Sejak Edgar kembali dari London, keesokan harinya lelaki itu mengajak Hazel untuk berlatih lagi. Mau tidak mau, Hazel menurut saja, lagi pula ia memiliki banyak waktu luang. Memang lebih baik dimanfaatkan untuk melatih skill baru.
Hingga tiga hari kemudian, kemampuan bela diri Hazel benar-benar meningkat. Pasalnya mereka berlatih empat jam sehari dan menembak pistol satu jam perhari. Untuk memegang pistol, Hazel sudah bisa. Hanya saja menembak tepat sasaran ia belum terlalu jago.
"Hari ini Emma jadi datang, Nona?" tanya Edgar. Keduanya sedang berjemur di belakang, sebelum memulai latihan.
"Iya, kemungkinan nanti sore dia tiba di sini," jawab Hazel seadanya. Gadis itu memejamkan matanya dan menikmati sinar matahari yang menyentuh permukaan kulitnya di pagi hari.
Edgar memangut-mangut. Pria itu beranjak dari kursi panjangnya dan menatap Hazel. "Berjemurnya sudah cukup, Nona. Ayo kita latihan lagi."
"Iya, bentar. Aku haus, kau pergi ke bawah duluan. Nanti aku akan menyusul," sahut Hazel. Gadis itu melepaskan kacamata hitam yang bertengger di atas hidungnya dan berdiri.
"Minum boleh, tapi jangan yang manis-manis ya, Nona. Air putih saja," peringat Edgar lantaran tahu betul bahwa Hazel pasti akan mengambil air minum yang bukan air putih tentunya.
"Iya, bawel." Hazel mendengus.
Hazel berjalan masuk lebih dulu, ia langsung menuju dapur dan mengambil apa yang ia butuhkan. Sementara Edgar berjalan berlawanan arah dengan Hazel.
Setelah menuntaskan dahaganya, Hazel berjalan cepat menuju ruang bawah tanah. Sudah tiga hari ia latihan fisik, perlahan ia merasa biasa saja. Bahkan ia merasa tubuhnya sedikit lebih segar dan sehat dari pada sebelumnya.
"Latihan apa lagi, Ed?"
"Kita bergulat dulu, Nona. Em, maksudnya judo lagi." Pria itu berdehem pelan.
"Okay."
***
Akhirnya latihan yang melelahkan itu berakhir. Hazel merasa tidak sanggup memasak sekarang. Peluh sudah membanjiri tubuhnya. Hazel menjatuhkan dirinya di atas matras.
"Ed, makan siang kali ini kita pesan saja, ya? Aku capek!" adu Hazel lesu.
"Iya, Nona. Kalau begitu anda mandi dulu. Saya pesankan makanan sekarang, anda mau makan apa?"
"Sudah lama aku tidak makan burger. Big Mac dan beef burger boleh tuh."
"Itu tidak sehat. Makanan yang lain saja, Nona. Contohnya salad, itu jauh lebih baik dan menyehatkan," saran lelaki itu.
"Aku sedang tidak ingin makan sayuran. "Pesan saja Ed! Selama kita di sini, kita belum ada beli makan fast food," pinta Hazel dengan sedikit merengek.
Edgar menghela napas. "Baiklah, Nona. Big Mac atau beef burger biasa saja? Pilih salah satu, menu lainnya akan saya alihkan ke fried chicken nanti."
"Big Mac."
Edgar mengangguk paham. Lelaki itu berjalan ke sudut ruangan meraih handuk mini untum menyeka keringatnya sendiri.
Hazel hanya menoleh sekilas kemudian berdiri. "Kalau begitu aku ke kamar dulu," Ed."
"Iya."
Hazel melangkahkan kakinya keluar dari ruang latihan olahraga alias ruangan gym. Dengan senandung kecil, ia menaiki lantai atas hingga sampai di kamarnya. Tanpa membuang banyak waktu, ia masuk ke dalam kamar mandi.
Berendam sejenak adalah pilihannya. Hazel menampung air di bathtub dan ketika sudah terisi ia langsung masuk. Rasa tenang dan nyaman menyambutnya ketika kulitnya bersentuhan langsung dengan air hangat. Rasa lelah dan peluhnya seolah hilang.
Mengingat latihannya tadi, Hazel tersenyum lebar. Ia merasa kemampuannya sudah bertambah bagus. Beberapa serangan dari Edgar tadi berhasil ia tangkis dengan cekatan. Kalau tidak, kemungkinan ia akan terpukul dan ditendang. Ugh, itu pasti sangat menyakitkan walau ia belum pernah merasakannya sekaligus. Ia hanya pernah kena banting, itupun satu kali karena Edgar.
Sekitar tiga puluh lima menit kemudian, ia sudah merasa sangat fresh. Hazel berdiri dengan tegap dan bekas ia mandi sudah menempel di tubuhnya.
Hazel berpakaian dengan cepat lantaran perutnya sudah mulai rusuh berdemo meminta diisi. Ketika sudah rapi, tanpa mengeringkan rambut ia keluar dari kamarnya.
Di bawah, Edgar ternyata menunggu dirinya. Pria itu sudah duduk di kursi dengan beberapa jenis makanan yang sudah tersaji di meja makan.
"Wahh, makanannya cepat sekali datang," celetuk Hazel.
"Barusan datang kok, Nona," sahut Edgar.
Hazel mengangguk samar. Gadis itu duduk di hadapan Edgar dan mencomot kentang goreng.
"Apa kau beli es krim juga tadi, Ed? Aku baru ingat, di kulkas tidak ada lagi es krim."
Edgar menggeleng. "Tidak, Nona. Lagian tadi anda tidak minta."
Hazel mendesah kecewa. Padahal ia tadi sudah berharap bahwa Edgar peka dan langsung membelikannya, tanpa bilang-bilang.
"Yahh, harusnya kau pesan juga. Itu bisa jadi dessert untukku."
"Anda sudah setiap hari mengkonsumsi es krim, lebih baik hari ini cuti dulu," sahut Edgar begitu santai.
"Cuti, cuti. Cuti apanya sih?!" cibir Hazel tak rela.
Edgar berdehem. "Makanlah sekarang Nona. Untuk dessert saya sudah membeli puding mini, ada di kulkas."
"Baiklah kalau begitu aku tidak jadi kecewa. Selamat makan Ed."
"Ya, selamat makan, Nona."
Hazel meraih Big Mac beef favoritnya. Ia membuka bungkusannya dengan cepat lalu membuka bagian roti atas burgernya. Hazel menambahkan saus di dalamnya lalu setelah dirasa cukup ia menutupnya kembali.
Hazel melahap burgernya dengan nikmat. Berbeda dengan Edgar yang mengkonsumsi Chicken wings yang berukuran cukup besar. Bunyi renyah dari krispi kulit ayam dari Edgar membuat Hazel juga gatal ingin mencicipi.
"Burger Mekdi memang tidak pernah mengecewakan," gumam Hazel disela-sela kunyahannya.
"Yup, oleh karena itu. Ini tidak baik dikonsumsi setiap hari. Saya saja heran, kenapa ada orang yang tiap hari membeli ini."
"Mungkin mereka itu lebih tergila-gila lagi dengan makanan ini dari pada aku," sahut Hazel asal.
"Maybe."
Keduanya kembali makan dengan hening. Tak sampai lima menit, big Mac berukuran cukup besar itu habis. Namun bukannya.merasa kenyang, Hazel ingin mencicipi friend chicken seperti punya Edgar.
"Kenapa ya? Aku ini suka sekali makan? Kau tahu kenapa Ed?" tanya Hazel dengan heran. Gadis itu mencomot satu paha ayam dan melahapnya tanpa nasi.
"Baguslah, Nona. Dari pada nggak suka makan sama sekali."
"Benar. Melihatmu makan chicken wings membuatku ingin merasakan renyahan kulit ayam."
"Kalau gitu, selamat menikmati Nona."
Hazel mengangguk samar dan kembali menikmati makan siangnya.
***
Gabriel memasukkan ponselnya ke saku celananya. Di depannya sudah ada Emma yang sudah siap dengan kopernya. Ia benar-benar akan mengirim Emma ke Bristol hari ini.
"Emma, setiap hari laporkan padaku apa saja yang Hazel lakukan. Dan aku ingin kau berada di samping Hazel terus dan penuhi apapun keinginannya jika ia menginginkan sesuatu."
Emma mengangguk patuh. "Baik, akan saya laksanakan Tuan."
"Sekarang kau bisa pergi. Em, untuk menghindari pembocoran identitas, kita main aman saja. Kau berangkat diantar oleh sopir, tidak masalah kan, Em?"
"Sama sekali tidak masalah, Tuan. Mau pakai kendaraan apapun, toh pada akhirnya tetap akan sampai di Bristol. Syukur-syukur dengan selamat."
"Baiklah. Untuk keperluan dapur, aku ingin kau yang berbelanja langsung karena aku tidak yakin Hazel bisa berbelanja. Pasti selama ini ia merepotkan Edgar."
"Baik, Tuan. Itu bisa saya urus."
"Kalau begitu, pergilah. Sopir sudah menunggumu, Em."
"Baik, Tuan. Kalau begitu saya pamit."
"Ya hati-hati. Jangan lupa dengan tugasmu, dan awasi Edgar ya. Bagaimana pun juga dia seorang lelaki."
"Baik, Tuan."