Chasing Memory 3a

1141 Kata
“Dia tidak datang hari ini?” tanya Aaron setelah mengamati sekeliling area privat di Riverside Point dan tidak juga menemukan teman senasibnya. Sesama pria kesepian yang mencoba mencari cara meredakan rasa sepi di tengah keramaian kelab malam. “Eldo maksudmu?” Javier balas bertanya. “Hmm.” “Sepertinya dia akan jarang datang lagi ke sini.” “Kenapa?" Seketika Aaron merasa tertarik. "Apa dia sudah memutuskan untuk menemuinya? Apa dia akan membawanya pulang?” Javier tersenyum samar melihat antusiasme dalam pertanyaan Aaron. “Sepertinya begitu.” Dalam hati, Javier pun merasakan semangat yang sama. Setidaknya dengan kehadiran kembali wanita itu, ada sedikit harapan untuk mencerahkan kesuraman hidup mereka selama tiga tahun terakhir.  “Baguslah …," gumam Aaron lega. "Setidaknya ada di antara kita yang akhirnya bisa bahagia.” “Semoga benar.” Javier mengangguk setuju. “Kau sendiri, kapan kau akan mengakhiri penderitaanmu?” Aaron meringis mendengar topik yang kembali Javier angkat. "Seharusnya pertanyaan itu kau yang menjawabnya lebih dulu." "Aku?" Javier menunjuk dirinya bingung. "Ya, kau! Kapan kau akan mengakhiri malam-malam panjang yang sepi ini?" "Kurasa tidak lama lagi," balas Javier penuh harap. "Baguslah." Aaron bereaksi sama seperti ketika mendengar tentang Eldo. Bukan kelegaan yang munafik, tapi tulus dari dalam hati.  "Jadi, kembali padamu. Kapan?" desak Javier.  Aaron menggeleng pasrah. “Nanti. Saat aku akhirnya bisa bertemu dia lagi.” "Apa tidak bisa kau akhiri saja sesegera mungkin?" tanya Javier sedih. Aaron tertawa sumbang menanggapi permintaan Javier. "Kau sudah muak melihatku seperti ini, huh?"  "Bukan begitu, Aaron." Javier mengerang kesal. "Aku hanya tidak tega melihatmu terus seperti ini. Jika ada hal yang bisa kubantu untukmu, pasti sudah kulakukan." Aaron mengedipkan sebelah matanya, lalu mengangkat gelas tinggi-tinggi mengajak Javier bersulang. "Tenanglah, Jav. Aku baik-baik saja." Javier mengikuti ajakan Aaron dan turut meneguk cairan alkohol dari gelasnya. "Kau tidak baik-baik saja, Aaron. Akuilah itu." Aaron tersenyum pahit. "Selama aku masih bisa mengingat dia, aku akan baik-baik saja." Perhatian Javier teralih ketika menerima pesan dari nomor yang berada dalam daftar pentingnya. Ia membaca sebaris pesan singkat itu, lalu raut wajahnya yang biasa tenang seketika berubah tegang. Aaron langsung menangkap perubahan sikap Javier. "Ada apa?" "Aaron, aku minta maaf." Javier berdiri tergesa. "Aku harus segera pergi, ada sesuatu yang mendesak." "Ada masalah?" tanya Aaron waspada. Meski ia sudah mulai membiasakan diri dengan situasi damai selama tiga tahun terakhir, namun masa lalu yang penuh kekerasan selalu membuat Aaron terlatih untuk siaga. "Sedikit," sahut Javier singkat. "Ada apa, Jav?" desak Aaron khawatir. "Tenanglah." Javier berusaha terlihat tenang namun sebenarnya sia-sia. "Bukan sesuatu yang berbahaya." "Biar kuantar," tawar Aaron. Ia khawatir membiarkan Javier mengemudi saat pria yang biasa tenang itu berubah panik. Javier menggeleng tidak setuju. "Kau baru saja datang." "Untuk apa aku sendirian di sini, Jav?" balas Aaron berkeras. Javier berpikir beberapa saat sebelum akhirnya mengangguk setuju. "Kalau begitu, ayo!" Sepanjang perjalanan, Aaron tidak banyak bertanya. Jika memang perlu, Javier pasti sudah bercerita. Jika tidak, artinya pria itu bisa mengatasi sendiri masalahnya, dan Aaron tidak akan usil untuk mencari tahu. Setelah menurunkan Javier di tempat yang pria itu minta, Aaron berkendara tanpa arah di tengah malam yang sepi. Ia hanya terus berputar-putar di jalanan Verz, sampai akhirnya Aaron menghentikan mobil di sisi taman kota. Tanpa sadar, sebuah senyum tipis langsung membayang di wajahnya. Rasa-rasanya, setiap sudut kota ini mampu membangkitkan kenangannya akan Zea Muller. Tidak ada satu hari pun yang Aaron lewati tanpa memikirkan Zea. Seakan ia kehilangan kemampuan untuk bernapas jika tidak mengingat gadis itu. Hingga baik di dalam kamarnya yang sepi, atau di tengah keramaian sekalipun, Aaron seolah hidup dalam dunianya sendiri. Pandangan Aaron terkunci pada sebuah bangku kayu yang berada tepat di tengah taman, dan tanpa dapat dicegah, memori itu kembali muncul ke permukaan.  >>> Zea tengah bersiaga dengan kamera di tangan, siap membidik sepasang anak kecil berpenampilan menggemaskan yang sedang berlarian di taman kota. Hanya tinggal menunggu momen yang tepat dan Zea akan mengabadikan gambar mereka. Tepat ketika momen itu sudah berada dalam frame kamera Zea, tiba-tiba semuanya berubah gelap. Zea mengangkat kepala dan mendesis kesal ketika melihat sosok pengganggu yang mengacaukan pekerjaannya. “Gosh! Kau lagi!" Pria itu mengangkat sebelah alisnya dan tersenyum dengan gaya menyebalkan. “Terkejut?” Zea mendelik kesal melihat pria bertato ular yang sedang menangkupkan telapak tangan ke kamera miliknya. Sosok yang sama dengan  pria yang kemarin berulah di apartemennya karena masalah foto beberapa waktu lalu. Masih terekam jelas dalam kepala Zea hal gila yang pria itu lakukan kemarin.  Zea menepis tangan pria itu dan menjauhkan kameranya dari jangkauan sang pria bertato. “Siapa yang tidak terkejut kalau tiba-tiba ada orang mencurigakan yang berdiri menghadang di depannya seperti ini?” Pria itu menyunggingkan senyum penuh cibiran. “Kukira penguntit selalu waspada dan tidak akan mudah terkejut.” “Aku bukan penguntit!” bantah Zea kesal. “Bagiku kau penguntit,” balasnya santai. Zea menggeram, berkacak pinggang, kemudian mengembuskan napas kencang. “Sebenarnya kau mau apa lagi? Aku sangat yakin kalau kau sengaja ingin menggangguku.” “Memang,” balas pria itu santai. “Jadi apa yang kau mau?” “Meminta bayaranku," sahutnya enteng. “Jangan gila!” hardik Zea. Dia mulai lelah menghadapi kegilaan pria bertato ular ini. Sikapnya menakutkan, kata-katanya menyebalkan, dan keinginannya tidak masuk akal.  “Sepertinya sekarang kau lebih berani. Mungkin karena sekarang sedang banyak orang." Pria itu mengamati sekeliling mereka, menatap orang-orang yang tengah bersantai menikmati sore di akhir pekan bersama kerabat dekat. Perlahan pria itu tersenyum geli lalu menyentuh dagu Zea dengan telunjuknya. "Aku ingin tahu jika kita kembali berdua saja di tempat sepi, apa kau akan tetap seberani ini?” Spontan Zea langsung memundurkan kepalanya lalu mendelik tajam. “Bisa berhenti menggangguku?” tanyanya ketus. “Lunasi dulu hutangmu,” sahut pria itu. Zea mendelik gusar “Hutang apa?!” “Kau mengambil gambar seseorang tanpa izin, lalu memakainya demi kepentinganmu sendiri, lalu mendapat penghasilan dari sana. Apakah itu adil bagi orang yang gambarnya kau ambil jika ia tidak mendapat kompensasi apa-apa?” Zea kehilangan kata-kata menghadapi tuntutan pria itu. Pria itu menjentikkan jari di depan wajah Zea. “Itu sama saja kau mengambil keuntungan dari orang lain, Nona Penguntit!”  “Selama ini, hanya kau yang beranggapan seperti itu. Orang lain tidak pernah,” bantah Zea. Pria itu mendengus kasar. “Karena mereka bodoh, sementara aku cerdas.” “Jadi apa maumu?” tantang Zea. “Kau punya dua pilihan. Hapus fotoku dari blogmu, atau tetap biarkan di sana tapi kau harus memberikan bayaran padaku.” Lagi-lagi bayaran! Zea menggeram kesal dalam hati. “Berapa besar yang kau minta?” Pria itu menggoyangkan jari telunjuknya di depan hidung Zea sambil tertawa mengejek. “Kau salah bertanya. Seharusnya kau tanya, pembayaran seperti apa yang aku inginkan.” “Katakan!”  “Jika kau tidak mau menghapus fotoku, maka mulai sekarang kau hanya boleh mengunggah gambarku dan membuat ulasan tentangku.” Zea mendelik terkejut. “Kau gila!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN