Zea mengangkat wajahnya menatap Linz, kemudian tersenyum samar. “Ayahku membuang semua foto ibuku. Katanya ia tidak sanggup menahan kesedihan setiap kali teringat ibuku.” Linz tiba-tiba teringat sesuatu kemudian melirik ponselnya. “Ann …, aku harus pergi.” “Secepat ini?” tanya Zea heran. “Hm. Aku terlanjur membuat janji lain,” jawab Linz dengan nada menyesal. “Lain kali aku akan mengunjungimu lagi.” “Hm. Terima kasih sudah mengunjungiku.” Dalam hatinya Zea menyimpan sedikit kecurigaan atas sikap Linz. Ada yang aneh, rasanya janggal. Jauh setelah Linz meninggalkan kediaman Aaron, Zea masih terus memikirkan percakapannya dengan sang sahabat. Kejanggalan yang tadinya ia rasakan, bukannya menemukan pencerahan setelah berbincang dengan Linz, nyatanya malah semakin menambah kepusingan Zea.