Lokasi berlibur Hazel dan teman-temannya adalah Bali, Indonesia. Dua hari yang lalu Gabriel telah pergi ke Swiss, dan sekarang Hazel dan teman-temannya pun sudah berkumpul di ruang tunggu bandara. Tentu saja Edgar ikut serta.
“Ayo Nona, ke sana. Kita sudah bisa memasuki pesawat sekarang,” kata Edgar setelah mendengar seruan di mic ruangan tunggu yang mengatakan pesawat yang akan membawa mereka ke Bali sudah menunggu.
Hazel mengangguk saja, membiarkan Edgar membawa tas ransel dan beberapa dokumen penting miliknya. Mereka berempat memberi tiket pada penjaga lalu berjalan menuju pintu pesawat yang sudah terhubung dengan tempat bandara ini.
“Edgar, kamu duduk bersama Saka saja. Aku akan bersama Laila,” ucap Hazel ketika Edgar malah duduk di sebelahnya.
Hazel melirik ke arah Laila yang memberi kode untuk jangan mengganggunya bersama Saka pun mendengus. “Tidak jadi, kamu duduk bersamaku.”
Edgar langsung menjatuhkan bokongnya di kursi. Sedangkan Hazel membuang pandangannya ke jendela. Mereka memang berada di pesawat komersial, dan bukan jet pribadi, tetapi atas keinginan Gabriel adiknya itu harus duduk di business class. Karena jet keluarganya sedang ia pakai ke Swiss.
“Apa kamu membawa botol minumku tadi, Ed?” tanya Hazel.
Edgar mengangguk samar, dengan cepat ia mengeluarkan botol minum di tas ranselnya. “Ini.”
Hazel mengambil botol itu lalu membukanya dan meneguk air itu dengan cepat, memuaskan dahaganya.
“Kenapa kamu mau berkerja pada Gabriel?” tanya Hazel usai minum.
Untuk beberapa saat Edgar diam, tampak memikirkan sesuatu. “Em, karena gaji yang ditawarkan Tuan Gabriel sangat besar Nona.”
Hazel mengangguk samar. “Siapa namamu?”
“Edgar,” jawab lelaki itu lempeng.
Hazel menatap bodyguardnya gemas. “Maksudku nama panjangmu!”
Edgar ber-oh ria. “Edgar Addison.”
“Well, Edgar. Kalau kamu tidak akan tahan, kamu bisa keluar dari pekerjaan ini. Dan aku akan sangat berterimakasih untuk itu,” kata Hazel seraya tersenyum manis.
Edgar mengerutkan dahinya. “Saya tidak akan keluar, saya akan bekerja sampai kontrak selesai,” sahut Edgar cuek.
Hazel mendengus kasar. Gadis itu tidak mengajak Edgar berbicara lagi. Pesawat akan lepas landas, dan ia lebih baik menatap keluar jendela dari pada harus berbicara dengan Edgar.
***
Setelah menempuh perjalanan kurang lebih delapan belas jam, akhirnya pesawat yang mereka tumpangi mendarat di Bandar Udara Internasional Ngurah Rai.
Ransel Hazel, dibawa oleh Edgar. Jadi gadis itu hanya memegang ponsel saja di tangan. Mereka turun dari pesawat dan langsung mengurus beberapa hal lalu mengantri mengambil koper.
Edgar membawa koper besar, begitu pula dengan Hazel. Tapi ternyata yang muncul duluan adalah koper milik Edgar. Hazel mengedarkan pandangannya, tidak ada kursi tunggu di sini. Tatapan Hazel berhenti pada koper Edgar, tanpa meminta izin pada sang pemilik, Hazel mengambil koper lelaki itu lalu ia duduk di atasnya.
Edgar langsung menatap Hazel heran.
“Aku lelah, Cuma mau duduk. Kamu lihatin aja koper punyaku di sana,” kata Hazel dengan nada diktator.
Edgar mendengus pelan, dan Hazel cukup terkejut mendengarnya. “Hei, kamu itu bodyguardku, jadi wajar aku menyuruhmu ini itu. jangan mendengus seperti itu,” tukas Hazel dengan nada memperingati.
“Saya tahu.” Edgar menyahut datar.
Selagi menunggu Edgar mengambil kopernya, Hazel mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan bandara ini. Tidak terlalu ramai.
“Hi!”
Hazel tersentak, dengan cepat ia menoleh ke kanannya. Dahi gadis itu mengerut dalam melihat seorang laki-laki dan perempuan menyapanya. Ah, tidak! Yang menyapanya hanya lelaki itu, kalau perempuan di sebelahnya hanya diam memperhatikan.
“Hei.” Hazel membalas dengan sedikit canggung.
Ditatapnya wajah laki-laki itu intens, ia seperti pernah melihat wajah lelaki itu. Tapi di mana ya?
Tiga puluh detik kemudian Hazel ingat. Lelaki ini adalah Jacob Simillian, sang pianis terkenal asal London. Jacob tidak hanya terkenal di London, tapi seluruh dunia pun mengetahui siapa Jacob.
“Kamu Jacob sang pianis itu bukan?” terka Hazel walau ia tahu jawabannya benar seratus persen.
Lelaki itu terkekeh pelan, membuat Hazel sedikit terpana. Ingat, hanya sedikit.
“Ya, aku adalah Jacob Simillian dan ini adikku Yumna Simillian,” kata Jacob sembari memperkenalkan adiknya pula.
Mereka berjabat tangan dengan ramah. Hingga tatapan Hazel berubah intens lagi menatap Yumna. “Sepertinya aku pernah melihatmu juga,” gumam Hazel yang dapat di dengar oleh Jacob dan Yumna.
“Tentu saja, kita pernah satu kelas saat kuliah beberapa bulan lalu,” kata Yumna canggung.
Hazel menepuk dahinya. “Ah iya, aku mengingatnya. Aduh, maaf aku cepat lupa dan ternyata dunia sesempit itu ya?” kekehnya.
“Aku turut berduka cita atas kejadian yang menimpa keluargamu,” ucap Yumna dengan nada pelan.
“Ya, saat itu aku datang ke mansion. Tapi aku tidak melihatmu di sana,” timpal Jacob.
“Kejadian itu sudah berlalu, jangan membahasnya lagi,” sahut Hazel sembari tersenyum.
“Ekhem. Jadi, apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Jacob usai berdeham pelan.
Hazel menunjuk ke arah Saka dan Laila yang tampak menunggu koper mereka. “Aku berlibur, bersama teman-temanku. Bagaimana dengan kalian?”
“Kami juga berlibur,” jawab Yumna.
“Great, kita bisa berlibur bersama kalauu begitu,” celetuk Jacob tersenyum lebar.
Hazel menggaruk kepala belakangnya. “Apa kalian tidak keberatan?”
“Tentu saja tidak. Justru aku khawatir teman-temanmu yang akan keberatan,” sahut Jacob cepat.
Hazel melirik Saka dan Laila sekilas lagi kemudian menggeleng. “Mereka tidak mempermasalahkan hal itu.”
Jacob dan Yumna mengangguk-angguk. “Kalau boleh tahu kalian menginap di resort mana?” tanya Jacob.
Hazel tidak langsung menjawab, ia mengingat kembali nama tempat yang telah di beritahu Saka sebelumnya. “Kalau tidak salah di daerah Nusa Dua. Tapi aku tidak tahu nama resortnya.”
Jacob menjentikkan jarinya. “Bagus, kami juga di daerah itu. Aku harap kita bertemu di resort yang sama nanti. Kalau begitu, aku dan adikku pergi duluan, ya?”
“Ya, hati-hati.”
Kedua kakak beradik itu menghilang dari pandangan Hazel. Gadis itu kembali menatap ke arah di mana koper akan di ambil.
Senyumnya terbit ketika melihat Saka dan Edgar menurunkan koper-koper mereka kemudian ketiganya berjalan menghampirinya.
“Sudah semua?” tanya Hazel pada Edgar.
“Sudah, Nona.”
“Kalau begitu ayo kita pergi.”
Mereka berempat berjalan keluar dari bandara. Di luar ternyata sudah ada mobil yang telah disewa oleh Saka. Menunggu mereka.
Saka dan Edgar kembali mengangkat koper dan memasukkannya ke dalam bagasi, sementara Hazel dan Laila langsung masuk ke dalam mobil. Urusan koper, biarlah menjadi urusan para lelaki.
Mobil yang telah di sopiri oleh bapak-bapak asli Bali ini pun melaju menuju resort yang telah disebutkan oleh Saka. Sepanjang perjalanan, Hazel memandang keluar jendela. Menatap laut yang mereka lewati, deburan ombak yang terlihat halus itu seakan-akan mengundangnya untuk ke sana dan main air di sana.
Hazel jadi tidak sabar untuk berjemur di tepi pantai dan bermain olahraga air lainnya bersama teman-temannya ini.