Chasing Memory 8a

1051 Kata
"Sana keluar! Temui pria itu!" usir Linz galak ketika Annette terlihat diam saja memandangi sosok Aaron yang semakin mendekat ke butiknya. Annette balas melirik tajam pada Linz lalu menolak tegas. "Aku tidak mau!" "Ann …?" Linz mengernyit bingung mendengar penolakan Annette. Mengapa juga Annette tidak bersedia menemui Aaron sementara pikiran gadis itu terus tertuju padanya.  "Kau saja yang temui dia," pinta Annette memelas. Ia berencana terus bersembunyi saja di dalam ruang kerjanya ini, dan membiarkan Linz yang menemui Aaron di ruang depan. Linz membelalakkan matanya. "Lalu apa yang harus kukatakan?!" Annette mengangkat bahu, sama bingungnya seperti Linz. “Ann …,” desis Linz kesal. Ia paling tidak suka jika harus terjebak dalam situasi menyebalkan seperti ini. "Bilang saja aku tidak ada," ujar Annette akhirnya. "Aku tidak mau berbohong," tolak Linz tegas. Bukan ia makhluk suci yang tidak pernah berbohong. Tapi untuk masalah ini, ia tahu dengan pasti jika jauh di dalam hatinya Annette memang ingin menemui pria itu. Hanya saja, gadis itu mungkin malu. "Linz …," ujar Annette memelas. Linz menggeleng tegas. "Temui dia, Ann." "Tapi untuk apa? Apa maunya menemuiku?" Sebenarnya kebingungan Annette bersifat dua arah. Bingung untuk apa dia menemui Aaron, dan bingung untuk alasan apa Aaron menemui dia? "Mana kutahu. Cari tahu sendiri sana!" seru Linz gemas. Tidak sabar lagi melihat Annette yang masih ragu-ragu, Linz segera melompat turun dari atas meja, lalu menyeret sahabatnya berdiri. "Yang pasti untukmu, sana benahi pikiranmu! Kau itu kacau sekali pagi ini karena isi kepalamu hanya pria itu." "Dia membunyikan bel, Linz!" seru Annette panik ketika mendengar bel di meja resepsionis dibunyikan. Ia harus mengingatkan dirinya agar segera mempekerjakan seorang resepsionis untuk mengatasi situasi semacam ini, karena mengandalkan Linz sama saja percuma. "Cepat keluar!" Linz berpindah ke belakang Annette lalu mendorong punggung gadis itu cepat-cepat. “Linz!” protes Annette. Ia berusaha mempertahankan posisinya berdiri sekuat mungkin agar tidak sampai terdorong terus oleh Linz. "Perlu kupakai cara kasar?” ancam Linz kejam. Mendengar ancaman Linz, Annette sontak menoleh ke belakang lalu mendelik kesal, setelah itu ia mengentakkan kaki lalu menuju ruang depan. Begitu membuka pintu ruang kerja, Annette langsung bertatapan dengan mata Aaron yang tengah berdiri canggung di dekat meja resepsionis. Pria itu tersenyum kikuk kemudian menunduk sopan. "Ada yang bisa kubantu?" ujar Annette berusaha terdengar tenang. Berharap dalam hati agar Aaron tidak menyadari jika ia sudah mengetahui keberadaan pria itu sejak tadi. "Aku ingin menemuimu," jawab Aaron pelan, lalu menatap ragu pada Annette. "Apa kau punya waktu?" Untuk menjawab pertanyaan sesederhana ini saja Annette kebingungan. Dia terdiam dan hanya meremas tangannya gelisah. "Sebentar saja," ujar Aaron lagi. Annette akhirnya mengangguk setuju lalu menunjuk sofa untuk mempersilakan Aaron duduk. "Apa ada yang ingin kau tanyakan lagi?" tanya Annette hati-hati. Aaron meringis mendengar pertanyaan Annette. "Sebenarnya tidak ada."  Sejujurnya Aaron sendiri tidak yakin dengan alasannya ingin menemui gadis itu. Untuk bertanyakah? Tapi tentang apa? Untuk mencari kebenarankah? Tapi kebenaran yang mana? Atau hanya untuk sekadar melihat matanya saja? "Lalu?" ujar Annette bingung. "Aku hanya ingin melihatmu …," aku Aaron akhirnya. "Untuk memastikan sesuatu." Annette terdiam, menunggu Aaron melanjutkan kata-katanya, namun ternyata pria itu hanya duduk memandanginya tanpa berbicara lagi.  Aaron menghabiskan waktu cukup lama hanya untuk menatap mata Annette. Mencoba meyakinkan dirinya bahwa gadis ini bukan Zea, namun sudut hatinya seolah terus memberontak. Setelah menit-menit berlalu dan ia tidak kunjung menemukan jawaban yang dicarinya, Aaron menyerah. Ia tersenyum sopan, kemudian bangkit berdiri. "Terima kasih untuk waktumu. Aku pergi." Annette memandangi punggung Aaron yang berbalik dan menjauh dengan perasaan janggal. Pikiran dan perasaannya semakin kacau karena Aaron meninggalkan banyak tanda tanya dalam diri Annette. Mengapa ia tidak merasa terganggu dengan kehadiran Aaron? Mengapa ia tidak takut dengan sikap Aaron yang janggal. Mengapa, mengapa, dan masih banyak mengapa yang lainnya. Namun yang paling mengganggu adalah kenyataan bahwa mengapa ia harus ikut merasa sedih ketika melihat sorot mata pria itu? "Mana pria itu?" tegur Linz yang sudah duduk di seberang Annette, menggantikan posisi Aaron tadi. "Sudah pergi," sahut Annette. "Secepat ini?" Linz membelalak heran. Baru saja ia berniat menawarkan minuman untuk tamu mereka, tapi pria itu malah sudah pergi. "Hm." Annette mengangguk kecil. "Jadi apa yang dia inginkan?" tanya Linz penasaran. "Melihatku." Linz memicing curiga. "Hanya itu?" "Ya." "Dia pasti sudah gila!" seru Linz tidak percaya. "Mungkin." Untuk kali ini Annette setuju dengan kata-kata Linz. "Dan kau juga mulai terlihat gila," sambung Linz. "Hah?" Annette melongo. Linz mengangkat telunjuknya lalu membuat gerakan melingkari wajah Annette. "Wajahmu terlihat kecewa."  "Linz, kembalilah bekerja!” Annette mengerang kesal lalu langsung berdiri dan meninggalkan Linz menuju ruang kerjanya. “Aku perlu menyelesaikan rancanganku." "Silakan, Nona Besar!" teriak Linz dengan nada mengejek. *** Dari jendela kamarnya di lantai dua AJ Bridal, Annette bisa mengamati dengan leluasa jalan di bawah sana. Ia juga bisa melihat dengan jelas mobil hitam milik Aaron yang selalu terparkir di tempat yang sama selama beberapa hari terakhir. Rasanya sudah tidak terkejut lagi melihat mobil Aaron terparkir di seberang jalan, karena setiap hari memang selalu begitu. Annette jadi teringat kembali percakapannya dengan Linz siang tadi. >>> "Penggemarmu masih di sana?" Linz mengedik ke seberang jalan dengan senyum mengejek. “Hm," gumam Annette malas. Ia sudah mulai bosan dengan gangguan Linz setiap saat, sejak munculnya Aaron.  "Kenapa kau tidak terlihat terkejut?" pancing Linz. “Aku sudah melihatnya sebelum kau memberitahu,” balas Annette datar. "Sudah berapa hari dia terus beredar di sekitar sini?" “Enam hari," jawab Annette cepat tanpa perlu menghitung terlebih dahulu. Linz tersenyum sinis kemudian menyindir, "setia sekali dia." Annette melirik tajam ketika mendengar nada bicara Linz yang sarat jebakan. “Kau terganggu?” "Seharusnya aku yang bertanya. Apa kau tidak merasa terganggu?" “Aku tidak terlalu memusingkan keberadaannya," balas Annette cuek. "Apa kau tidak merasa dia seperti penguntit?" tanya Linz lagi. Annette membalikkan pertanyaan Linz. “Apa dia pernah melakukan sesuatu yang merugikan kita?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN