Hari ini Edgar akan kembali ke London, ia juga sudah memberitahu Hazel. Dan respon dari gadis itu cukup membuat hatinya berdebar-debar. Hazel mengatakan bahwa sangat senang mendengar ia akan pulang hari ini.
Rasanya ia seperti ditunggu oleh gadis itu.
Edgar memasukkan dus berisi banyaknya camilan dan juga beberapa kotak macaron dan cookies ke dalam mobil. Dedrick membantunya mengangkat tas bawaannya.
"Masalah perusahaan belum beres seratus persen lho, Tuan. Masa anda mau balik?"
"Aku yakin Papa akan membereskan sisanya. Yang penting, uang yang dicuri oleh Pedro sudah kembali walau tidak terlalu utuh," sahut Edgar santai tanpa beban.
"Katanya Bos besar akan mengurangi gaji pegawai bulan ini, karena dana yang lenyap itu Tuan."
"Tau dari mana?"
"Sekretaris Tuan Aditama. Saya tahu dari dia, Tuan."
"Ya mau bagaimana lagi? Terpaksa para pegawai harus berlapang d**a gajinya di potong.
"Berarti gaji saya juga dipotong, Tuan? Padahal saya kerja pagi, siang, malam lho," seloroh Dedrick kecewa.
"Kau bekerja padaku atau Papa?"
"Tentu saja pada Anda."
"Nah, kalau gitu tidak dipotong. Aku akan memberimu bonus," ucap Edgar. Lelaki itu menutup bagasi mobil lalu menoleh ke arah Dedrick.
Wajah Dedrick sangat semringah. Pasti sangat senang mendengar akan mendapatkan bonus.
"Kenapa? Senang diberi bonus?" cibir Edgar.
Dedrick nyengir kuda. "Terima kasih lho, Tuan. Padahal jarang-jarang anda memberi bonus gini, terus saya awalnya juga tidak terlalu berharap," cerocos Dedrick.
"Jadi kau tidak mau bonus?"
Dedrick menggeleng cepat. "Siapa yang bilang tidak mau sih, Tuan? Ya pasti mau lah!"
"Ya udah! Jangan banyak bicara lagi, aku akan pergi sekarang."
Dedrick langsung menyingkir, memberi sang Tuan jalan untuk menaiki undakan teras.
"Tapi Tuan, Ariel, Ethan dan yang lain pasti akan protes kalau saya dapat bonus."
"Ternyata kau setia kawan juga, ya?" cibir Edgar lagi, tanpa menoleh.
Edgar berjalan ke dapur, diikuti oleh Dedrick di belakang.
"Ya harus setia dong, Tuan. Bagaimana pun juga team kami selalu kompak dalam bekerja."
"Kalian semua berada di bawah pengawasanku, jadi jangan khawatir akan bernasib sama dengan pegawai Papa."
"Wahh anda baik sekali!! Kalau begitu saya doain deh supaya Hazel menyukai anda balik, dan anda melupakan dendam lama."
Tangan Edgar yang hendak meraih gelas terhenti. Ia menatap Dedrick tajam. "Apa maksudmu? Aku tidak bilang kalau aku suka Hazel, ya!!"
Dedrick menepuk bibirnya kemudian menangkupkan kedua tangannya di depan d**a. "Maaf, Tuan. Mulut saya benar-benar aneh, padahal saya tidak bermaksud mengatakan itu lho."
Edgar mendengus jengkel, tangannya kembali bergerak menuangkan air ke dalam gelas dan meneguk isinya. Setelah selesai, ia membiarkan gelas itu di atas pantry.
"Kalau begitu aku berangkat sekarang. Sebelum kau meninggalkan penthouse ini, jangan lupa kunci pintu Dedrick."
Dedrick mengangguk patuh. "Baik, Tuan."
***
Edgar mengemudikan mobilnya dengan kecepatan yang tinggi ketika melewati jalanan yang di kanan-kirinya penuh dengan pepohonan seperti di hutan.
Jalanan begitu sepi, namun tidak membuatnya takut. Ia justru sangat semangat untuk pulang kali ini.
Sekitar dua jam kemudian, ia tiba di depan rumah. Edgar membunyikan klakson di luar pagar. Sekitar lima menit kemudian pagar terbuka dan menampilkan sosok Hazel yang terengah-engah. Gadis itu membuka lebar pagar dan langsung saja Edgar menekan gas untuk memasuki area rumah.
Edgar mematikan mobilnya dan turun. Di teras Hazel sudah berdiri seperti menunggunya.
"Selamat datang kembali, Ed!" sambut Hazel riang.
Edgar hanya mengulum senyum tipis dan berlalu ke belakang, membuka bagasi.
Pria itu mengeluarkan tas-tasnya dan juga beberapa kotak kardus.
"Apa itu, Ed?"
"Em, oleh-oleh?" sahut Edgar dengan nada tak yakin.
Sorot mata Hazel berbinar-binar. "Oleh-oleh apa?"
"Nanti anda bisa memeriksanya. Sekarang apakah anda mau membantu saya?"
Hazel mengangguk ringan. "Biar aku bawakan tasmu."
Hazel mengambil alih tas Edgar dan berjalan masuk ke rumah. Sedangkan Edgar mengangkat semua kotak dan membawanya masuk.
Keduanya berhenti di ruang keluarga. Hazel meletakkan tas Edgar di atas permadani dan Edgar meletakkan kardus-kardusnya di lantai.
"Sekarang boleh aku buka?"
Edgar mengangguk dua kali.
Hazel meraih satu dus dan membukanya. Berbagai makanan manis dan camilan lainnya terdapat di sana. "Wah, kau membelikan ini semua untukku?"
"Iya, Nona."
"Terima kasih banyak, Ed. Kebetulan camilan du rumah ini sudah habis hehe," cengirnya.
"Saya sudah menduganya, Nona."
"Kalau gitu, kau istirahat saja dulu. Kan baru tiba, pasti lelah. Aku ke dapur dulu untuk menyusun ini semua."
"Saya bantu," putus Edgar. Pria itu kembali mengangkat dus-dus nya dan meletakkan barang tersebut di atas pantry.
"Okay, thank you Ed."
"My pleasure. Kalau butuh sesuatu panggil saja saya, Nona."
"Iya, Ed, iya. Kau sudah terlalu sering mengucapkan hal itu. Sekarang kau mandi dan istirahatlah."
Dengan begitu, Edgar melenggang pergi meninggalkan dapur.
Hazelnut keluarkan seluruh camilan yang Edgar beli. Satu persatu ia masukkan ke dalam lemari penyimpanan stok makanan. Untuk cookies dan macaron, ia pindahkan ke beberapa toples kue.
Setelah beres, Hazel membersihkan meja pantry dan membuang dus-dus yang tidak berguna itu. Hazel berjalan menuju ruang keluarga dengan memeluk satu toples berisi red Velvet cookies.
***
Malam harinya, Hazel memilih memasak Fettucini pasta. Dengan tambahan chicken katsu.
"Ed! Makan malam sudah siap, ayo makan bersama!" teriak Hazel dari dapur.
Tidak ada sahutan dari atas. Namun beberapa saat kemudian terdengar derap langkah kaki Edgar.
Hazel menyatukan peralatan masaknya di wastafel lalu bergabung dengan Edgar di meja makan.
"Terima kasih makanannya, selamat makan Nona."
"Iya, selamat makan!"
Hazel dan Edgar pun mulai menyantap makanan di hadapan masing-masing, tidak ada suara diantara mereka. Hanya ada suara dentingan garpu yang beradu dengan piring kaca yang digunakan.
"Em, apa kau bertemu dengan Kak Gab kemarin, Ed?" Hazel mengelap ujung bibirnya dengan serbet, matanya memandang Edgar penasaran.
"Tidak sempat, Nona. Lagi pula, jadwal Tuan Gabriel pasti padat."
Hazel menganggukkan kepalanya paham. "Ya, kau benar."
"Pekerjaanmu di sana, memang berat ya, Ed? Memangnya apa sih pekerjaan rahasiamu?" tanya Hazel kepo.
Edgar berdehem pelan dan memandang ke arah lain, menolak bertatap mata dengan kedua manik Hazel.
"Adalah, sebuah usaha keluarga, Nona."
Dahi Hazel mengerut. "Hee? Tapi katanya kau tidak punya keluarga?"
"Saya punya keluarga tiri gitu, Nona. Em, seperti yang membesarkan saya sejak ditinggal orangtua kandung."
Hazel mencoba mencerna ucapan pria di depannya. "Maksudmu, kau seperti anak angkat mereka?"
"Ya, benar seperti itu, Nona."
"Oh begitu, aku harap bisnis keluargamu lancar-lancar saja. Semua masalah sudah teratasi bukan?"
Edgar mengangguk kaku. "Sudah, Nona. Terima kasih atas doa baiknya."
Hazel tersenyum. "Kita lanjut makan."
Keadaan pun kembali hening. Edgar menyantap makanannya dengan cepat, ia harus cepat selesai makan agar tidak ditanyain yang aneh-aneh lagi oleh Hazel.
Sepuluh menit kemudian, piring mereka telah bersih tak bersisa. Edgar menyatukan piring bekas makannya dengan piring Hazel. Setelah itu ia bawa ke wastafel.
“Aku saja yang cuci, Ed.” Hazel menarik tangan Edgar agar menjauh dari wastafel.
“Saya saja, Nona. Lagi pula tadi sudah anda yang memasak.”
“Tapi ini kerjaan perempuan,” gumam Hazel yang masih dapat didengar jelas oleh Edgar.
“Kata siapa, Nona?” raut wajah Edgar terlihat tidak setuju dengan kalimat yang Hazel ucapkan.
“Mencuci atau membilas piring bukan pekerjaan perempuan. Laki-laki pun bisa melakukannya, Nona. Apa anda tahu? Tidak semua di restoran para pencuci piringnya adalah perempuan. Ada juga kok yang lelaki,” pungkas Edgar panjang.
“Iya, aku tahu. Tapi...”
“Anda duduk manis saja di depan televisi, biar saya yang mengatasi hal ini,” ucap Edgar final.
“Baiklah.” Perlahan Hazel berjalan meninggalkan Edgar dan juga dapur.
Edgar menatap punggung Hazel sembari menggeleng-gelengkan kepala. Kenapa gadis itu sangat keras kepala? Padahal dulu, saat mereka baru kenal, ia ingat betul bahwa Hazel tidak terlalu suka melakukan pekerjaan rumah. Mencuci piring bekas makan sendiri pun dia tampak enggan.
Hazel duduk di sofa sambil memeluk bantal sofa yang empuk. Tiba-tiba ponselnya yang kebetulan berada di meja berbunyi.
Ternyata, Gabriel lah yang meneleponnya.
“Halo, kak? Ada apa?”
“Suruh Edgar menuliskan alamat lengkap rumahnya padaku. Emma sudah baik-baik saja sekarang, aku akan mengirimnya ke sana sekalian untuk memantau keadaanmu di sana,” seloroh Gabriel tanpa jeda.
“Nanti yang urus kak Gab di sana siapa?”
“Masih ada Julia, tidak usah khawatir. Lagi pula aku tidak terlalu tenang membiarkan adikku tinggal bersama pria berdua saja.”
Hazel tesenyum kecil. “Baiklah, nanti aku akan suruh Edgar mengirimkan alamat lengkapnya.”
“Sekarang tidak bisa?” tanya Gabriel tidak sabaran.
“Tidak bisa, kak. Edgar sedang mencuci peralatan masak dan makan, kami baru saja selesai makan malam.”
“Ah begitu, baiklah kalau begitu. Bagaimana keadaanmu di sana, Haz?”
“Aku sangat baik, kak. Kalau kakak bagaimana?”
“Sehat juga. Sibukkan dirimu di sana, okay? Jangan berpikiran yang berat-berat,” pesan Gabriel dengan nada tegas.
“Iya, kak Gab juga harus santai. Nggak boleh banyak pikiran.”
“Ya sudah, kalau gitu aku tutup ya? Setelah ini aku ada masih harus memeriksa satu laporan lagi sebelum tidur.”
“Yup! Take care, brother.”