Jangan jatuh cinta?
Anin lantas berdecih ketika mengingat obrolan kemarin di warung sup iga.
Siapa juga yang mau jatuh cinta? Apalagi dengan kondisi hati Anin yang sudah hancur begini. Anin kapok, kok. Tenang saja. Dia tidak akan mengizinkan perasaan penuh risiko itu hadir di hatinya. Anin tak mau lagi terluka. Jadi, jatuh cinta adalah hal yang telah Anin blacklist.
"Mbak, pulsa dong yang sepuluh ribu."
"Boleh, Bang. Tulis aja nomornya, ya," ucap Beti, dia menyelipkan helai rambut ke belakang telinga.
Anin sudah terbiasa dengan kecentilan karyawan wanitanya itu. Beti selalu begini tiap kali—
"Ya Tuhan ... tampan kalilah dia."
Seperti itu.
Setiap kali ada customer tampan, Beti selalu kecentilan.
"Mbak Anin, sudahlah kau jangan tambah-tambah karyawan betina. Sainganku bertambah nanti."
Lagi, selalu begitu. "Siapa juga yang mau nambah karyawan, Bet? Belum ada duit buat ngegajinya, tahu!"
"Fajar. Kau bilang Mbak Anin open rekrutmen itu."
Dan Fajar tertawa. Sadari itu, Beti lalu mengambil tasnya, dia hantam Fajar dengan tas yang selalu berat dijinjing ringan dipikul.
"Sakit, Bet! Dalemnya apa, sih, itu tas?"
"Batu. Sengaja selalu kubawa buat bogem kau!"
"Kerja, woi, kerja! Atau gajinya gue sunat entar." Anin sedang mengecek laporan keuangan kemarin dan kemarinnya lagi selama dia tidak bisa datang ke konter.
"Kerja, Bet, kerja!" Ini Fajar.
"Kugibeng lagi kau, Jar. Mau?"
Anin mendengkus. Mereka itu benar-benar! Tapi kalau mereka sama-sama tidak masuk sebab sakit yang pernah kompakan, Anin kesepian di sini ... dan kerepotan juga. Kalau dua-duanya sakit, kan, apa boleh buat?
"Oh, iya, Jar. Rekapan stok yang harus dibelanjain mana, ya?"
"Di file stok, Mbak. Sheet empat. Lupa belum bilang, abis diperbarui soalnya udah ganti bulan."
"Oke, thanks." Anin pun melihat-lihat data stok.
"Penjualan paling tinggi yang udah dikasih stabilo hijau, Mbak," imbuh Fajar. "Yang merah itu yang kurang bagus."
"Dikasih keterangan di sininya, kan?"
"Iya, dikasih, Mbak."
"Oke."
Beti juga sudah kembali ke tempat duduknya depan PC, dia mengurus penjualan di toko online. Langsung gesit berdiri di depan etalase saat customer tampan yang datang—agak geser dikit dari meja komputernya, padahal biasanya tetap duduk di tempat, lalu menjulurkan tangan untuk mengambil buku catatan nomor ponsel pelanggann. Tapi tadi saat melayani customer tampan, Beti bersikap laksana resepsionis hotel.
Jobdesk Beti memang sebagai customer service offline dan online—melayani pembeli, juga mengurus media sosial dan market place.
Sementara Fajar, jobdesk lainnya adalah membungkus paket hingga ketika mamang posnya datang menjemput, paket tersebut sudah siap angkut. Dia juga bertanggung jawab atas stok barang rill. Katakanlah bagian packing dan gudang.
Rangkap job memang mereka itu. Anin sesekali membantu kalau sedang mode rajin.
Sebetulnya soal karyawan baru, Fajar memang mengusulkan hal itu. Mulai merasa overjob. Namun, Anin perhitungkan keuangannya masih belum menutupi untuk menambah personil. Jadi, dia naikkan gaji mereka saja sebagai suntikan semangat. Kalau cuma naik gaji masih bisa.
Dan Beti, sih, asal jangan cewek katanya. Dia mau jadi karyawan paling cantik di konter Anin. Kebanting sama kecantikan Anin saja sudah cukup, jadi jangan ada saingan cantik yang lain.
Duh, ada-ada saja.
"Hape yang biasa buat nge-live mana?" Nah, ini tugas Anin selain jaga kasir.
"Bet, hape, Bet!"
"Berisik kau, Jar." Sambil diserahkannya ponsel tersebut kepada bu bos.
Anin lekas mengatur pencahayaan, lalu pakai lipstik dulu biar tidak usah pakai efek tebal-tebal, diaturnya posisi ponsel di tripod.
Begitu Anin nge-live, baik Fajar dan Beti pun menonton live-nya dengan volume minus. Merekanya, sih, tetap sibuk kerja.
Inilah kegiatan Anindea dalam mencari pundi-pundi dunia. Meski sudah mandiri, tetapi menguras harta papa tetap wajib baginya—Anin tidak rida kalau semua kepunyaan papa dinikmati oleh Mama Tika.
Eh?
"Halo, Kak Seril ... selamat bergabung!"
Akunnya bernama Seril123, tetapi itu ... masa, sih, akun TikTik-nya Bapak Kades Suka Maju?
***
"Cit."
"Oit."
Anin sudah pulang. Dia sudah mandi dan makan. Sedang rebahan di kamar yang penuh jejak lakban di dinding bekas menempelkan foto-foto Jayyan.
"Abang lo main TT?"
"Hah? Tete—wait, abang gue yang mana? Langsung aja sebut merek."
Ada sebelas soalnya. Meleset dikit jadi fitnah. Dan ucapan Anin di pendengaran Citra adalah pernyataan.
"Yang jadi kepala desalah, siapa lagi?"
"Serius, Nin, abang gue yang itu kayak gitu? Nggak nunggu nikah dulu?"
"Hah?"
Kok?
"Tete—sorry—lo dimainin Abang gue, kan?"
Anin sampai terduduk.
"TT TikTik, Ncit! Lo kira TT apa, weh? TT gue? Parah!"
"Oalah ... sampe kaget, lho, gue. Hampir mau gue labrak ini Bang Seril, Nin. Udah otewe buka pintu kamarnya padahal. Bisa-bisanya dia jadi kepala desa semesum itu."
"Maksudnya?"
Bukan, yang bilang 'maksudnya' itu bukan Anin. Dia sendiri bisa mendengar suara itu. Bariton di setelah suara pintu terbuka. Pasti suara pak kades di seberang telepon sana.
"Abang main TT?"
Anin memilih diam. Citra yang bicara.
"Kata Anin, Abang main TT. Emang iya?"
Mendengarkan.
"Bang—"
"Bicara yang benar, Cit."
"TikTik! Kasih paham, Cit! Kayaknya dia salah paham macam kamu." Akhirnya, Anin bicara. "Nama akunnya Seril134 bukan, gitu?"
"Ya. Ada masalah?"
Langsung badot suara Citra. Ehm ... suara pria. Bang Seril merebut ponsel Citra sepertinya.
"Oh ... nggak, sih. Kaget aja gitu seorang kepala desa mainin TT."
"Saya masih manusia."
"Nggih." Anin lalu teringat satu hal. "Oh, iya. Chat aku, kok, nggak dibaca, Bang?"
"Belum sempat pegang hape."
Kaku. Kaku pol!
"Ah, Sayang mah gitu. Buka duluuu!" Dengan nada manja. Plis, peka! Ini kode. Kan, di sana ada Citra. Yang tak boleh tahu bahwa pernikahan Anin dengan Bang Seril kelak hanya kontrak belaka.
"Cie, cie ... sayang." Kembali lagi jadi suara Citra.
Sialan.
Ponselnya langsung diberikan kepada Citra, huh? Bukannya balas ucapan Anin dulu dengan 'iya, Sayang' atau apa kek gitu.
"Dasar, ya, lo, Nin! Pas itu aja gue promosiin Bang Seril, ogah-ogahan. Tapi coba ini apa? Lo bahkan mau merit sama dia."
"Ya ... namanya juga makhluk dinamis, Cit. Nggak A, ya, B."
"Tapi lo terlalu mendadak, tahu, Nin. Bahkan di saat lo dan Bang Jay ada kasus. Ini agak mencurigakan dan lo tahu? Bang Seril sampe diinterogasi besar-besaran sama kakak-kakak kami. Sama gue juga, sih."
"Terus apa jawaban Bang Seril?"
"'Namanya juga cinta. Mumpung ada kesempatan. Dari lama sudah saya incar. Cuma kena salip terus, kan?' Gitu coba!"
Anin senyum. Kelas! Bang Seril buaya sesungguhnya kayaknya, ya?
"Tapi gue masih curiga sama lo, Nin. Sumpeh!" Citra masih lanjut bertutur. "Dengan motif apa lo nerima Bang Seril?"
"Ya, motif move on-lah. Ini pun setelah gue pikir-pikir. Abisnya abang lo nyanggupin buat bantu gue nata hati yang udah Jayyan obrak-abrik, Cit."
Sebetulnya Jayyan lebih tua dua tahun dari Anin, tetapi pernah satu komunitas dan saat itu sebutannya langsung pakai nama tanpa embel-embel abang.
"Okelah. Kalau gitu gue seneng dengernya. Semoga Bang Seril bisa jadi obat buat lo. Dan maaf atas kebusukan Bang Jayyan ...."
***
Esoknya, sesuai isi chat Anin yang Bang Seril balas 'ok' semalam. Yakni ketemuan untuk saling tanda tangan kontrak yang sudah Anin print, sudah dia tempel materai juga. Oh, perlu ada kuasa hukum tidak, ya? Saksi?
Persetanlah.
Yang penting tanda tangan dan materai, pikir Anin.
Bang Seril pun terlihat di luar. Dia turun dari Aerok. Motor dengan bodi bohay itu lumayan cocok dengan tubuh tinggi beliau. Tapi tumben tidak bawa mobil?
"Aku turut prihatin sama Mbak Prita."
Datang-datang Seril langsung disuguhi ucapan demikian. Wajarlah kalau alisnya sampai menukik laksana angry bird.
"Pasti tiap kalian ketemuan, cowoknya selalu datang terlambat. Nggak cuma soal ketemuan aja, sih ... buat nikah juga Mbak Mprit harus 'nunggu' dudanya dulu."
"Mana kertasnya?"
Diabaikan.
Gwaenchanaaa~
Anin tidak tersinggung. Dia pun lekas menyodorkan map dan pena. Isinya surat perjanjian.
Dibaca lagi oleh abang Citra nomor 9, lalu beliau menandatangani.
"Nggak usah distempel kepala desa."
Masih tidak digubris.
Ya, buat apa juga Seril bawa stempel kades untuk urusan setidak penting ini?
"Sudah. Ini saja?"
"Pesen dulu, Bang, ngobrol."
"Waktu saya nggak banyak."
"Oh, udah ditungguin sama malaikat apa? Malik, Ridwan?"
Agak sontoloyo memang dirinya ini. But, Anin tak peduli. Dia sedot jus jeruknya dengan tatapan membalas sorot datar Bang Seril.
Lalu akhirnya, bapak kepala desa Suka Maju itu pun melenggang. Beliau memesan minuman dan snack. Duduk lagi di bangku depan Anin. Di sini Anin pilih tempat paling strategis, dekat jendela dan AC. Oh, ya, ini di Kafe Kawan Duduk namanya.
"Ngobrol apa?"
"Denger-denger Bang Seril diinterogasi soal hubungan kita?"
"Iya."
"Coba cerita, Bang. Aku mau denger. Barangkali ada jawaban Abang yang salah."
"Kalau salah juga udah nggak bisa diapa-apain lagi."
"Bisalah diklarifikasi."
Bang Seril melepas jaketnya. Mungkin karena naik motor jadi pakai jaket. Tak penting, sih. But, look-nya oke banget. Bisa-bisanya bujang setampan ini kepincut perempuan semodel Mbak Prita. Menurut Anin, Bang Seril bahkan bisa mendapatkan spek cewek di atas itu. Tapi kembali lagi, penampilan luar hanyalah pebampilan. Buktinya Jayyan yang spek idol Korea saja malah menyakiti sebegini parah di hati Anin.
"Mau dengar cerita interogasi saya yang mana?"
"Yang bahasannya soal hubungan kita."
"Semuanya tentang itu."
"Semuanya? Wait. Berarti bukan diinterogasi sama satu kelompok aja, dong?"
"Ada yang sama keluarga, warga Suka Maju, dan pacar saya."
Wow.
"Pacar." Dengan tegas Anin memilih, padahal tadinya ingin dengar yang Citra spill sedikit.
"Kesimpulannya, Prita minta ketemu kamu, tapi saya belum menentukan jadwal. Mungkin nanti setelah beres urusan pernikahan Jayyan dan Viska."
Anin berdeham.
Bisa-bisanya seenteng itu nyebut soal Jayyan dan Viska. Pun, kenapa langsung ke kesimpulan?
"Prolognya mana? Kok, tahu-tahu kesimpulan?"
"Supaya ringkas."
Pesanan Bang Seril pun datang, lalu beliau menyodorkan snack-nya ke dekat Anin.
"Tapi Mbak Prita beneran nggak masalah, kan, dengan hubungan kita?"
Bang Seril mengangguk. Soalnya, kan, akan bercerai.
"Kalau keluarga, Abang jawab apa buat meyakinkan keraguan mereka?"
"Seperti yang kamu dengar dari Citra. Dia teleponan di samping saya semalam."
Astaga.
"Ampuh, ya?"
"Sangat."
Anin mencomot kentang goreng, lalu dia cocol saus, melahapnya.
"Itu saja?"
"Seragam nikahan Jayyan ...." Anin menelan ludahnya kelat. "Kok, aku belum nerima? Kan, kita harus couple-an. Aku juga bagian dari keluarga kalian, kan? Sebagai calon kakak iparnya."
"Kamu nggak pakai seragam dari pihak Viska?"
Ah, benar. Seragam itu. Dengan tidak tahu malunya Viska memberikan kepada Anin sambil bilang, "Pake buat nanti, Kak. Jangan mangkir. Aku mau Kakak nyaksiin akad kami."
Bersedekaplah Anin di meja, tatapannya lurus kepada bapak kepala desa. "Aku mau pake yang seragaman sama calon suamiku."
Bang Seril mendecih. "Saya tanyakan ke Mbak Aera dulu, ada bahan lebihannya atau nggak."
Parah.
Masa bahan lebihan?
"Badanmu kecil, sepertinya cukup kalau dibuat dari sisa-sisa."
Terserah Yang Mulia saja. Anin tidak—
"Sayang!"
Oh, siapa gerangan?
Di mana Anin menoleh, di situlah dia mendapati sosok perempuan yang dulu pernah dipergokinya sedang berciuman dengan Kades Suka Maju.
Ya, itu.
Prita Dwiningrum.
***