Chasing Memory 3b

1125 Kata
“Aku serius, Zea Muller.” “Apa yang harus kulakukan dengan profilmu setiap minggu?” “Banyak yang bisa kau ulas dariku,” balas pria itu tidak peduli. “Contohnya?”  “Sosokku. Pekerjaanku. Karya-karyaku,” sahutnya penuh percaya diri, seolah dirinya adalah sosok yang sangat menarik. “Orang-orang akan muak jika setiap minggu selalu melihat wajahmu!” Rasanya Zea sudah habis akal meladeni perdebatan sinting dengan pria ini. Namun tiba-tiba sebuah ide melintas dalam kepalanya. “Tapi bukankah kau bilang tidak suka dengan publisitas?” Pria itu mengangkat bahunya lalu mencebik. “Kurasa aku mulai menikmatinya.” Perlahan senyum kemenangan tersungging di bibir Zea. “Kalau begitu kau tidak mengalami kerugian apa-apa. Jadi aku tidak perlu membayar ganti rugi.” Pria itu mengangkat sebelah alisnya kemudian tergelak kencang  “Kau pandai bicara juga. Tapi aku tetap meminta bayaran.” “Sesukamu saja!” Zea mendengus sebal. “Aku akan terus mengganggumu," ancam pria itu dengan wajah penuh senyum licik. “Terserah kau saja!” Zea mengentakkan kaki keras-keras, berbalik badan lalu menyambar cepat barang-barangnya di kursi taman, kemudian berlalu meninggalkan pria gila yang menyebalkan itu. Namun sayang, tidak semudah itu Zea melepaskan diri dari gangguan sang pria bertato ular. Pria itu ternyata malah sengaja membuntuti Zea dengan terang-terangan. “Berhenti mengikutiku!” desis Zea kesal ke arah pria yang berjarak sekitar tiga langkah di belakangnya. Kepalanya terasa mulai mendidih sekarang akibat kelakuan pria itu. Pria itu cepat-cepat menyusul Zea, memutar badan hingga berdiri di depan gadis itu, kemudian berjalan mundur. Jika orang yang tidak tahu apa-apa, pasti mengira mereka adalah pasangan romantis yang tengah dimabuk cinta. Sang pria terlihat begitu tidak ingin melepaskan pandang dari sang wanita, hingga rela berjalan mundur mengiringi sang wanita, agar mereka dapat terus bertatapan.  “Kau terganggu?” goda pria itu. "Berhenti berjalan seperti itu!" seru Zea antara ngeri, terkejut, dan malu. Pria itu memiringkan kepalanya kemudian tersenyum jail. "Kau takut aku celaka?" "Aku tidak peduli kalau kau celaka, tapi aku malu karena orang-orang mengamati kita," sahut Zea ketus. "Jadi kau mau aku berjalan di sebelah mana? Depan? Belakang? Atau di sampingmu?" Zea hanya memberikan tatapan sinis sebagai jawaban. Malas sekali menanggapi kegilaan pria ini. "Rasanya berjalan berdampingan paling baik," putus pria itu. Lalu tiba-tiba ia sudah berada di sebelah Zea dan mengambil tangan gadis itu tanpa izin. "Kalau berdampingan begini, kita bisa saling berpegangan tangan." "Lepas!" seru Zea marah sambil mengibaskan tangannya. "Dasar gila!" "Kau ini pemarah juga rupanya," goda pria itu terus. Kemarahan Zea sama sekali tidak membuatnya takut, malah terlihat lucu. "Bagaimana aku tidak marah kalau ada penguntit gila yang terus menggangguku?" sembur Zea pedas. Alih-alih tersinggung dengan jawaban pedas Zea, pria itu malah tertawa senang. “Baru tahu rasanya dikuntit itu tidak enak, Nona Penguntit!” “Berapa kali harus kubilang, aku bukan penguntit!” jerit Zea putus asa. “Tapi itu yang kau lakukan padaku,” balas pria itu.  “Aku tidak menguntitmu!” teriak Zea lagi. “Aku menganggapnya begitu!” Pria itu mengedik santai lalu menambahkan, "dan jangan teriak-teriak begitu jika tidak ingin semakin jadi pusat perhatian, Nona Penguntit." "Apa kau tidak punya pekerjaan selain mengganggu orang?" sindir Zea pedas.  Pria itu hanya terkekeh lalu membalikkan pertanyaan Zea. "Apa kau tidak punya pekerjaan selain menjadi penguntit?" Zea mengepalkan tangannya kuat-kuat sambil berdoa dalam hati agar tangannya tidak sampai melayang menampar mulut lancang pria itu. Setelahnya ia menjawab dingin, "ini memang pekerjaanku. Sudah kukatakan aku seorang fashion blogger." "Aku tahu," sahut pria itu cepat. "Zea Muller, 22 tahun. Lulusan Fashion Design dari Fashion Institute of Technology yang lebih memilih mengomentari gaya berbusana orang lain ketimbang menciptakan rancangannya sendiri. Ayahmu adalah Garrick Muller, seorang ilmuwan yang menghabiskan hampir seluruh hidupnya di Helmholtz-zentrum Dresden-Rossendorf, dan ibumu adalah Carrie Young, supermodel kelas dunia yang membukakan jalan bagimu ke dunia fashion. Saat ini kau tinggal-" "Stop!" seru Zea dengan mata membelalak. Sekujur tubuhnya merinding mendengar penjabaran pria ini. Berkenalan saja tidak pernah, tapi pria itu bisa tahu banyak tentang dirinya. Gila! "Dari mana kau tahu semua itu?" "Pertanyaan bodoh!" sahut pria itu dengan nada meremehkan. "Apa sulitnya mencari tahu tentang dirimu?" "Kalau begitu katakan namamu!" ujar Zea tiba-tiba. "Untuk apa?" Kali ini giliran pria itu yang sedikit terkejut. "Agar aku bisa melakukan hal yang sama," balas Zea datar. Pria itu memicingkan mata dan menatap curiga pada Zea. "Pertegas maksudmu, Nona!" "Aku akan mencari tahu tentangmu, sama seperti yang kau lakukan padaku." "Tidak perlu repot-repot mencari tahu tentangku." Pria itu menggeleng cepat. "Aku akan menjawab semua yang ingin kau tahu. Kau lupa kalau kau memang harus memasukan ulasan tentangku di blogmu?" Zea mendengus sebal. "Sejak kapan aku menyetujui hal itu?" Pria itu tidak peduli dengan keengganan Zea. "Jadi dari mana kita harus mulai?" "Katakan namamu!" perintah Zea. "Aaron." "Nama keluarga?" lanjut Zea. "Untuk apa?"  "Untuk mempermudah penyelidikanku." "Tidak ada nama keluarga," sahut Aaron datar. "Dan sudah kukatakan, aku akan menjawab semua yang ingin kau tahu. Tidak perlu repot-repot melakukan penyelidikan." "Jadi namamu hanya Aaron?" tanya Zea masih belum percaya.  "Aaron Cruise," tambah Aaron. "Tapi itu bukan nama keluarga, hanya nama pemberian seseorang." "Pekerjaanmu?"  Aaron menunjuk lengan kanannya yang bergambar ular. "Hah?" Zea melongo tidak paham. Aaron tersenyum geli. "Kau bertanya pekerjaanku, bukan?" "Hmm." Zea mengangguk kecil. Aaron kembali menunjuk lengannya. "Peternak ular?" terka Zea bingung. Seketika Aaron tergelak mendengar jawaban Zea. "Pemburu ular?" coba Zea lagi meski sebenarnya ia merasa tidak yakin dengan jawaban itu.  "Kau ini bodoh juga," ejek Aaron. Ia tidak bisa menghentikan tawanya melihat ekspresi wajah Zea yang kesal namun bingung itu. "Makanya bicara yang jelas!" gerutu Zea sebal. "Kalau kau hanya menunjuk-nunjuk tatomu begitu, siapa yang akan mengerti?" "Tattoo artist," ujar Aaron. "Maksudmu kau seorang tattoo artist?" "Hm." Mendengar tentang pekerjaan Aaron, harus diakui Zea merasa tertarik. Pekerjaan pria ini bukanlah jenis yang umum dilakukan banyak orang. "Jadi kau menggambar itu sendiri?" "Hm." Ini bukan kali pertama Zea melihat tato di tubuh seseorang, namun ada yang berbeda dengan tato karya Aaron. Gambarnya terlihat sangat hidup dan indah.  "Jadi kau ini kidal?" tanya Zea iseng. Bukan pertanyaan penting sebenarnya, hanya sebentuk rasa penasaran saja. Bagaimana caranya Aaron menggambar tato di sepanjang lengan kanannya itu? "Tidak juga. Aku bisa menggambar menggunakan kedua tanganku dengan sama baiknya.” Aaron melirik sekilas jam di tangannya dan menyadari sudah waktunya ia kembali menjalankan tugas. “Lain waktu akan kutunjukkan padamu.” “Aku tidak bilang ingin bertemu denganmu lagi,” balas Zea heran. “Tapi aku tahu kita akan bertemu lagi. Bahkan sering.” Aaron mengedip jail kemudian berbalik lalu berjalan menjauh. *** --- to be continue --- --- --- --- Selama bulan Desember ini, aku usahakan untuk update setiap 2 hari sekali ya. Semoga bulan Januari nanti udah bisa update setiap hari. Ditunggu komen-komen kalian ya untuk jadi penyemangat aku menggarap cerita ini. --- --- ---
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN