Keluar dari Mansion Harrison, Edgar malah berpapasan dengan orang yang tidak ingin ia temui, yaitu Eliana.
Wajah gadis itu tampak semringah melihat keberadaannya. “Akhirnya kau pulang, kak!” serunya.
“Aku sibuk, sampai nanti.” Edgar buru-buru melangkah menjauh.
Grep!
Eliana menahan tangan Edgar, membuat lelaki itu kembali melihat ke belakang. Tatapan Edgar sangat datar. “Apa yang kau inginkan?”
“Selama beberapa hari belakangan ini kau ada di mana?”
“Apa itu penting untukmu?” balas Edgar bertanya balik.
“Aku hanya penasaran, ya dijawab dong.”
“Aku bekerja. Sudah, kan? Aku pergi!” Edgar langsung menepis tangan Eliana kemudian berjalan cepat memasuki mobilnya.
Tanpa buang-buang waktu, ia melajukan mobilnya menuju perusahaan. Meninggalkan Eliana yang menatap mobil itu dari belakang dengan emosi dan tangan yang terkepal kuat.
***
Edgar telah sampai diperusahaan, beberapa orang yang mengenalinya langsung membungkuk hormat dan membiarkannya masuk. Ketika ia hendak ke lift yang mengarah ke lantai bawah, ia bertemu dengan Dedrick.
“Kau dari mana saja? Kenapa tidak ada di basecamp?” tanya Edgar langsung.
Dedrick menggaruk kepala belakangnya. “Sejak malam saya berada di sini, Tuan. Ah iya, saya tidak menyangka anda akan ke London.”
“Papa mengatakan bahwa Pedro sudah ditemukan,” kelakar Edgar.
Dedrick berdehem pelan lalu menepuk-nepuk kedua bahunya bergantian. “Ekhem, tentu saja sudah ketemu. Kan saya yang menemukannya, Tuan,” ujarnya sombong.
“Oh.” Setelah merespon dengan singkat begitu, Edgar langsung pergi meninggalkan Dedrick. Pria itu langsung masuk ke dalam lift yang kebetulan terbuka.
Dedrick berdecak kesal.
“Kau mau masuk juga tidak?” tanya Edgar dengan datar.
“Iya, Tuan, iya.” Dedrick menyusul masuk ke dalam.
“Anda ini benar-benar, ya! Saya sudah mendapatkan Pedro, saya mencarinya sampai ke Dubai sana. Tapi respon anda hanya Oh? Keterlaluan sekali, saya tersinggung,” pungkas Dedrick berani.
“Lalu kau mau apa?” tanya Edgar acuh tak acuh. Pria itu menekan tombol angka tiga lalu tak lama terasa lift bergerak ke bawah.
“Apresiasi kek! Atau beri saya bonus,” kekehnya Dedrick.
“Aku akan memberimu bonus lembur, tenang saja.”
Mata Dedrick melotot, ia menatap bosnya dengan sebal. “Benar-benar kerja rodi, tidak bisa gitu dong Tuan. Anda sudah pernah mengambil jatah cuti dan libur saya, masa sekarang lemburnya ditambah?” protesnya.
“Diamlah!” sentak Edgar kesal, lama-lama ia merasa telinganya pengang mendengar celotehan tak bermanfaat Dedrick.
Dedrick berdecak dengan keras. Lembur? Ia tidak akan mau. Lihat saja nanti, untuk kali ini ia tidak akan patuh dengan mudah, lagi pula Edgar yang membutuhkannya.
Err ... tapi Dedrick juga memerlukan Edgar alias uangnya. Bagaimana bisa ia hidup tanpa uang ataupun gaji?!
Ugh! Whatever.
Akhirnya lift berhenti, mereka tiba di lantai tiga ruang bawah tanah perusahaan. Ruang bawah tanah ini cukup besar. Hingga lima lantai ke bawah. Tentu saja semuanya dibangun dengan baik dan bagus. Bahan-bahan yang digunakan dalam pembangunan pun tidak sembarangan.
“Di mana Pedro berada?”
“Di ruangan A, Tuan. Sedangkan keluarganya berada di ruangan B,” jawab Dedrick dengan serius.
“Katamu, Pedro memiliki anak perempuan,” gumam Edgar sebelum memasuki ruangan A yang dimaksud.
“Benar, Tuan. Apa anda tertarik bermain dengannya?”
Edgar mendengus samar. “Aku tidak tertarik. Bawa gadis itu kehadapanku. Dia harus menyaksikan bagaimana Ayahnya dieksekusi.”
“Em, apakah itu tidak terlalu berbahaya, Tuan? Pada akhirya putrinya ini akan dikeluarkan?”
Edgar tertawa pelan. “Tidak. Nasib keluarganya akan sama dengan nasib Pedro. Uang yang dikeluarkan Pedro sudah banyak sekali.”
Dedrick mengangguk patuh. “Baik, Tuan. Kalau begitu, seluruh keluarganya saja saya kumpulkan di ruangan A.”
“Ide bagus.”
***
Hazel merenggangkan otot-otot tangannya lalu mengucek kedua matanya pelan. Seharian ini ia menghabiskan waktu selonjoran di depan televisi sambil menonton di laptop dan iPad-nya. Jika laptopnya habis baterai, maka ia akan beralih ke iPad. Begitu saja terus hingga sore. Ia baru akan berhenti saat ingin makan minum dan ke toilet.
Benar-benar sangat santai.
Tringg... tringg...
Tubuh Hazel menegak kala mendengar suara bel rumah. Dengan cepat ia kedepan, namun sebelum membukakan pintu, ia memeriksa siapa yang datang melalui bel intercom.
Yang ia lihat, wanita yang cukup berumur dengan membawakan sebuah keranjang.
“Halo, saya Rain.”
Hazel tersentak ketika mendengar suara perempuan itu. Ibu Rain, yang dimaksud Edgar tadi pagi!
Dengan berlari Hazel keluar dari rumah dan membukakan pagar. “Halo, Nyonya.”
“Edgar menitipkanmu padaku, apa kau baik-baik saja sendirian?” tanya Ibu Rain dengan ramah.
“Masuk dulu, Bu. Kebetulan saya baik-baik saja,” balas Hazel tak kalah ramah.
Ibu Rain berjalan di samping Hazel, memasuki rumah Edgar.
“Ini, tadi Ibu ada bikin kue.” Wanita paruh baya itu menyerahkan keranjang yang ia bawa.
“Wah, terima kasih banyal. Tapi seharusnya anda tidak usah repot-repot begitu, Bu.”
“Tidak repot kok, Ibu justru senang bisa membuatkan kue untuk orang lain. Ada kegiatan.”
Hazel tersenyum lebar dan mengucapkan terima kasih sekali lagi. Gadis itu bangkit dari sofa dan permisi ke dapur. Ia mengambil pisau dan dua piring kecil untuk meletakkan kuenya.
“Saya potong ya, Bu.”
Ibu Rain mengangguk santai. “Kamu dan Edgar sudah lama menikah?” tanyanya.
Gerakan Hazel yang sedang memotong kue pun terhenti. Refleks kepalanya langsung menoleh menatap si Ibu. “Apa maksud ibu?”
“Seminggu yang lalu Ibu lihat kamu baru tiba bersama Edgar. Berdua saja, dan banyak sekali barang-barang seperti akan tinggal di sini saja untuk waktu yang lama. Kalian sudah menikah, kan?”
“Edgar bilang begitu, Bu?”
Ibu Rain menggeleng. “Edgar Cuma bilang jagain kamu. Tapi kamu beneran udha nikah, kan sama Edgar?”
Hazel bungkam, mendadak ia terkena serangan panik. Apa yang harus ia jawab? Jujur saja tidak? Tapi kalau mereka tidak menikah, nanti ia akan dicap buruk dong tinggal dengan lelaki yang bukan suami?!
Hazel tidak suka namanya dipandang buruk. “E-eh iya, Bu.” Terlanjur mulutnya mengatakan iya.
“Masih pengantin baru, ya? Dalam seminggu ini jarang dilihat keluar. Pasti berduaan terus hehe,” ujar si Ibu tanpa dosa.
“E-eh i-iya.” Tidak ingin pusing dan banyak pikir, Hazel langsung mengiyakan saja dan melanjutkan aktivitas sebelumnya yaitu memotong kue.
“Ini, Bu. Saya ambil minumnya dulu, Ibu mau minum apa?”
“Apa aja boleh.”
Hazel mengangguk paham. Gadis itu kembali menuju dapur untuk mengambil air minum. Sengaja ia memilih juice jeruk di kulkas.
Sore itu, Hazel menghentikan kegiatan menontonnya dan memilih bercengkrama ria mengobrol banyak hal dengan Ibu Rain yang sangat supel dan juga ramah. Berbagai cerita dan candaan yang ia dapatkan.
Setidaknya, ia memiliki teman saat ini. Tidak sendirian.
***
Edgar mengelap tangannya yang berlumuran darah dengan sebuah handuk kecil yang diberikan Dedrick.
“Urus sisanya, aku mau pulang.”
“Anda akan kembali ke Bri?” tanya Dedrick dengan kaget. “Bahkan anda baru saja tiba hari ini, apa tidak ingin menginap?” lanjut lelaki itu.
Edgar mendengus. “Siapa bilang aku akan kembali? Aku akan kembali ke penthouse. Mungkin besok atau lusa akan pulang.”
Dedrick menyeringai. “Pulang? Wah, bos sudah memiliki tempat pulang ternyata? Enak nggak Bos? Berduaan dengan Nona cantik?” godanya sembari mengerling.
Edgar menendang kaki Dedrick di bagian tulang kering dengan sadis. “Jangan menggodaku, sialan!”
Dedrick meringis kesakitan sambil mengelus kakinya yang berdenyut. “Sakit, Tuan!” protesnya.
“Makanya, jaga mulutmu.” Setelah mengatakan hal itu, Edgar berlalu pergi meninggalkan ruangan A.
Dedrick mengumpat pelan. Rasa sakit tendangan Edgar tidak main-main. Kalau tau begini, lebih baik ia mengunci mulutnya dengan rapat.
Dasar Bos jahannam!