Setelah dua hari berada di rumah kedua orangtua Laila di Manchester, akhirnya Saka dan Laila kembali ke London. Keduanya pulang dengan membawa restu dari Ibu Laila. Sebelum pergi ke Manchester, Saka telah membawa Laila bertemu dengan keluarganya yang di London, dan mereka juga sudah mendapatkan restu dari kedua orangtua Saka.
Untuk tanggal pernikahan, mereka akan mengatur secepat mungkin. Semua persiapan memang akan diurus oleh mereka, pihak orangtua hanya tinggal melihat hasilnya saja nanti.
Saka dan Laila akhirnya tiba di unit apartement milik pria itu. Saka langsung membuka kuncinya dan mereka masuk. Laila menjatuhkan dirinya di sofa, disusul oleh Saka.
“Hari ini kau menginap di sini, ya?” pinta Saka dengan memelas.
Laila menyeringai, ide jahil timbul di kepalanya. “Aku lebih suka di rumahku sendiri, dari pada di apartemen ini Saka. Jadi aku tidak mau menginap di sini.”
Pria itu langsung mencebikkan bibirnya sebal. “Apa menurutmu apartemen ini terlalu kecil?”
“Aku bahkan bisa membelikanmu rumah sekarang juga, rumah yang paling besar tentunya,” lanjut Saka.
“Sudah, sudah, aku hanya bercanda. Aku akan menginap di sini, sekarang kau puas?”
Saka tertawa pelan dan menunjukkan senyum lebarnya. “Puas sekali.” Pria itu menarik Laila kepelukannya.
Saka mengendus-endus leher Laila lau menghirup aroma tubuh Laila yang wangi.
“Apa Hazel sudah tahu??” tanyanya dengan berbisik.
Laila mengangguk. “Beberapa hari yang lalu aku sudah meneleponnya, dan dia juga sangat senang. Hanya saja ia tidak terlalu yakin bisa datang ke pernikahan kita. Walaupun begitu, ia bertekad akan datang dan menjadi bridesmaid-nya.”
Saka mengangguk paham. “Semoga saja keluarga Hazel baik-baik saja sampai kapanpun dan pelaku terornya segera ditangkap.”
Laila mengangguk setuju. “Aku sangat setuju!! Melihat Hazel harus bersembunyi seperti itu membuatku sedih, pasti sekarang Hazel jarang keluar rumah walaupun sedang tidak berada di London.”
“Kak Gabriel pasti akan mengatasi itu semua. Sekarang abaikan masalah Hazel dulu. Aku lapar, sayang.”
Laila memutar bola matanya malas. “Aku sedang malas memasak, Ka. Lagi pula bahan-bahan uuntuk memasak sepertinya tidak ada.”
Saka menepuk dahinya teringat sesuatu. “Kau benar. Di kulkas tidak ada apapun karena aku sangat jarang berbelanja.”
“Kita pesan saja atau makan diluar?”
“Pesan saja, aku lelah menyetir,” balas Saka cepat.
“Baiklah. Mau makan apa?” tanya Laila tanpa melihat Saka, fokusnya kini pada layar ponselnya yang menampilkan aplikasi pengantar makanan.
“Apapun, kalau gitu aku tinggal ya? Ambil saja uangku di dompet nanti, aku mau mandi dulu.”
“Baiklah.” Laila menentukan pilihan menu makan malam mereka setelah Saka pergi ke kamarnya.
***
Hazel menghempaskan tubuhnya di ranjang. Setelah kemarin ia menghabiskan waktu bersama ibu Rain, sekarang ia bingung harus ngapain lagi.
Ia benar-benar bosan. Tidak ada yang menyenangkan di sini. Pagi tadi Hazel mendapatkan nomor ponsel Yumna dan kedua orangtua Jacob dari Gabriel. Ia langsung menghubungi Yumna dan menanyakan kabar Jacob.
Ternyata masih sama. Tunangannya itu masih betah untuk tidur, dan entah sampai kapan berakhir.
Jacob sepertinya sedang bermimpi indah, lelaki itu pasti betah dengan mimpi indahnya hingga enggan untuk bangun.
Tes.
Setetes airmata keluar dari kelopak matanya. Entah kenapa, mengingat Jacob membuatnya sedih saja. Rasa rindu dan rasa sesak melingkupi hatinya. Menimbulkan rasa menyesakkan di d**a.
Drrtt... drrttt...
Hazel tersentak kaget saat mendengar ponselnya bergetar di atas nakas. Dengan cepat ia meraih benda pipih itu. nama Edgar lah yang terpajang di layar.
“Halo, Ed? Ada apa?” tanyanya dengan suara serak. Rasa sesak di d**a membuat suaranya terdengar serak.
“Ada apa? Suara anda terdengar serak, anda batuk, Nona?” tanya Edgar yang terdengar cemas di seberang sana.
Hazel berdehem beberapa kali, menormalkan nada suaranya agar tidak terdengar serak lagi. “Tidak, aku tidak batuk Ed.”
“Tapi kenapa suaranya serak begitu, Nona?”
“Dadaku terasa sesak, dan tanpa sadar aku menangis.”
Edgar menghela napas gusar tanpa sadar. “Kenapa tiba-tiba merasa sesak? Apa anda yakin baik-baik saja, Nona? Bukan jantung anda yang sakit, kan?”
“Sekarang aku baik-baik saja Edgar, jangan khawatir. Sudah tidak sesak lagi.”
“Saya tidak percaya. Ya Tuhan, anda sedang sendirian di rumah. Membuat saya cemas saja, bisakah panggilannya dialihkan menjadi panggilan video, Nona?” pinta Edgar gusar.
Hazel mendengus samar. “Baiklah, ku matikan dulu!”
Hazel mematikan ponselnya lalu beralih menelepon Edgar dengan panggilan video. Tak lama wajah Edgar yang tampan memenuhi layar ponselnya.
Alis sebelah kanan Hazel terangkat naik melihat bahu telanjang Edgar yang tampak basah. “Kau sedang tidak berpakaian?!” teriaknya kaget dengan mata melotot.
“Tenanglah Nona. Saya baru selesai olahraga, lagi pula hanya kelihatan bahu saja. Tidak perlu histeris begitu, Nona,” sahut Edgar santai.
Hazel berdecak pelan. Ia mengalihkan pandangannya ke arah lain asalkan tidak melihat layar ponselnya. Sebab yang ia lihat adalah lengan kekar lelaki itu dan juga wajahnya. Agaknya, sedikit membuat fokusnya buyar.
“Kenapa anda menangis?” tanya Edgar akhirnya, setelah keduanya terdiam cukup lama.
“Aku tadi menelepon Yumna.”
“Yumna siapa, Nona?”
“Adiknya Jacob, masa kau lupa sih?!” kesal gadis itu.
“Ah iya, saya ingat Nona. Lalu?”
“Katanya kondisi Jacob belum ada perkembangan, masih koma. Dan wajarlah aku sedih, kau saja yang berlebihan hingga meminta video call,” cibir gadis itu.
Edgar menyunggingkan senyum samar. Dalam hati ia bersyukur mendengar kondisi Jacob yang masih sama, tidak ada perkembangan. Sudah ia bilang, lebih baik Jacob istirahat dengan tenang saja di alam sana.
“Apa kemarin Ibu Rain ada ke rumah?” Edgar mengalihkan topik.
“Ada. Dia membawa sebuah kue yang lezat.”
“Anda nyaman bersamanya? Beliau cukup baik, hanya beliau yang saya kenal di sekitar rumah itu Nona.”
“Yah, Ibu Rain memang asik diajak mengobrol. Aku nyaman-nyaman saja kemarin. Kau kapan pulangnya?”
“Kenapa bertanya seperti itu, Nona? Sudah kangen, ya?” goda Edgar dengan berani.
“Heh, apanya yang kangen. Sama sekali tidak! Percaya diri sekali dirimu, Ed!”
Edgar terkekeh samar, wajahnya benar-benar memenuhi layar ponsel Hazel.
Hazel yang melihat kekehan kecil Edgar menahan napas, ia juga melihat buliran keringat di pelipis pria itu. Sial, Edgar tiba-tiba menyugar rambutnya ke belakang.
Membuatnya tampak terlihat sangat seksi.
“Saya tahu kalau saya itu tampan, Nona. Lihatnya biasa saja,” ujar Edgar dengan percaya diri.
Hazel tergagap. “N-narsis sekali dirimu! Le-lebih tampan Jacob tau!” balasnya sedikit gugup.
Edgar memutar bola matanya malas. Mendengar nama Jacob membuatnya kesal saja. Padahal ia sengaja menciptakan momen yang tidak awkward agar mereka terlihat dekat. Tapi Hazel selalu saja menyinggung soal Jacob.
Apa bagusnya sih Jacob itu?
“Kau tidak bekerja, Ed?”
“Hm?”
Edgar terlihat enggan menjawab dan langsung membuat Hazel curiga. “Jangan bilang kau bolos bekerja?! Dasar pemalas!”
“Anda jangan sok tau. Saya ini kerjanya sore nanti, kemarin sudah bekerja seharian penuh,” sergah pria itu cepat.
“Iya deh, iya. Kalau begitu aku matikan ya? Tidak ada yang perlu dikhawatirkan di sini, aku baik-baik saja.”
Edgar terdiam sejenak. “Kalau ada apa-apa. Hubungi saya, ya Nona?”
“Tentu saja. Aku pasti akan menghubungimu pertama kali.”
“Baiklah, lakukan sesuka anda di sana. Asalkan jangan keluyuran, Nona.”
“Iya, iya aku paham. Kalau begitu aku tutup!”
Tanpa menunggu respon dari Edgar, Hazel memutuskan sambungan panggilan video tersebut. Gadis itu meletakkan ponselnya sembarangan dan menjatuhkan tubuhnya ke belakang, tepat terbaring di bantal-bantal. Tatapannya mengarah ke arah langit-langit kamar.
Mengingat obrolan random-nya dengan Edgar barusan, cukup membuat mood nya kmebali naik ke atas permukaan. Perasaannya yang semula diliputi oleh kesedihan, kini sudah memudar.
Omong-omong, sejak kapan ia jadi sedekat itu dengan Edgar, ya? Bahkan ia merasa nyaman ketika bercanda dengan pria itu.
Kenapa ia baru sadar sekarang?
***
Edgar meletakkan ponselnya di atas meja yang ada di ruangan gym penthouse-nya. Senyumnya tak berhenti mengembang walau sambungan panggilan telepon video dengan Hazel telah berakhir. Entah kenapa bercanda ringan seperti itu membuatnya terasa lebih dekat dengan Hazel, seperti tidak ada sekat diantara mereka.
Bisakah kedekatan yang sangat nyaman ini berlangsung alam waktu yang sangat lama?
Tok... tok... tok...
“Tuan? Boleh saya masuk?”
Edgar mengontrol ekspresinya langsung lalu berseru. “Masuklah!”
Pelaku yang mengetuk pintu yang tak lain adalah Dedrick masuk ke dalam.
“Saya sudah membelikan beberapa daftar camilan kemasan sesuai dengan yang anda pinta. Apakah ada lagi, Tuan?”
Edgar memegang dagunya seraya berpikir. “Apa benar sudah semua?” tanyanya memastikan.
“Iya, sudah Tuan.”
“Kalau begitu, tidak ada yang lain. Kau bisa lanjutkan pekerjaanmu yang lain.”
Dedrick mengangguk paham. “Tapi sebelum saya pergi, boleh saya bertanya Tuan?”
“Soal apa?”
“Untuk apa semua makanan yang saya beli tadi ini? Anda bukan tipe orang yang suka mengemil makanan. Apalagi banyak dari daftar adalah camilan yang manis-manis, Tuan.”
“Untuk Hazel,” jawab Edgar jujur dan tidak ada niat menutup-nutupi.
Mulut Dedrick terbuka lebar. “Hah? Untuk Hazel? Saya tidak salah dengar, Tuan?”
“Iya, Dedrick. Untuk Hazel, kau tidak salah dengar,” balas Edgar dengan menekankan setiap katanya lantaran jengkel juga dengan pertanyaan yang diajukan bawahannya ini.
Dedrick mengernyitkan dahinya. “Kenapa anda ingin membelikannya camilan?”
“Di sana tidak banyak camilan yang lezat. Lagi pula, daftar camilan yang aku tulis itu yang memang kesukaan gadis itu.”
“Sejak kapan anda tahu camilan favoritnya Hazel, Tuan??”
Edgar menoleh menatap Dedrick kesal. “Kau ini, banyak tanya sekali, ya?!”
“Ya karena saya penasaran, Tuan. Apakah Nona muda itu benar-benar mengubah sifat anda? Anda jatuh cinta padanya, ya?” tebak Dedrick tanpa pikir panjang.
“Dedrick...” nada suara Edgar kini terdengar cukup menyeramkan lantaran terdengar tajam dan datar.
“Ya, Tuan?”
“Kau mau langsung keluar dari sini atau menjadi samsak tinjuku?”
Dedrick membelalakkan matanya, dengan cepat ia menggeleng. “Maaf, Tuan. Saya sudah bicara banyak hal yang tidak berguna. Kalau begitu saya permisi.”
“Pergilah,” usir Edgar ketus.
Dedrick mengambil langkah keluar dari ruangan itu, namun sedetik kemudian ia kembali berbalik menghadap Edgar.
“Anda benar-benar akan kembali besok?”
“Iya, kenapa bertanya lagi sih?!”
“Saya hanya memastikan, Tuan. Kalau begitu, saya permisi.” Dengan langkah lebar, Dedrick keluar dari ruangan gym milik Edgar. Tanpa meninggalkan apapun selain pesanan Edgar tadi, Dedrick meninggalkan penthouse sang Tuan yang sulit dimengerti.