." Freya memandangnya tidak mengerti.
"Mbak mau dengerin cerita aku?"
"..." Freya mengangguk perlahan.
"Aku bisa percaya sama, Mbak?" Ranice memandang dengan tatapan memohon.
"Rae, kalau memang ada hal yang mengganggu pikiran kamu, dan kamu merasa butuh teman untuk cerita. Kamu boleh cerita sama aku. Tapi kalau kamu takut aku akan terlepas bicara sama orang lain, jangan cerita, Rae. Daripada jadi beban baru buat kamu." Ucapan Freya menenangkan perasaannya dan membuat dirinya yakin untuk bercerita pada wanita itu.
Setelah itu Ranice menceritakan semuanya pada Freya. Baru kali ini Ranice bercerita pada seseorang tentang semua yang memberatkannya. Tidak ada yang tahu beban apa yang ditanggungnya selama ini. Bahkan Juro sahabatnya tidak tahu apa yang Ranice rasakan sesungguhnya. Ranice menutupi semuanya dari orang terdekatnya, karena dia tidak ingin membebani mereka. Tapi kali ini Ranice bisa bercerita dengan bebas, tanpa takut lawan bicaranya akan terbeban karena masalahnya.
"Rae, aku nggak tahu harus bilang apa. Masalah kamu memang cukup rumit." Terjawab sudah kejanggalan yang mengganjal dalam hati Freya tentang sikap Ranice. "Aku cuma bisa bilang sama kamu, mungkin saat ini rasanya terlalu berat buat dijalani. Tapi ada saatnya kamu akan mengerti, kenapa kamu harus melewati semua jalan yang menyakitkan ini. Akan datang saatnya kamu bisa tersenyum saat badai hidup kamu sudah reda."
"Mbak Freya, terima kasih. Maaf jadi bercerita panjang lebar masalah aku, padahal ini bukan bagian dari kerjaan, Mbak." Ranice tersenyum kikuk.
"Pekerjaan aku itu memang mengharuskan aku untuk mengenal klienku dengan baik, agar aku bisa menyelami klienku, Rae. Sekarang sedikit banyak aku udah punya gambaran tentang kalian berdua. Jadi kamu tenang aja, rumah ini akan aku sulap supaya nyaman untuk kalian berdua."
"Aku percayain sama, Mbak aja deh. Aku beneran blank, Mbak." Ranice menggeleng pasrah.
***
--- to be continue ---