Beberapa hari kemudian...
Disuatu tempat yang temaram. Eliana sedang duduk di kursinya. Di depannya ada seorang laki-laki yang bertugas melaporkan pengintaian yang dilakukan disekitar mansion Austen.
"Temannya mengetahui keberadaannya?" tanya Eliana tajam.
"Ya, Nona. Nama temannya Laila, dia tampak sangat dekat dengan Hazel. Pasti dia tahu sesuatu. Lagi pula, beberapa Minggu belakang Tuan Edgar tampak tidak ada di London.
"Kalau begitu, bawa Laila ke hadapanku segera."
"Baik, Nona."
***
Hari ini Edgar akan ke London. Menurut informasi dari Dedrick, Aditama memintanya untuk datang dan juga sudah empat hari sejak kejadian penggelapan uang ratusan dollar yang dilakukan Pedro.
“Apa aku tidak bisa ikut saja, Ed? Aku akan berada di mansion kok, tidak akan keluar rumah. Lagi pula aku merindukan kak Gab,” pinta Hazel dengan menunjukkan puppy eyes-nya.
“Tidak bisa, Nona. Lagi pula saya akan berangkat sekarang. Anda harus tetap di rumah ini, semua bahan makanan dan camilan ringan sudah lengkap. Saya hanya pergi dua hari,” pungkas Edgar tegas.
“Aku sendirian, tidak ada teman. Bagaimana kalau nanti hujan deras dan ada petir yang keras? Aku takut, Ed!” gadis itu masih saja memelas sembari berharap mendapatkan persetujuan dari Hazel.
Edgar tetap menggeleng. “Tidak bisa. Empat puluh meter dari rumah ini adalah rumah Ibu Rain, dia orangnya baik. Beliau akan menemani anda nanti,” balas Edgar.
“Ibu Rain? Kau belum pernah mengatakan tentang dia. Aku tidak suka orang baru.”
“Nanti anda juga mengenalnya. Dia sudah tua, anaknya tidak ada, hidup sendiri. Lebih menyedihkan mana dari pada anda?” tanya Edgar membandingkan.
“Benarkah dia tidak punya keluarga?” tatapan Hazel berubah sayu, ia merasa kasihan.
“Iya. Oleh karena itu saya meminta bantuannya untuk menemani anda dua hari ini. Kalau begitu saya pergi dulu, Nona.”
“Kau akan pergi dengan mobil Kak Gab?”
Edgar menggeleng. “Saya akan memakai mobil saya sendiri.” Pria itu berjalan keluar rumah, diikuti oleh Hazel dari belakang.
Edgar mengeluarkan sebuah mobil yang sebelumnya tidak pernah Hazel lihat. “Aku baru pertama kalinya melihat mobilmu di sini, mobilmu tampak keren,” puji gadis itu.
Edgar terkekeh sombong. “Tentu saja keren, Nona. Sama seperti pemiliknya yang keren,” ujar lelaki itu narsis.
Hazel membuat ekspresi seakan ingin muntah. “Sudah lah, kau pergi saja. Kenapa hari ini kau sangat narsis?!”
Edgar berdehem pelan. “Kalau gitu saya pamit. Kalau ada apa-apa beritahu saja Ibu Rain dan telepon saya mengerti, Nona?”
Hazel memutar bola matanya malas, pesan dari Edgar ini terdengar seperti pesan dari orang dewasa untuk anak kecil. “Aku tahu, lagi pula aku bukan anak kecil,” tukas Hazel.
“Baguslah kalau begitu, Nona.” Edgar berjalan memasuki mobilnya. Membunyikan klakson satu kali, akhirnya kuda besi putih milik Edgar meninggalkan pekarangan rumah.
Hazel buru-buru mengunci pagar dan masuk ke dalam rumah. Tidak lupa ia juga mengunci pintu rumah. Hazel menghempaskan tubuhnya di sofa, sekarang ia tidak tahu akan melakukan apa. Sendirian di rumah, bagusnya ngapain?
“Kau jahat, Ed! Harusnya kau bawa saja aku, aku bisa mati kebosanan di sini,” rutuk Hazel kesal.
***
Edgar mengemudikan mobilnya dengan kecepatan di atas rata-rata. Ia ke London juga sengaja memakai mobil karena tidak ingin identitas dalam pembelian tiket pesawat bocor. Ia tidak ingin siapapun mengetahui keberadaannya saat ini di mana.
Sekitar tiga jam kemudian akhirnya ia tiba di Kota London. Langsung saja ia mengemudikan mobilnya menuju penthouse-nya yang sudah lama ditinggal.
Namun ia menghentikan mobilnya kala melihat seseorang seperti sedang mengintip dari pagar rumahnya yang tinggi. Apa yang mereka cari?
Apakah mereka itu mencarinya?
Edgar refleks menundukkan kepalanya saat lelaki asing itu menoleh ke arah mobilnya. Setelah ia rasa aman, Edgar kembali melihat ke depan. Lelaki asing itu berjongkok di depan pagar sembari memegang ponsel.
Meski heran, tidak ada yang bisa Edgar lakukan selain pergi dari sana. Mungkin lain kali ia bisa kembali ke rumahnya sendiri. Edgar melajukan mobilnya menuju basecamp-nya dan para anggotanya.
Edgar berusaha mendial nomor ponsel Dedrick namun entah mengapa Dedrick tidak bisa dihubungi. Sepertinya ponsel Dedrick sedang dalam keadaan mati.
Setibanya di tempat berkumpulnya dengan para bawahannya, Edgar segera turun dan langsung berpapasan dengan Ethan.
“Oh, selamat datang Bos!” sambut Ethan sedikit terkejut.
“Apa Dedrick ada di dalam?”
Ethan menggeleng. “Sejak tadi malam ia tidak ada di sini, Tuan.”
Sebelah alis kanan Edgar terangkat naik, heran. “Ke mana dia?”
Ethan mengangkat bahunya acuh tak acuh. “Saya juga tidak tahu, Tuan. Dia tidak ada bilang apapun. Saya saja terkejut anda kembali ke London.”
“Hubungi Dedrick segera dan cari dia, suruh dia menemuiku.”
“Baik, Tuan. Ayo masuk dulu!” ajak Ethan.
“Aku akan ke mansion Harrison. Jika Dedrick sudah ada dan bisa dihubungi, suruh dia menemuiku di sana.”
“Baik, Tuan. Hati-hati di jalan.”
Edgar mengangguk sekilas lalu kembali masuk ke dalam mobil dengan tergesa-gesa. Pria itu langsung meninggalkan basecamp menuju Mansion milik Aditama.
Setelah itu, Edgar tiba di mansion. Edgar menghela napas kecl ketika melihat beberapa pekerja yang sudah bekerja membersihkan halaman.
“Di mana Papa?” tanya Edgar pada salah satu pelayan.
“Ada di ruang kerjanya, Tuan.”
“Eliana?”
“Sudah seminggu Nona tidak pulang ke sini Tuan.”
Meski heran, Edgar mengangguk paham. Pria itu berjalan menuju rumah dan masuk ke dalam. Edgar langsung menuju ruang kerja Aditama.
Tok... tok... tok...
“Masuklah!”
Cklek!
Edgar membuka pintu dan mengayunkan kakinya masuk ke dalam. Ia melihat Aditama duduk di kursinya dengan raut wajah muram dan tampak sedikit terkejut dengan kedatangannya.
“Papa kira kau tidak jadi datang,” imbuh Aditama dengan nada senang.
“Aku akan membereskan beberapa hal di sini,” sahut Edgar acuh tak acuh.
“Siang ini, mereka berhasil menemukai Pedro. Kau bisa mengatasinya, kan?”
Edgar menatap Aditama sejenak lalu mengangguk. “Aku akan mengurus semuanya. Bagaimana dengan keluarga lelaki itu?”
“Kau maunya bagaimana?”
“Apa maksud Papa?” tanya Edgar tak mengerti.
“Urusan keluarga Pedro juga kau saja yang selesaikan, terserah mau kau apakan. Yang jelas uang yang dibawa kabur dari Pedro harus kembali ke perusahaan walau tidak utuh.”
Edgar ber-oh ria. “Aku akan menyuruh Dedrick untuk melakukan sesuatu nantinya kalau begitu Pa.”
“Bagaimana dengan Hazel? Kau sudah menjalankan aksimu?”
Edgar bungkam kemudian menggeleng samar. “Belakangan ini aku sibuk, Pa. Terlebih dengan permasalahan baru-baru ini, tidak sempat menyiksanya.”
Raut wajah Aditama berubah sangat kecewa. “Tidak perlu menyiksanya, langsung dihabisi juga lebih bagus.”
“Tidak, Pa. Jika langsung dihabisi maka tidak ada yang seru. Harus secara perlahan-lahan.”
Aditama kemudian menatap Putra angkatnya dengan curiga, matanya menyipit samar. “Apa kau yakin bisa mengatasinya? Sudah banyak waktu yang ku berikan padamu, Edgar.”
“Masih belum cukup, Pa. Papa tidak usah khawatir, semua akan beres sesuai dengan keinginan Papa.”
Aditama menghela napas. “Baiklah, Papa harap masalah Hazel teratasi segera juga.”
Edgar tersenyum samar dan mengangguk. “Terima kasih, Pa.”
“Adikmu mencarimu, kenapa kau tidak mengatakan apapun padanya?”
“Pasti dia hanya ingin dibelikan beberapa barang mewah, nanti aku akan bicara pada Eliana,” jawab Edgar ngasal.
“Sebelum kau kembali, nanti temui Eliana.”
Edgar mengangguk acuh tak acuh, “Akan aku usahakan, Pa. Kalau gitu aku pergi dulu.”
Aditama mengangguk, pria tua itu melirik ponselnya. “Pedro sudah berada di ruang bawah tanah perusahaan.”
“Baik, Pa.”
Edgar segera beranjak dan meninggalkan ruang kerja Aditama. Tanpa membuang banyak waktu, ia kembali melesat dengan mobilnya menuju perusahaan Harrison.