Pagi ini Hazel bangun sedikit terlambat. Pada pukul delapan pagi baru ia bangun. Tanpa mempedulikan kondisinya yang berantakan mulai dari rambut dan wajah tampak lesu, ia dengan santai berjalan keluar dan menuruni tangga menuju dapur.
“Julia, aku ingin sarapan omelette,” pinta Hazel. Selama Julia bekerja, memanglah ia dan Gabriel memanggil Julia hanya dengan nama saja, karena itu memanglah kemauan wanita beranak satu itu.
Dahi Hazel mengerut dalam ketika tidak melihat sosok Julia di dapur, biasanya Julia berkutat di dapur pada pukul segini.
“Siapa kamu?” tanya Hazel pada seorang laki-laki asing yang tengah membelakanginya.
Tentu saja ia tidak mengenal lelaki asing itu, dari postur tubuh saja sudah berbeda dengan Gabriel.
“s**t! Aku baru ingat,” gumam Hazel.
“Perkataan anda harus lebih dijaga Nona,” ujar Edgar seraya membalikkan tubuhnya.
Wajah Edgar sangat datar menatap Hazel yang berpenampilan acak-acakan khas bangun tidur. “Anda tidak membasuh muka?” tanya Edgar.
“Bukan urusanmu!” tukas Hazel dengan ketus.
Hazel berpindah menuju meja pantry lalu duduk di kursinya. “Di mana Julia? Dan bagaimana bisa kamu berada di sini sepagi ini?”
“Saya tinggal di sini atas perintah Tuan Gabriel, Nona. Kamar saya tepat di bawah kamar anda,” jelas Edgar santai.
Hazel menggerutu pelan. “Di mana kakak ku?”
“Tuan Gabriel sudah berangkat sejak tiga puluh menit yang lalu,” balas Edgar. Lelaki itu mematikan kompor lalu memindahkan masakan yang ia buat ke piring dan kemudian menyerahkan piring tersebut pada Hazel.
“Makanlah, Nona.”
Hazel menatap masakan buatan Edgar dengan tidak yakin. “Soup? Aku tidak ingin cream soup ini,” tolak Hazel mentah-mentah.
“Ini bagus untuk anda, hujan mengguyur kota sejak pagi, dan memakan soup untuk mengawali hari sangat bagus. Terlebih ini masih hangat,” jelas Edgar.
Hazel pun mengangguk pasrah dan mulai memasukkan soup buatan Edgar ke dalam mulutnya.
“Pakai roti ini.” Edgar menyerahkan dua buah roti pada Hazel.
Tanpa menolak lagi, Hazel menerima roti itu dan mencelupkannya ke dalam cream soup sebelum ia masukkan ke dalam mulutnya.
“Kamu tidak sarapan juga?” tanya Hazel bingung. Pasalnya hanya ia yang makan.
“Sudah.”
Hazel mengangguk paham dan kembali menghabiskan sarapannya. Setelah selesai ia meneguk dengan rakus air putih di gelas yang diberikan oleh Edgar. “So, di mana Julia?”
“Putra Julia sakit, jadi dia sedang merawat anaknya,” jawab Edgar.
“Aku mengerti, terimakasih sarapannya.” Hazel berdiri dan hendak kembali ke kamarnya. Tetapi Edgar mencekal tangan Hazel.
“Apa?” tanya Hazel malas seraya menepis tangan Edgar.
“Cuci mangkuk bekas makan anda,” titah Edgar dengan tegas.
Hazel menatap Edgar tak percaya. “Seriously? Kamu menyuruhku?”
Tanpa ragu Edgar mengangguk dengan tegas. “Biasakan hidup mandiri dan tidak bergantung pada orang lain. Mulailah dengan langkah kecil, yaitu membasuh piring sisa makan anda,” ujarnya enteng.
Hazel menatap Edgar dengan tajam. Ia tidak mengindahkan ucapan Edgar dan kembali melangkah menuju kamarnya di atas. Edgar bukanlah siapa-siapanya, jadi ia tak harus mengikuti apa yang lelaki itu perintahkan. Hei, harusnya ia yang berlaku seperti seorang Nona di sini, bukan Edgar!
Edgar hanya menatap kepergian Hazel dengan tatapan datar. Ada banyak hal yang harus ia lakukan pada Nona itu.
Karena bukan hanya mengawasi saja, ada tugas lain dari atasannya yang harus ia lakukan.
***
“Kak Gab!” Hazel berseru pada Gabriel yang baru memasuki mansion. Dapat gadis itu lihat jika kakaknya itu kelelahan habis seharian bekerja.
“Ada apa?” tanya Gabriel lesu ketika menjatuhkan dirinya di sofa.
“Aku, Laila dan Saka merencanakan liburan. Aku boleh pergi kan kak?” tanya Hazel dengan mata penuh harap.
Gabriel yang semula memejamkan matanya, kini matanya terbuka lebar. “Nggak!”
Bibir Hazel mengerucut. “Aku ingin berlibur setelah semua ini, biarkan aku menjernihkan pikiran dan refreshing, Kak. Boleh ya?” bujuk Hazel dengan memelas.
Gabriel menghela napas. “Beberapa hari lagi aku akan ke Swiss selama dua minggu, jika kamu juga pergi jauh-jauh aku semakin tidak tenang.”
“Ada Laila dan Saka, aku tidak sendirian,” sahut Hazel keras kepala.
Gabriel memijit pelipisnya, kepalanya semakin pusing dengan permintaan Hazel ini.
“Bagaimana kak? Boleh ya?” Hazel mengguncangkan lengan Gabriel dengan pelan. Gadis itu juga menunjukkan puppy eyes andalannya, biasanya Gabriel akan luluh jika ia seperti ini.
“Baiklah, dengan satu syarat,” ujar Gabriel tegas. Sorot mata lelaki yang tua beberapa tahun dari Hazel itu tampak tegas.
Wajah Hazel berubah semringah, asalkan syaratnya tidak aneh-aneh ia pasti menerimanya. “Apa syaratnya? Jaga diri? Sudah aku pastikan aku bisa menjaga diriku kak. Kak Gab nggak perlu khawatir.
Gabriel menggeleng samar. “Syaratnya, Edgar ikut serta bersamamu.”
Wajah Hazel mendadak murung. “Aku nggak suka ada orang asing ikut serta,” tolaknya.
“Dia bukan orang asing lagi, dia bodyguard-mu. Kalau kamu tidak mengizinkan Edgar ikut serta, ya sudah, berarti tidak ada liburan,” sahut Gabriel acuh tak acuh.
“Tapi aku tidak menyukainya,” gumam Hazel dengan raut wajah masam.
“Kenapa tidak menyukainya? Dia baik dan akan menjagamu selama kamu jauh dariku.”
Hazel tetap menggeleng. “Sejak kemarin ia memakai baju hitam. Aku tidak suka, tampilannya persis seperti orang yang menembak Papa dan Mama,” ucap Hazel dengan lirih.
Gabriel menegakkan tubuhnya. “Bagaimana bisa kamu berpikiran seperti itu?”
“Aku melihat postur tubuh orang yang menembak Papa dan Mama, dan dia adalah pria kekar berbaju hitam, masket hitam dan bertopi hitam. Postur tubuhnya mirip dengan Edgar, Kak!”
Gabriel menghela napas lelah. “Jadi karena bajunya serba hitam makanya kamu tidak menyukainya?”
Hazel mengangguk polos.
“Baiklah, aku akan menyuruh Edgar untuk merubah warna pakaiannya. Tidak boleh memakai baju hitam selama ia bekerja sebagai pengawalmu,” putus Gabriel.
“Tapi aku tetap tidak setuju dia ikut berlibur,” ujar Hazel.
“Kalau begitu tidak ada liburan, nikmati waktumu di dalam mansion ini.”
Bibir Hazel mengerucut dan matanya menatap Gabriel kesal. “Ya sudah, dia boleh ikut.”
Gabriel tersenyum lalu mengacak rambut Hazel. “Nah begitu, harus nurut.”