Anin benci tinggal di rumah ini, tetapi merasa harus. Meski di sini bagai neraka, Anin rela terbakar asal Mama Tika dan papa sama hangusnya. Sudah berlangsung selama bertahun-tahun sejak ibu tutup usia, Anin ikut tinggal di rumah baru papa yang di kota.
Kalian tahu?
Wanita yang Anin sebut Mama Tika itu salah satu penyebab ketiadaan ibunya, bagi Anin. Ah, malas sebut mama. Si Tika sialan guguk taik itu dulunya adalah suster yang merawat ibu. Ibu memang sakit keras kala itu. Tapi ... apa tidak bisa menunggu sampai setidaknya ibu meninggal dengan tenang dulu baru bercinta dengan papa? Alih-alih tergesa bermain api saat ibu masih berharap sehat, lalu si Tika sialan memberi tahu ibu yang sakit itu bahwa dia sedang mengandung, bahwa hubungannya dengan papa sudah dalam, bahwa ... hati Anin sesak. Apa kabar ibu dulu, ya? Pantas bila esoknya ibu dinyatakan tutup usia. Semangatnya untuk sembuh padam, bahkan lilin harapannya leleh sampai bagian yang paling bawah.
Dan ... ini yang makin membuat Anin benci sekali kepada Tika guguk sialan, juga marah kepada papa. Mereka menikah saat kuburan ibu belum kering dan air mata duka Anin masih sering bercucuran.
Sayang, Anin masih remaja kala itu. Hingga di sinilah dia sekarang, di rumah papa yang beliau dirikan untuk kenyamanan pembunuh ibu. Anin benci, bahkan kepada papa sekali pun. Jadi, dia harus di sini. Membuat mereka tidak nyaman, right?
Walau Anin masih suka kabur-kaburan ke konter bila dirinya merasa tak tahan. Konter adalah tempat pelarian yang berdiri berbahandasarkan pacuan semangat dari Jayyan.
Benar.
Bahkan ada uang Jayyan di konter itu hasil ngeseleb di Insta, tetapi Jayyan juga terkenal karena Anindea. Kontennya penuh plus viral semenjak ada dirinya.
Oh, ya, tadinya Anin sempat belajar ikhlas sesuai apa yang Jayyan nasihati. Atau setidaknya, untuk fokus pada kehidupan sendiri. Demi diri sendiri, demi Anin yang Jayyan cintai.
Hah!
Apalah itu.
Jayyan bahkan menjadi seperti papa. Lebih buruk dari sosok mantan Anin dulu yang dia sebut sama berengseknya. Jayyan sangat buruk malah. Karena dari semua orang, harusnya Jayyan yang paling menghindari peran seperti papa Anin.
Jayyan, kan, tahu luka Anin. Dia tahu ceritanya dengan detail daripada siapa pun di Suka Maju. Makanya itu ... Anin tidak bisa melepaskannya untuk kemudian fokus pada kebahagiaan diri sendiri sekarang. Setelah Jayyan buat patah satu-satunya sayap yang tersisa agar Anin bisa terbang meninggalkan luka lama.
Tidak bisa.
Darahnya mendidih, dadanya kembang-kempis, dan tangan Anin mengepal, sedang mata tajam walau berlinangan air yang Anin haramkan terjun basahi pipi, menatap foto kebersamaannya dengan Jayyan di tengah kobaran api.
Jayyan oh Jayyan.
Dia berhasil menghancurkan kepercayaan Anin yang masih ada setitik terhadap lelaki, cinta, dan harapan bahwa tidak semua orang seberengsek papa bersama selirnya.
Dia berhasil membuat hati Anin yang sembuh sebagian kini membusuk.
Dia berhasil tidak menyisakan ruang untuk Anin punya asa yang baru tentang asmara.
Yeah ... Anin bahkan trust issue pol rasanya.
Benar-benar, ya?
"Selamat, Jay." Lirih suara Anin berembus. "Kamu dengan sempurna menjadi sosok seperti papa aku."
Api itu melahap habis foto Jayyan yang sebelumnya terpajang di kamar Anin sebagai dekorasi kecintaan.
Detik di mana lahar panas yang Anin tahan-tahan di mata, kini terjun juga sekali pun dirinya haramkan. But, sekali itu saja, tanpa isakan, Anin gegas memupuskan.
Jadi, di sini sekarang dia berada. Di hadapan sosok kakak nomor 9 dari sang mantan yang bernama Jayyan.
"Pernikahan mereka udah dekat," kata Anin.
Seril menyuap sup iga dengan tenang. Sedang di warung sup iga sisi jalan, seporsinya murah—lima belas atau dua puluh ribu gitu tadi. Anin yang minta ketemu di sini.
Dari Suka Maju yang menghabiskan waktu sekitar satu jam lebih, Seril jabani. Itu pun segera setelah rapat. Ya, soalnya Anin sampai kasih foto jalanan yang ramai kendaraan. Pikiran Seril sudah lari ke titik di mana Anindea akan rebahan di jalan itu, lalu membiarkan truk menggilas tubuhnya.
Siapa yang tahu, kan? Namanya orang sedang patah hati gagal nikah, ditinggal nikah pula, dan karena ada wanita lain yang hamil anak Jayyan. Tapi syukurlah tidak seperti itu, Anin kirim foto jalanan karena sedang memberi tahu lokasi tepatnya.
Well, Anin menunggu di sini lebih dari satu jam perjalanan Seril.
"Abang kapan lamar aku ke rumah?"
Ehm.
Seril teguk air minumnya. "Satu bulan setelah pernikahan Jayyan saja, ya? Menunggu gosip buruk tentang kita reda dulu."
"Gosip buruk?"
Seril menyeka mulutnya dengan tisu, gerakannya sangat ningrat. Anin memperhatikan itu.
"Di Suka Maju sedang panas bicara soal saya yang akan menikahi kamu. Padahal setahu mereka, kita calon ipar. Intinya, posisi terbalik. Jadi Jayyan yang terkesan sebagai korban, lalu dia balas dengan menikahi sepupumu. Saya, sih, tidak masalah, tapi bagaimana dengan kamu?"
"Wait." Anin mencerna. "Kok, lucu?"
"Momennya ngepasin."
"Tapi, toh, pas anak Jayyan berojol, entar juga ketahuan siapa yang bagong di sini." Mulut Anin memang sulit untuk jauh dari berkata kasar, soalnya sejak remaja lingkungannya penuh dengan guguk, pig, and sayton. Ya, pahamlah.
Bang Seril tidak menggubris soal dugong yang Anin maksud adalah Jayyan bersama Viska.
Ini yang Anin perhitungkan semalaman kala itu. Dari dua belas bersaudara, Bang Seril yang paling acuh tak acuh, sekali pun Anin sebut Jayyan dengan istilah jancuk. Uh, maaf. Kasar, kan? Pokoknya, Bang Seril tercocok.
Paling negur dikit, tetapi habis itu, ya, sudah. Karena paham juga bahwa di sini Jayyan memang sebagong itu.
"Kamu ...."
Yang sejak tadi sama-sama geming. Anin sibuk dengan isi kepala sambil minum es kelapa, lalu Bang Seril sibuk menunggu makanannya terjun ke lambung—mungkin.
"Kenapa nggak minta Zul aja?"
***
Zulkidin Kailan Hadiningrat. Itu namanya, abang Citra nomor 8.
Dulu ....
"Anin ...."
Waktu masih remaja, Anin ingat dirinya masih SMP. Bang Zul SMA.
"Iya, Bang?"
Rambut Anin dikepang dua saat itu, ada jepit bunga yang dibelinya di mang-mang jualan—yang suka mangkal di dekat sekolahan. Dan Anin adalah kembang desa Suka Maju, semua warga mengakui itu. Anak-anak Bapak Ningrat banyak yang sering melakukan catcalling padanya atau paling tidak, ya, kerlingan mata disertai senyum salah tingkah.
Anin ingat sekali.
Bang Zul yang punya keberanian sebesar harapan orang tua atas masa depan anaknya itu mendekati Anin.
Dia bilang, "Anu, Nin ...." Sambil mengusap tengkuk. "A-Abang tresno ...." Terputus-putus, tersenyum-senyum. Senyumnya nular pula, Anin juga mesem-mesem. Apalagi saat dilanjut bilang, "Sama Anin."
Uh!
Dulu.
"Pacar ... jadi pacar Abang ... anu. Mau?"
Ya, gitu, deh.
Bang Zul pun sukses membuat hari-hari para bujang Suka Maju menjadi gersang. Dia mematahkan puluhan hati anak cowok di desa itu. Anin mengangguk soalnya, dia mau.
Bang Zul sampai meninju udara sambil bilang, "Yes!"
Cinta pertama Anindea, kekasih pertama juga, dan patah hati pertamanya.
Yeah, sudah berlalu. Kini Anin berdecak.
"Sayangnya, aku bukan tipe yang suka baca buku lama, Bang." Dalam arti, balikan sama mantan itu bukan gayanya. Meski cuma balikan buat nikah kontrak. "Lagi pula menurut aku, Bang Seril udah yang paling pas."
Di warung sup iga berspanduk hijau, mereka saling tatap.
"Kan, udah aku bilang sebelumnya, nggak, sih? Soal kondisi Abang dan aku itu kalau silih bantu jadinya mutualisme. Kalo aku minta ke Bang Zul, yang ada dia ketawa dan ngejadiin ini sebagai bahan bully sampe kulit mengeriput nanti. Ih, amit-amit. Udah bener Bang Seril ke mana-mana."
Dan lagi ... malulah kalau minta tolong ke mantan yang Anin putuskan. Lebih baik minta dinikahi sama Bang Lai, meski duda anak dua.
Laim Prawiryo Hadiningrat, kakak Citra yang nomor 3. Bos beras, punya penggilingan padi sebagai ladang usaha. Tapi umurnya jauh, sih, kalau dari Anin. Kan, kalau sama Bang Seril cuma beda empat tahun. Anin 24, Bang Seril 28.
Cocok.
Secocok rubah untuk gambaran seorang Anindea di mata Seril. Dia pun menyesap es teh manisnya.
Hening lagi.
"Oh, ya, gimana kalo kita mulai bahas tentang isi kontraknya? Sementara aku ketik di hape dulu aja, nanti biar aku yang print dan kita ketemu lagi buat pengesahan."
"Boleh."
Wait, Anin benahkan kucirannya dulu. Berasa turun. Dia cepol ulang tinggi-tinggi. Agak gerah di sini.
Nah, sudah.
Seril stay cool di bangkunya, menatap Anin yang rempong, ada saja gebrakannya. Sampai tidak sengaja menyenggol kelapalah, tasnya jatuhlah, belum saja kejedut sudut meja.
"Nih, ya ... pertama. Mau aturan Abang dulu atau aku?"
"Silakan ladies first."
Oke, sip.
"Poin satu, aku mau Abang bersikap layaknya suami cinta istri bahkan sekadar dari cara Abang menatap kalau-kalau kita lagi di sekitar Jayyan dan keluargaku. Jadi, tatap aku kayak Abang natap Mbak Mprit. Oh, ya, ayo coba dulu, simulasi."
"Mprit?" Kening Seril sampai berkerut dalam.
"Iya. Prita, kan, namanya? Apa salah?"
"Itu yang benar, bukan Mprit."
Astaga.
Anin pun meniup poninya sendiri, mode jengkel.
"Ya udah, ayo, coba dulu. Tatap aku kayak Abang lagi natap Mbak Prita. Takutnya nggak bisa, gimana? Kita bahkan harus latihan kalau sampai Abang nggak bisa."
Seril lantas melakukannya. Menatap wanita yang dia cintai. Adalah sorotan paling teduh yang dia punya, juga tatapan memuja.
W-wow.
"Cukup." Anin berdeham. Gerah, ih!
"Udah, Bang. Lulus!" imbuhnya, karena merasa tatapan Bang Seril seperti masih penuh cinta.
Seril pun mengerling menatap sudut lain warung sup iga.
"Lanjut poin dua, ya?"
"Simulasinya tidak sekalian lakukan skinship selayaknya suami cinta istri?"
Eh?
"Boleh." Boleh juga. Benar, harus dicoba, diuji, dan ... "Ayo, monggo dilakuin."
Bang Seril mendengkus.
Idih, idih!
"Poin dua—" KYAAA!
Anin menjerit dalam hati, sedang mata membeliak lebar, detik di mana Bang Seril meraih tangan Anin, menggenggamnya, lalu membawa ke dekat bibir, dikecup-kecup, juga tatapannya ....
Y-Ya Allah.
"Lulus?"
Ma-manusia satu ini lihai juga. Wah!
"Cumlaude," kata Anin. Lulus dengan peraihan nilai tinggi karena bisa sampai menyerupai kelakuan buaya darat.
Bang Seril pun melepaskan tangan Anin dan dia ambil tisu untuk kemudian ... GUGUKLAH, YAK! Lap-lap mulut, juga tangan. Apa-apaan itu, hei?!
Anin mencibir. Ya sudah, dia lakukan hal serupa, bahkan Anin beranjak buat cuci tangan pakai sabun di wastafel warung. Tak lupa bilang, "Takut banget rabies. Tapi tadi nggak kena air liurnya, sih."
Beuh!
Tatapan Bang Seril auto tajam bak tombak runcing panglima perang.
"Lanjut, ya? Poin dua." Anin tak mengindahkan. "Selain hal-hal yang diperlukan untuk poin satu, selebihnya no skinship. Bahkan kalo bisa kita boboknya pisah kamar, Bang."
"Ada Citra di rumah saya."
Eh, iya.
Dan kalau menikah dengan Bang Seril ... artinya Anin bobok di rumah bapak kepala desa Suka Maju, ya, kan? Bersama adik bungsu beliau, Citrania Hadiningrat, yang adalah sobat kecil Anin.
"Pisah tempat boboknya aja kalo gitu, tapi tetep sekamar. Aku di kasur, Abang di sofa atau lantai terserah."
Astaga, mendelik lagi cowok itu.
Biasa aja napa!
"Kalo sekasur, gulingnya banyakin. Aku nggak mau pas tidur Abang modus biar bisa pegang-pegang badan aku."
Bang Seril berdecih.
Yeu!
"Intinya, ya, Bang ... nggak ada seks." Ini Anin membisik, agak condong juga biar lebih dekat dan suaranya terdengar oleh Bang Seril. "Abang sama Mbak Mprit aja kalo sang—aw!"
"Mulutmu."
Kaki Anin ditendang, coba! Di kolong meja. Ih, belum apa-apa sudah KDRT. Meski nendangnya pelan, sih. Cuma nyenggol dengan ujung sepatu. Anin kaget saja gitu. Well, mau bilang sange tadi. Ehm! Maaf.
"Iya, itulah, ya. Poin tiga, nggak boleh mencampuri urusan masing-masing selain karena butuh buat peran kita. Jadi, Abang boleh, deh, ngapelin Mbak Mprit tanpa izin-izin dulu sama aku. Bebas asal sopan dan nggak ketahuan sama yang lain. Ini keuntungan yang Abang dapat, right?" Anin senyum. "Tapi Abang juga jangan protes kalo aku pergi-pergi nggak izin, atau lainnya. Ngerti, kan?"
Bang Seril menatap datar.
Capek, deh. Berasa ngomong sama tembok.
"Yang penting kita saling jaga reputasi satu sama lain. Iya, nggak?"
"Lanjut."
"Terakhir, cerai setelah jalan empat tahun. Mbak Mprit nggak masalah, kan, nunggu Abang selama itu? Belum keburu tua, kan? Duh, maaf, maaf. Nggak usah serem gitulah tatapannya."
"Kondisikan mulutmu."
"Nggih, Kakang Prabu." Anin pun ketik poin terakhirnya yang tadi. Well ... lupa satu hal. "Kalian boleh skinship, tapi jangan sampai dibikin hamil selagi kita belum resmi cerai."
"Mulut."
Ck! Dari tadi mulut-mulut doang yang di-notice. Kenapa, sih? Mau kokop? Anin pun mengulum bibirnya rapat-rapat, tak lupa dia usap dengan tisu dulu barangkali ternyata ada remahan nasi di sana makanya disebut mulut-mulut terus.
Oke, done.
"Silakan Yang Mulia Bapak Kepala Desa Suka Maju untuk menyebutkan empat poin aturan—"
"Satu saja."
Wow.
"Bang Seril emang yang paling murah hati," timpal Anin. Dikasih jantung, maunya kuku. Masya Allah, manusia langka one and only. "Jadi?"
Apa ini isinya?
Anin siap mengetik.
Dan katanya, "Jangan jatuh cinta."
***