"Anin, Mbak."
"Prita."
Kenalan dulu, jabat tangan dulu, meski sebetulnya Anin sudah tahu. Mbak Prita yang belum kenal, paling sebatas nama saja dari cerita Bang Seril.
Sekarang sedang duduk berhadapan, Mbak Prita nemilih bangku di sebelah calon suami kontrak Anin. Wajar, mereka pacaran, jadi mending duduk di sisi pacar daripada di sisi calon istri kontrak si pacar. Ya, kan?
Dan sepertinya tidak perlu menunggu bisa bikin jadwal, ketemuan dengan Mbak Pritanya terjadi secara tidak sengaja detik ini. Bang Seril sedang memesankan minuman untuk beliau.
Well, Anin mulai dari mana, ya? Dia menyedot jus miliknya dulu.
"Anin itu temen adiknya Seril, ya?"
"Hm? Iya, Mbak. Temennya Citra."
"Langsung aja, deh. Mbak udah denger soal kamu sama Seril." Mbak Prita senyum.
Anin juga senyum. Itu bagus.
Bang Seril lantas duduk kembali di tempatnya, menyerahkan minuman untuk ayang mbeb, lalu menatap Anindea.
"Yang, ini orangnya?" kata Mbak Prita.
Tatapan Seril lantas beralih. "Iya, ini Anin yang saya ceritain."
What the ... saya?
Kok, nggak romantis, sih?
Minimal, kan, aku atau Mas gitu. Masa saya-sayaan? Apa bedanya pacar dengan orang asing?
Lalu Anin ditatap penuh telisik oleh Mbak Mprit, mungkin sedang dievaluasi? Anin santai sajalah.
"Cantik."
Ow.
Mesti bilang makasih nggak, nih?
Anin melihat Mbak Prita tampak merajuk kepada Bang Seril dari tatapannya. Kenapa, sih? Nggak ekspek yang ngajak kawin kontrak ke pacarnya adalah perempuan sebombastis Anin, ya?
"Betewe, Mbak Prita mau baca isi kontraknya, nggak? Ini pas banget kami habis tanda tangan."
"Oh, boleh. Mana coba lihat!"
Anin sodorkan map itu. Bang Seril diam saja.
"Tenang aja, Mbak. Aku udah mati rasa, kok, gara-gara si kunyukk Jayyan." Ups, sorry!
Ada abangnya si kunyuk di sini.
Mbak Prita sampai mendelik terkejut mendengar selorohan kasar dari mulut Anin.
Bodoh amat, sih.
Kan, memang kunyuk.
Tapi Bang Seril diam saja, tuh. Rautnya tetap datar sekali pun Anin mengata-ngatai adik beliau.
"Jadi, Mbak nggak usah khawatir. Selain aku udah mati rasa, udah kapok soal cinta-cintaan, aku juga kalau bukan karena pengin ngasih pelajaran ke Jayyan, nggak bakal kulirik anak-anakan Bapak Ningrat."
Di situ Anin mendapati bibir Bang Seril berdecih. Why? Kan, harus begini supaya dapat restu dari kekasih beliau.
"Begitu masa kontrak kami habis, kami akan berpisah. Empat tahun itu durasi max, kok."
"Tapi kalian bakal tidur bareng? Sekamar?"
Tuh, kan.
"Aku bisa tidur di kamar Citra, Bang Seril bisa bobok di pos ronda, atau di rumah Mbak? Tinggal bikin karangan ceritanya aja nanti, aku buatin yang cocok dan meyakinkan." Anin melirik si tokoh utama pria di sini. "Ya, kan, Bang?" Sambil Anin tendang-tendang kaki Bang Seril di kolong meja.
Kode!
Peka, plis!
"Iya."
Sip.
"Atau Mbak Prita ada keluhan lain? Kalian boleh banget pacaran, kok, pas kami udah merit entar."
"Ini maksudnya apa buat bertingkah layaknya suami penuh cinta ke istri?"
Astaga. Ada saja, ya? Padahal sudah tertera bahwa itu berlaku hanya saat di depan Jayyan dan keluarga Anin saja.
"Akting, Mbak. Tujuannya, kan, itu. Balas dendamku ke si Jayyan guguk. Tapi tolong Mbak rahasiakan ini, minta kerja samanya, dengan ini Mbak nggak usah khawatir soal Bang Seril bakal kurebut. Mbak, kan, pegang kartu as aku dan akunya juga nggak doyan bujang sepuh."
Mata Bang Seril tertuju di Anin, lagi.
Apa, hm?
Nggak terima disebut bujang sepuh?
"Skinship yang dibutuhkan sejauh mana?"
Ini serius cuma Anin yang jawab? Bang Seril tidak berusaha meyakinkan pacarnya bahwa semua akan berlangsung aman sentosa abadi nan jaya bagi hubungan merekakah? Sekali pun ada skinship.
"No seks," tukas Anin.
"Cium, peluk, itu no seks. Apa termasuk?"
"Nggaklah. Aku juga nggak mau, kok, dicium atau dipeluk sama cowok yang nggak aku cinta." Tapi lain cerita kalau butuh untuk poin satu di surat perjanjian. Ah, embuh.
Bang Seril cuma menikmati minumannya.
Bantuin ngapa!
Anin tendang lagi kaki beliau di kolong meja. Seterusnya, ujung sandal Anin mencolek-colek betis Bang Seril. Manusia itu bersikap tak acuh dan ini menyebalkan. Semoga jempol kaki Bang Seril cantengan, Ya Allah! Anin injak nanti.
"Tapi gimana kalau kalian khilaf?"
"Nggak bakal, Mbak. Aku khilafnya lihat-lihat orang, kok. Minimal yang kayak Justin Hubner."
"Tapi kamu pernah sampai mau nikah sama Jayyan ... dia, kan, nggak kayak Justin Hubner."
Satu sudut bibir Seril terangkat, menatap Anin. Kata lain, sedang mengejek.
"Ya, nggak Bang Seril jugalah, Mbak. Apalagi beliau ini udah ada pawangnya. Apa bedanya aku sama Viska nanti?" Menyebut nama Viska, d**a Anin sesak. Dia lalu menekan geraham.
"Kalau bisa jangan empat tahun." Mbak Prita menutup map itu. "Yang."
Seril menoleh. "Iya, diusahakan."
Ewh. Anin melihat Mbak Prita langsung gelendotan. Bang Seril membiarkan. Ya, namanya juga ke pacar, kan? Baiklah, baiklah.
"Udah, nih? Clear, Mbak? Biar aku bisa pulang."
"Oh, iya, udah."
Anin lantas berpamitan. Jalan dulu ke kasir, mau bayar pesanan. But, mbaknya bilang, "Udah dibayar tadi, Kak. Sekalian sama temannya."
Dan Anin melirik Bang Seril. Sedang digelendoti oleh Mbak Prita.
***
Pulang.
"Mbak Bos, ada tamu!"
Pulang ke konter maksudnya. Anin lepas helm, dia turun dari motor matic mamang ojol, lalu memasuki area dalam konter dan ... "Ngapain lo di sini?"
Jayyan mengantongi ponselnya, habis main game online sambil menunggu Anin.
"Jar, Bet. Jangan asal kasih pintu ke sembarang orang."
Fajar dan Beti saling lirik.
"Tapi, kan, itu Mas Jayyan, Mbak." Fajar belum mendengar desas-desus tentang bosnya.
Sekali pun Jayyan selebgram, tetapi Fajar itu tipikal cowok kudet anti scroll-scroll media sosial.
Beti? Sama saja. Pulang kerja, moyoy. Alias bobok. Tipe-tipe yang pegang ponsel seperlunya.
Anin mendengkus. "Keluar," ucapnya kepada Jayyan.
"Nin ...." Sambil meraih tangan Anin, tetapi ditepis.
"Keluar atau gue telepon Bang Seril?"
Hell. Bang Serilnya sedang pacaran pula, argh! Semoga Jayyan tidak menantang.
"Harus Bang Seril?"
"Harus Viska?" Anin tak mau kalah.
Mereka saling pandang. Anin yang memutus kontak mata lebih dulu. Fajar dan Beti fokus bekerja, tak mau ikut campur, tetapi mereka kepo max, tahu!
"Segitunya kamu cinta sama aku sampe pengin bales dendam dengan cara nikahin Bang Seril?"
Itu benar. Saking cintanya Anin, makanya dia merasa patah hati sedahsyat ini, dan karena itu pula rasanya ingin melakukan sesuatu untuk Jayyan. Tapi ingat, cinta yang besar itu kini sudah berubah menjadi kebencian yang jauh lebih besar lagi.
"Lebih tepatnya, segitunya abang lo naksir gue, Jay, sampe dia seberusaha itu biar gue acc ajakan meritnya."
Jelas, Anin ngarang. But, free, right?
"Gue juga nggak nyangka kalo selama ini Bang Seril nungguin gue putus sama lo. Dia bahkan berhasil meyakinkan gue yang ragu, yang nggak pengin buru-buru, terlebih baru banget gue batal nikah. Tapi Bang Seril itu ... he convinced me of everything in a short time."
Bahwa Bang Seril meyakinkan Anin atas segalanya dengan waktu singkat, itu yang dia tegaskan kepada Jayyan senatural mungkin.
"Ngerti?" Anin berucap pelan, lalu mundur dan membukakan pintu lebih lebar.
Pas sekali ponsel Jayyan berdering. Dari Viska, kan?
So, Jayyan berlalu.
Demi apa pun, Fajar dan Beti auto tidak banyak omong, tak banyak ulah juga. Suasana jadi mencekam di konter Anindea.
Yang Anin pupus lelehan air mata di pipi. Entahlah, jatuh tiba-tiba. Hatinya masih sehancur itu ternyata.
Beginikah yang ibu rasa? Saat papa ketahuan menghamili Sus Tika.
***
Malamnya ....
[Niiiiiin!]
Baru juga tarik selimut. Anin nginap di konter malam ini. Tak ada energi untuk pulang ke rumah papa, tak mau Anin tunjukkan seberapa jauh dia terluka. Anin hanya ingin dilihat sebagai antagonis bagi mereka, villain yang kuat dan tak punya hati sekadar untuk meratap.
Anindea: [Oit.]
Anindea: [Napa, Cit?]
Citra lalu mengirim foto. Anin buka. Yang seketika itu matanya membeliak.
Citra: [MEREKA BAKU HANTAM!]
Citra: [Bang Jayyan mabok, sih, kayaknya.]
Yang Anin zoom foto di bagian Bang Seril. Wow!
Anindea: [Awalnya gimana itu? Eh, gue telepon, ya?]
Citra: [JANGAN DULU!]
Tapi Anin gereget menunggu balasan Citra yang kadang lama bermenit-menit lewat.
Anindea: [CIIIT, KRONOLOGI!]
Anindea: [BALESSSS!]
Argh! Dibaca juga belum. Anin gemas, nih. Kepo maksimal. Ada apa kiranya di saja sehingga rumah bapak kades jadi ring tinju. Oh, apakah disaksikan warga setempat?
Jabatan Bang Seril baru jalan dua tahun pula, apa kabar beliau nanti? Menjadi kepala desa problematik, memengaruhi kepercayaan masyarakat kepada beliau tidak, sih? Tapi, kan, Bang Seril sangat profesional. Mestinya aman, kan?
Citra: [RUMAH GUE RAME, NIN!]
Astaga, malah ngasih info yang tidak begitu Anin ingin tahu soalnya sudah pastilah ramai. Mungkin para kakak Citra yang rumahnya dekat di sana juga langsung menerjang, memisahkan.
Sekali lagi Anin zoom sosok Bang Seril. Sedang melayangkan tinju kepada Jayyan.
Ini serius, nih?
Duh. Kalau gara-gara omongan Anin siang tadi, gimana? Alamak!
Kok, jadi tidak enak kepada Bang Seril, ya?
***
Tadi, sehabis dari konter. Benar bahwa Viska yang menelepon Jayyan.
"Habis ketemu Kak Anin lagi?"
"Nggak, kok."
"Bohong. Kakak pikir aku nggak tahu?"
"Urusan kami belum selesai, Vis."
"Bukannya Kakak bilang udah? Saat Kakak mutusin Kak Anin di hari dia mau kasih sampel undangan, bukannya udah selesai?"
Jayyan menggigit lidahnya, kelu. "Ini urusan yang baru."
"Artinya kalian sering ngadain ketemuan di belakang aku!"
Jayyan menyugar rambutnya menahan sabar, lalu meraih lembut lengan Viska dan membawanya ke dalam dekapan. "Anin mau nikah sama Bang Seril soalnya. Kamu tahu, kan? Jadi, Kakak merasa perlu ngasih sedikit umpan balik."
"Ya, biarin aja kenapa, sih?"
"Nggak bisa, dong. Itu artinya Anin lagi nyiapin bom buat kita."
"Maksudnya?"
"Dia pasti mau balas dendam."
"Dengan menikahi Bang Seril, emangnya Kak Anin bisa apa? Balas dendam macam apa yang dilakuin seseorang dengan menikahi kakak mantannya ... oh, kecuali kalau Kak Jayyan masih cinta. Artinya, Kak Jay masih—"
Dibungkam bibir Viska dengan ciuman. "Mana mungkinlah. Orang udah dapet kamu yang lebih dari dia ...."
Viska megap-megap. Ciumannya panjang tadi. Seperti di malam itu.
Dan ini di rumah temannya, teman Viska. Soalnya kalau di rumah sendiri sedang ramai menyiapkan tetekk-bengek pernikahan. Sebetulnya, Viska juga sedang dipingit dengan Jayyan.
Yang mana ketika itu, Viska melenguh. Dia merasakan adanya remasan tangan Kak Jayyan di area b****g, lalu leher dikecup-kecup. Sejak hamil jadi makin sensitif, Viska pun banyak mendesah. Dibungkamlah bibirnya lagi-lagi oleh sang calon suami, membuat fokus Viska ke hal-hal tentang Anindea teralihkan sepenuhnya.
"K-Kak ... nggak enak, ada temen aku di kamarnya."
Jayyan pun berhenti. Dia lalu mengecup kening Viska. Tersenyum kemudian.
"Kamu cantik terus, sih, Vis. Jadi salfok," kata Jayyan.
Viska tersipu.
But, ... "Cantik mana sama Kak Anin?"
"Kamulah."
Ini salah satu kebohongan terbesar dalam hidup Jayyan.
Viska lalu memeluk. "Jangan temui dia lagi kalo gitu, Kak. Aku nggak suka."
Jayyan terkekeh. Yeah ... Viska benar.
Harusnya seperti itu.
"Lagian kalau Kakak mau tahu, selama kalian pacaran, Kak Anin pernah selingkuh."
Jayyan melepas dekap itu, menatap Viska.
"Aku nggak bohong," katanya. "Aku pernah lihat. Ah, harusnya ini rahasia, tapi ... Kak Jay kayak masih suka sama Kak Anin. Aku nggak tahan."
"Sama siapa?" tukas Jayyan. Kalau memang pernah lihat, mungkin Viska bisa sebutkan ciri-cirinya.
Viska agak kecewa karena Kak Jayyan tertarik dengan obrolan ini. Sebab, itu berarti Kak Jayyan masih ... seperti yang Viska bilang tadi. Masih ada rasa sama Kak Anin, seolah hubungan satu malam yang sangat panas bersamanya itu tidak cukup untuk menghanguskan perasaan Kak Jay terhadap kakak sepupu Viska.
"Vis? Katanya pernah lihat?"
"Sama yang sekarang." Viska menatap wajah Kak Jayyan. "Makanya nggak heran kalau mereka juga mau nikah."
Maksudnya yang sekarang itu ... "Bang Seril?"
Viska mengangguk pelan.
***