Hazel merasa malu sekali, tadi lagi ia menangis lagi di depan Edgar. Kenapa ia bisa seperti itu?!
Bagaimana dengan wajahnya tadi pagi? Apakah jelek?
Sepertinya sangat jelek, mengingat matanya kini membengkak.
"Nona, anda sudah bangun?"
Hazel terkesiap, kepalanya langsung menoleh ke arah pintu kamarnya. Di luar, Edgar menunggu jawabannya.
"S-sudah," jawabnya terbata-bata.
"Ayo turun, Nona. Anda harus makan, sekarang sudah sore. Anda belum makan siang karena tidur seharian."
Hazel langsung menoleh menatap jam di nakas. Benar saja, sekarang sudah pukul tiga sore.
"Baiklah. Sebentar lagi akan akan turun, Ed!"
"Baik, kalau begitu saya akan memanaskan makanan untuk anda."
Hazel menatap pintu kamarnya yang tertutup rapat. Ia bernapas lega kala Edgar sudah tidak ada lagi di depan pintu kamarnya.
Tidak ingin membuat Edgar menunggu lama, Hazel melompat dari kasur dan masuk ke dalam kamar mandi. Hazel membasuh wajahnya cepat dan mengeringkannya dengan tisu. Setelah itu, ia berjalan menuju meja rias untuk mengambil ikat rambut.
Mata Hazelnya menatap ke arah cermin, matanya bengkak dan tampak sangat buruk. Hazel menghela napas berat, selalu saja seperti ini.
Malas memikirkan mata bengkaknya, Hazel mengayunkan kakinya meninggalkan kamarnya.
Di bawah, Edgar terlihat baru saja mengeluarkan lasagna dari microwave. Lelaki itu menyajikan sepiring lasagna di meja lengkap dengan air putih.
"Terima kasih, Ed."
Edgar mengangguk ringan. Pria itu duduk di kursi yang ada di depan Hazel.
"Kau tidak makan?" tanya Hazel mengurungkan niatnya memasukkan makanannya ke mulut.
"Sudah."
"Oh baiklah."
Hazel memakan lasagna dengan cepat. Ia tidak ingin berlama-lama di ruang makan, terlebih Edgar sejak tadi menatap dirinya. Membuatnya salah tingkah saja!
Uhuk! Uhuk! Uhuk!
Hazel tersedak hebat, dengan cepat ia meraih gelasnya dan meneguk air. Bukannya membaik, ia malah semakin tersedak dan menyemburkan air di dalam mulutnya ke depan.
Edgar sontak berdiri terkena siraman Hazel. Pria itu berjalan mendekati Hazel dan menepuk dan mengelus punggungnya pelan.
Kala batuk Hazel reda, Edgar meraih gelas dan mengisinya dengan air putih lagi kemudian mengangsurkan gelas itu pada Hazel.
Hazel meneguk air itu dengan cepat. Setelah puas ia menatap Edgar dengan malu. "Maaf, Ed. Wajahmu jadi kena," ringis gadis itu.
Hazel meraih tisu dan mengelap wajah Edgar yang masih basah bekas siraman mulutnya. Bahkan tadi, Edgar lebih mementingkan diri ia dari pada mengelap wajahnya sendiri!
"Permisi sebentar, Nona." Edgar menepis tangan Hazel lembut dan berjalan ke wastafel. Pria itu mencuci wajahnya sendiri dengan air yang mengalir.
Melihat itu, Hazel tambah meringis. Apakah air bekasan mulutnya itu bau? Ah, semoga saja tidak.
Ketika sudah selesai, Edgar kembali duduk di kursinya semula. Pria itu mengambil beberapa lembar tisu dan mengelap meja yang basah.
"Makanan anda ikut basah," imbuh Edgar, menunjuk piring lasagna Hazel yang masih ada isinya.
"Em, aku akan menghabiskannya," balas Haz canggung.
Edgar mengernyit samar, ia merasa tak yakin dengan ucapan Hazel itu. Lasagna yang sudah basah, apakah masih layak untuk dimakan? Terlebih basah karena semburan air minum.
"Benarkah, Nona."
"Em, iya?" Nada suara Hazel sendiri terdengar tidak yakin. Mengundang kekehan Edgar.
"Saya akan mengambil satu porsi lagi. Tadi saya membuat lasagna-nya banyak," kata Edgar.
"Eh tidak usah!" sergah Hazel cepat saat Edgar mengambil alih piringnya.
"Ini sudah tidak layak dimakan."
"Baiklah, tapi piring ini biar aku cuci dulu. Kau ambilkan saja lasagna-nya."
Edgar mengangguk patuh. Pria itu menuju lemari makan dan mengeluarkan kotak kaca piring berbentuk persegi panjang. Di dalamnya masih tersisa tiga potongan lasagna lagi.
Hazel membersihkan kekacauannya. Ia membuang sisa makanannya ke tempat sampah dah segera mencuci piringnya. Saat ia kembali ke meja makan, Edgar ternyata sudah menata piring baru dengan makanan baru di meja makan.
Edgar mengalihkan fokusnya pada ponselnya yang disaku celana. Pria itu mengeluarkan ponselnya dan memeriksa pesan yang masuk. Rahangnya mengeras samar, Edgar menormalkan ekspresinya dan kembali menatap Hazel. "Nikmati makanan anda. Saya ke kamar dulu."
"Ok, thanks Ed."
"My pleasure, Miss," jawab Edgar cepat. Pria itu mengayunkan kakinya meninggalkan ruang makan dan menuju kamarnya di atas.
Setelah kepergian Edgar, barulah Hazel bisa makan dengan nyaman. Beberapa menit kemudian ia telah selesai, Hazel langsung mencuci piringnya lagi.
Hazel mengelap tangannya yang basah dengan kain lap khusus tangan. Rasanya ia masih ingin mengunyah saat ini. Kakinya berjalan menuju kulkas, dan tatapannya jatuh pada buah strawberry di kotak.
Senyum Hazel mengembang, tanpa ragu ia meraih kotak itu dan membawanya menuju ruang keluarga. Sore-sore seperti enaknya nonton televisi.
Baru saja Hazel menyalakan televisi, chanel yang pertama kali ia lihat sedang menayangkan sebuah berita. Berita pemberitahuan bahwa hingga saat ini Jacob Similian sang pianis belum juga sadar dari komanya. Banyak penggemar yang khawatir tentang kondisi Jacob.
Bahkan ada orang yang dengan jahatnya memberi komentar di salah satu postingan entertaiment dengan menebak akhir dari semua ini yaitu Jacob meninggal. Benar-benar komentar yang jahat!
Hazel menghela napas. Yang bisa ia lihat dari televisi adalah bentuk luar rumah sakit, karena memang para wartawan tidak diperbolehkan meliput di dalam.
Sudah dua hari Hazel lupa dengan Jacob. Sebenarnya tunangan macam apa dirinya ini?!
Hazel menggelengkan kepalanya, ia bukan bermaksud untuk lupa!
“Jac, kapan kau akan sadar?” gumam Hazel menatap televisi dengan tatapan sendu.
Ingatan Hazel kembali melayang pada saat ia bertemu Jacob pertama kali saat liburan bersama Saka dan Laila. Berlanjut pada ingatan keduanya bertemu beberapa kali hingga akhirny amenjadi dekat dan Jacob melamarnya.
Mengingat kenangan manis itu, membuatnya ulu hatinya merasakan nyeri. Kapan lagi mereka bisa jalan berdua dan melangsungkan pernikahan?
Pada tanggal pernikahan sudah diatur, tapi sekarang diundur. Parahnya lagi ia masih harus mengasingkan diri entah sampai kapan.
Ya Tuhan, percepatlah para polisi menemukan pelaku teror dan pembunuh itu. Dan berilah kesembuhan pada Jacob. –batin Hazel berdoa.
Hazel menukar chanel televisi, mencari-cari kartun favoritnya. Dikala galau seperti ini, ada baiknya menonton hal-hal yang lucu agar terhindar dari stress dan kesedihan pun hilang.
***
Di kamarnya, Edgar membuka laptopnya dengan tergesa-gesa. Ia baru ingat jika Dedrick tadi mengirimkan sesuatu yang penting padanya.
Edgar membuka email rahasianya dan langsung menekan email Dedrick yang berada paling atas. Mata tajamnya membaca tiap untaian kata di dalam dokumen tersebut.
Sial, seseorang sudah berkhianat pada perusahaannya.
Dengan cepat Edgar mengambil ponselnya dan mendial nomor Dedrick.
“Halo? Bagaimana si Pedro bisa menggelapkan ratusan juta dollar seperti itu? Sekarang apa yang sedang dilakukan oleh Papa?”
“Tenang, Tuan. Padahal anda bisa membaca laporan rinci yang saya kirimkan,” sahut Dedrick tenang.
“Terlalu banyak halaman di dokumen itu. kau ceritakan kronologinya sekarang, dan suruh Ariel, Ethan dan yang lainnya mencari keberadaan Pedro!”
“Kami sudah mulai mencari keberadaannya Tuan, untuk saat ini baru keluarga Pedro yang kami tahan. Kronologinya, seperti yang anda ketahui beberapa waktu lalu Pedro meminta agar urusan senjata yang dikirim ke Las Vegas dia yang mengatur. Namun dibalik itu, ternyata dia pergi ke Perusahaan di Las Vegas dan menyamar jadi anda. Pedro melarikan uang dan beberapa kilogram emas batangan. Semua benda yang Pedro ambil sudah saya tulis di laporan, Tuan.”
Rahang Edgar mengeras. Pantas saja tempo lalu ia merasa ada yang tidak beres dengan laporan yang diberikan Pedro. “Cari b******n itu sampai dapat! Untuk sekarang biarkan saja keluarganya ditahan. Bagaimana bisa dia menyamar sebagai diriku?!” marah Edgar.
"Dia memakai topeng silikon, Tuan! Dan dia itu membuat wajahnya jadi mirip dengan anda. Dia pasti menyewa seorang make-up artist yang mahal," balas Dedrick menggebu-gebu.
"Dasar sialan!" maki Edgar. "Aku ingin kau cari dia sampai dapat dan katakan padaku jika kau sudah menemukannya. Aku sendiri yang akan menghabiskan dirinya dengan tanganku.
“Baik, Tuan. Em, apakah anda akan ke London besok?”
Edgar menarik napas pelan. Ia tidak yakin bisa pergi ke London walau hanya satu hari. “Aku tidak tahu. Aku tidak bisa meninggalkan Hazel sendiri.”
“Dia pasti tidak akan kabur, Tuan. Tinggalkan saja pesan bahwa dia harus tetap berada di rumah dan tidak jalan keluar rumah. Semua pasti akan aman, Tuan,” usul Dedrick.
“Aku tidak bisa memastikannya. Sekarang, apa yang sedang dilakukan Papa? Pedro sudah mencuri begitu banyak, pasti dia juga tidak tenang. Aku juga curiga bahwa ada yang membantu Pedro dalam kasus ini.”
“Saya pun berpikir hal yang sama. Saya juga curiga bahwa Pedro memiliki tangan kanan yang lain. Untuk saat ini Tuan Aditama sangat marah. Karena anda sendiri yang menyetujui Pedro untuk melakukan Tugas ke Las Vegas, Tuan Aditama jadi tidak bisa melampiaskan amarahnya. Dia hanya bisa memendam, Tuan.”
Edgar menghela napas gusar. Ini semua salahnya, kenapa ia bodoh sekali mempercayai Pedro?! Senjata yang dibawa Pedro juga bukan main-main. Harga jualnya juga sangat tinggi.
“Aku akan menghubungi Papa nanti. Sekarang kau lakukan apa yang ku suruh tadi saja Dedrick.”
“Baik, Tuan. Saya berharap anda bisa ke London sih, siapa tahu anda ingin menyiksa putri Pedro. Putrinya sudah berada di ruang bawah tanah perusahaan,” tutur Dedrick santai.
“Aku sedang tidak ingin main-main.”
Sontak saja ucapan Edgar itu membuat Dedrick menganga. Tidak menyangka jika sang Tuan memiliki titik kebosanan dalam menyiksa atau membunuh orang.
“Baiklah kalau begitu, Tuan. Untuk perkembangan selanjutnya nanti akan saya kabari lagi,” pungkas Dedrick.
“Ada lagi yang ingin anda bicarakan, Tuan?” lanjutnya.
“Pokoknya kau cari dia dulu sampai dapat,” pesan Edgar dengan tegas.
“Siap, Tuan.”
Tut!
Edgar melempar ponselnya asal ke atas meja kerjanya. Tangannya terkepal kuat.
Edgar paling benci seorang pengkhianat, dan pengkhianat itu cocok untuk diberi hukuman mati. Ia tidak akan melepaskan Pedro. Untuk Aditama, Edgar merasa Pria tua itu juga akan bergerak mencari tahu semuanya dan termasuk mencari Pedro.