Chasing Memory 9a

1139 Kata
“Good morning, Annette! My Darling, My Sweetheart!”  Sapaan ceria Linz di pagi hari bukan membuat Annette bersemangat, melainkan membuatnya mendapatkan firasat buruk. Keceriaan Linz selalu berbanding lurus dengan keusilannya. Dan pagi ini, melihat betapa cerahnya wajah Linz, Annette sudah harus bersiap menghadapi keusilan gadis itu. “Pagi,” balas Annette tenang. “Kau mau sarapan?” Linz berjalan ceria menghampiri Annette yang tengah menikmati sepotong wafel hangat bersalut madu, ditemani secangkir teh beraroma mint. Linz langsung mencomot sepotong wafel dari atas piring dan menerima pelototan galak dari Annette. “Jorok,” omel Annette. “Apanya yang jorok?” balas Linz tidak peduli. “Kau saja yang menganut kebersihan tingkat tinggi!” Annette memutar bola matanya, malas mendengar pembelaan diri Linz. Linz menikmati potongan wafel di tangannya sambil berjalan ke jendela. Ia tersenyum penuh arti ketika melihat ke seberang jalan. "Penguntitmu sudah lenyap." "Aaron maksudmu?" Bodohnya Annette, meski ia tahu Linz pasti bermaksud jail, tetap saja ia menanggapi gadis itu. "Ah! Aku lupa penguntit tampan itu memiliki nama," ujar Linz dengan seringai jail. Linz kembali mendekat dan duduk di sebelah Annette. "Sudah berapa hari dia tidak datang? Tiga hari? Lima hari? Satu minggu?" Annette melirik malas dan memilih bungkam saja. Linz menopangkan dagu kemudian menatap Annette penuh rasa ingin tahu. "Pasti rasanya sudah sangat lama, hm?" "Masih pagi, Linz," decak Annette mulai kesal. "Memangnya kenapa kalau masih pagi?" balas Linz berlagak polos. "Bisa tidak jangan merusak suasana hatiku sepagi ini?" tanya Annette lelah. "Oke, maaf." Linz memasang wajah penuh penyesalan kemudian mengajak berdamai. "Apa kita bahas yang lain saja?" Annette mengangguk setuju. "Itu lebih baik." "Sepertinya kau merasa kehilangan …," ujar Linz dengan ekspresi yang terlihat benar-benar sedih. Gadis ini benar-benar hebat memancing kekesalan orang lain. "Linz!" seru Annette kesal.  Linz menutup mulutnya cepat-cepat kemudian bertanya dengan nada penuh rasa bersalah. "Apa aku salah bicara?" Annette mengembuskan napas keras-keras lalu menatap tajam pada Linz. "Untuk apa aku merasa kehilangan dia?” “Karena kau merasakan sesuatu yang berbeda dengan dia,” jawab Linz serius. Untuk kali ini, Linz tidak main-main. Ia bisa melihat jika Annette merasakan sesuatu yang khusus saat bersama Aaron. “Jangan asal bicara, Linz!" bantah Annette. "Aku tidak asal bicara,” balas Linz santai. Setelah keseriusan yang hanya bertahan beberapa detik itu, keisengannya kembali muncul. “Aku yakin kau merasa kesepian karena dia tidak datang lagi. Akui saja itu!" Annette berdiri cepat sebelum ia kehilangan kesabarannya. "Linz, aku mau berjalan-jalan sebentar. Aku perlu udara segar. Berada satu ruangan denganmu terkadang terlalu sesak." "Perlu kutemani?" tanya Linz disertai senyum bak malaikat. Annette mendelik tidak percaya mendengar tawaran Linz. "Apa gunanya aku pergi tapi kau juga ikut bersamaku?" Linz berpura-pura kesakitan dan memegangi dadanya. "Kau ini jujur sekali." "Kau duluan yang mulai!" balas Annette kesal. "Ya, ya! Pergi saja sana!" usir Linz akhirnya. "Kau ingin kubawakan sesuatu?" Sekesal-kesalnya Annette pada Linz, ia masih saja ingat untuk menanyakan kepentingan gadis itu. "Tidak perlu." "Baiklah, aku pergi.” Annette berjalan ke kamarnya untuk mengambil jaket dan dompet. Sebelum menuruni tangga setelah mengambil barang yang dibutuhkan, Annette kembali bicara pada Linz. “Oh, ya! Kalau Nona Ersha datang, katakan padanya-" Linz langsung mengangkat tangan dan memotong perkataan Annette. "Aku tahu apa yang harus dilakukan. Sudah pergi saja sana!" "Galak sekali," cibir Annette. Dalam hati ia heran, bukankah seharusnya ia yang marah dan bersikap galak? Kenapa malah Linz yang bersikap begitu padanya? "Hati-hati!" seru Linz ketika Annette mulai melangkah menuruni tangga. "Ya," jawab Annette. "Jangan terlalu lama!" seru Linz lagi. "Iya!" Annette balas berteriak. "Hubungi aku jika terjadi sesuatu!" seru Linz semakin kencang. "IYA!" balas Annette sebal. Terkadang Annette lelah dengan orang-orang yang memperlakukannya bak anak kecil. Tidak ayahnya, tidak para pengawalnya, tidak sahabatnya. Meski Linz kerap bertingkah iseng dan bicara sembarangan, tapi kalau sudah berurusan dengan keselamatan Annette, gadis itu bisa berubah jadi sangat protektif. "Nona akan pergi?" sambut Peter, pengawal pribadi Annette yang selalu setia berjaga di sekitar gadis itu. Selama Annette tidak menginjak bagian luar gedung butiknya, maka Peter tidak akan menampakkan diri. Namun selangkah saja Annette menginjak bagian luar gedung, seketika Peter akan muncul. Seperti saat ini. "Ya." "Tidak naik mobil?" tanya Peter kaku. "Aku hanya ingin berjalan kaki sebentar." "Perlu saya temani?" Setengah mati Annette menahan kekesalan dalam hatinya. Hanya sekadar ingin berjalan santai saja Annette sulit mendapatkannya dengan bebas. Selalu saja akan ada yang mengawasi.  "Tidak perlu. Aku hanya akan berjalan di sekitar sini dan tidak akan lama," balasnya ketus. "Baiklah, Nona. Hati-hati di jalan," ujar Peter mengalah. Namun Annette yakin, Peter tidak akan sungguh-sungguh melepaskan pengawasannya semudah itu. Tapi biarlah, Annette sedang tidak ingin memusingkan hal itu. Untuk saat ini, ia hanya ingin menikmati indahnya pemandangan di awal musim semi, dan suhu yang mulai bersahabat. Annette memutuskan berjalan kaki tanpa arah, hanya terus melangkah menyusuri jalan-jalan di sepanjang kawasan Black Hill, menikmati suasana kota yang ramai dan begitu hidup. Sejak kecil, jarang sekali Annette bisa menikmati saat-saat seperti ini. Hidupnya selalu terkurung dalam istana megah yang dibangun ayahnya, dikelilingi oleh para pengawal dan pelayan, sepi dan dingin tanpa ada kehangatan keluarga. Barulah sejak pindah ke Qruinz, Annette bisa hidup di luar ‘istana’. Hidup sebagai orang biasa meski tetap terawasi selama 24 jam penuh. Annette terus melangkah hingga tidak sadar sudah sejauh apa ia meninggalkan tempatnya. Kakinya berhenti melangkah ketika mencapai taman kota. Keindahan bunga ceri yang sedang bermekaran memukau Annette. Ia tergoda untuk duduk di salah satu kursi taman, menikmati pemandangan yang tersaji, dan melupakan janjinya untuk pergi hanya sebentar. "Annette …." Annette yang langsung duduk di kursi taman tanpa melihat hal lain, begitu terkejut ketika mendengar sapaan bernada bingung. Ia menoleh ke samping dan menemukan Aaron sedang duduk di sebelahnya. Annette benar-benar tidak sadar jika Aaronlah pria yang sejak tadi sudah lebih dulu duduk di sana. "Hai!" sapa Annette kikuk. "Sedang apa kau di sini?" tanya Aaron bingung. "Hanya mencari udara segar." "Kau tidak berpikir aku mengikutimu, bukan?" tanya Aaron waswas. "Ini benar-benar ketidaksengajaan. Aku tidak tahu kau akan ke sini juga." Annette tersenyum geli. "Tenang saja, aku sama sekali tidak memiliki pikiran buruk tentangmu." "Syukurlah," gumam Aaron lega. Ia tidak ingin dicap sebagai penguntit, karena kali ini Aaron benar-benar tidak melakukannya.  Bertemu dengan Annette di tempat dan waktu yang tidak terduga, sejujurnya memberikan dua perasaan yang saling bertentangan dalam diri Aaron. Di satu sisi ia senang akhirnya bisa melihat wajah gadis itu lagi. Di sisi lain, ada perasaan bersalah yang terus menghantui setiap kali menghabiskan waktu bersama Annette.  Terakhir kali ia menemui Annette adalah satu minggu yang lalu, tepatnya malam ketika gadis itu mengajaknya masuk ke tempatnya. Malam itu juga, sesudah Aaron meninggalkan tempat Annette, perasaan bersalah langsung menyerangnya. Ia seperti mengkhianati Zea karena bisa-bisanya merasakan kebahagiaan lagi sejak kepergian gadis itu. Seharusnya, selama Zea tidak ada, Aaron tidak boleh merasakan bahagia. Sejak itu ia bertekad untuk menghindari Annette. "Kau sendiri, sedang apa di sini?" tanya Annette.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN