7 | Balas Budi

1913 Kata
"Duh. Siapa, sih, gedor-gedor pintu brutal banget?" Citra misuh-misuh. "Sebentar!" Dan Seril keluar kamar. Baru habis mandi. "Abang aja yang buka, Cit." Barangkali warga rusuh atau orang gila, kan, takut Citra diapa-apain. So, Seril yang maju. Citra mengekor agak jauh. Di rumah orang tua ini mereka hanya tinggal berdua memang, para saudara yang lain mencar bangun rumah masing-masing. Kalau rumah orang tua sudah dihakwariskan kepada siapa pun yang menjadi kepala desa pertama di anak-anakan Bapak Ningrat dan itu Seril. Hanya minta agar rumah orang tuanya dirawat sebaik mungkin. Sementara Citra, dia nyamannya di rumah ini, jadi ikut Bang Seril. Dibukalah pintu utama kediaman yang mana detik itu ... Citra memekik. "Abang!" Bang Seril yang buka pintu langsung dibogem, sebuah tinju menghajar tepat di sudut bibir. Tahu? Yang menghajar Bang Jayyan ternyata. Citra makin heboh lagi. Ya, bagaimana tidak? Mereka semua para kakaknya. Tapi ini kenapa, kok, Bang Jayyan datang-datang langsung hajar? "Bang, udah, Bang!" Ya Allah! Citra gegas menelepon Bang Bro yang letak rumahnya paling dekat, melaporkan situasi. Sementara Seril, kerah bajunya sedang Jayyan cengkeram. Bukan karena Seril tidak mampu membalas serangan adiknya, tetapi memang Seril sengaja tidak melawan. But, Jayyan serius ngajak perang ternyata. Seril lagi-lagi dihantam. Citra memekik panik. "Bang, udah!" Tanpa berani mendekat. Karena dirasa Jayyan tak akan berhenti, tak mempan dengan cara baik-baik untuk Seril tangani, maka dia mulai mengerahkan tenaganya untuk membalik posisi. Yang mana kini Jayyan tersentak mundur sebab tonjokan sang abang. Ya, Seril balas dengan tinjuan tadi. Dikira Seril tidak ada daya untuk bergulat? Bibir Jayyan terus melisankan kata-kata tak patut. Dia muntahkan ucapan berengsekk, bajingann, hingga segala jenis hewan diabsen sambil berusaha menghajar Seril kembali. Namun, kali ini Seril tidak tinggal diam. Dia menahan lengan Jayyan yang melayang. Dan Jayyan mulai menendang. Brak! Kyaaa! Suara jeritan Citra dan bangku yang terdorong oleh punggung Seril akibat tendangan Jayyan mengudara. Bagaimana ini? Ada apa sebenarnya? Kenapa Bang Jayyan begitu? Dirasukikah? Mabuk? Dan lagi, mana abang-abang sekalian yang sudah Citra hubungi? Sampai ada warga yang lantas melihat. Oh, syukurlah. Di detik Bang Seril bangkit dan tinjuannya kembali melayang, saat itulah Citra berhasil memotret. Dia kirim kepada Anin—sang sobat. Sementara itu, Bang Bromo datang dengan tergopoh. Memilih lari daripada naik motor. Disusul oleh Bang Sultan, Bang Iman, hingga Bang Lai (Laim)—ketiganya naik motor beda merek. Ramai. Ricuh. Rumah kepala desa untuk pertama kalinya menjadi TKP konflik Suka Maju dan itu pak kepala desanya sendiri yang berkasus. "Ono opo iki?" "Ada apa?" Citra langsung menerjang Bang Bro. Butuh perlindungan. Dari tadi aslinya Citra ketakutan. Sementara itu, Bang Jay sudah ditahan oleh warga. Bang Seril dibiarkan bebas tahanan soalnya memang bukan Seril yang mau perang. Dia balas menonjok karena dirasa Jayyan tak akan berhenti hanya dengan interupsi berbelas kasih sayang. "Dia bajingann!" Mulai. Jayyan menunjuk kakak nomor 9. Matanya menyala-nyala. Dan Citra mendapati ibu-ibu di pelataran, di pagar, sampai di teras. Ya ampun! Jangan sampai ada yang memvideokan, lalu mengunggahnya di sosmed dengan caption bawa-bawa 'kepala desa'. Viral nanti. Kasihan Bang Seril. Mana dia kades bujang pertama dan satu-satunya pula sekecamatan sini. Bila jadi contoh buruk, bisa-bisa syarat pencalonan kepala desa auto diubah tak boleh bujangan lagi. Bang Sultan gegas menangani para ibu-ibu di luar, sementara Bang Iman mengurus bapak-bapak yang membantu memisahkan, tak lupa bilang terima kasih. Intinya, membubarkan dengan sopan. "Sudah ada kami, Pak. Aman. Matur suwun, nggih." Citra, sih, masih ngintil Bang Bro. Sesekali sambil balas chat Anin. Pintu ditutup. Bang Jayyan didudukkan oleh Bang Lai, sejak tadi dia menahan sang adik agar tidak melesat meninju Seril lagi—yang juga adiknya. Seril, sih, sudah duduk sendiri tanpa perlawanan, tanpa pemberontakan. Dirinya sendiri juga penasaran sebetulnya kenapa dengan Jayyan? "Ono opo iki, Nang?" Bang Bro memulai. Nang adalah panggilan ke saudara laki-laki dalam bahasa Jawa. Tatapan Jayyan bengis kepada Seril. "Ada masalah apa sebenernya? Dibicarakan baik-baik, nggak bisa?" Bang Sultan mengambil peran. Mereka sudah duduk semua di ruang tamu rumau kepala desa. "Ril?" Seril meringis, sedang diobati luka-lukanya oleh Bang Bro. "Saya juga penasaran ada masalah apa sebetulnya Jayyan—" "Nggak usah sok nggak tahu, pengkhianat!" "Oh, tentang Anin yang akan menikah sama Abang itu?" Seril tanggapi dengan santai, meminta Bang Bro agar pelan-pelan mengobatinya. "Kalian selingkuh!" What the .... "Bahkan pas Anin masih sama Jay, kalian selingkuh!" Seril tak habis pikir. Belum dia menanggapi, Bang Iman—kakak pertamanya—menyahuti. "Dasare opo kuwi ngomong koyo ngono, Le?" "Tak pites nek jebul kowe mung nuduh sembarangan!" imbuh Bang Bro. "Lagi pula kalaupun bener, ya, terus kenapa, Jay? Kan, kamu udah mau nikah juga sama Viska, Aninnya ditinggal." Ini Bang Sultan. "Ril, coba jawab. Emang iya?" Ini Bang Lai. Seril menghela napas. "Abang pikir serendah apa saya sampai mau jadi selingkuhan calon adik ipar?" "Lagian Anin orangnya bersih, kok!" Citra nimbrung. "Aku kenal dia. Kalo udah bucin sama satu cowok, udah. Apalagi soal selingkuh ... Anin nggak pernah mau jadi kayak papanya." Hening seketika, bahkan Jayyan. Dia tertegun. "Abang-Abang inget, kan, kasus orang tua Anin?" Meski tidak detail, tetapi desas-desus pernah tersebar. "Papanya selingkuh dan Anin saksi gimana ibunya sakit hati soal itu. Jadi ... mana mungkin. Bang Jay tahu infonya dari mana emang? Detail ceritanya gimana?" "Jawab, Jay." Seril menekan. Dia menahan rasa perih di sudut bibir. Belum lagi punggung yang kena kursi, lalu perut ditendang. Masih bersabar atas kelakuan sang adik. Seril sebetulnya manusia yang paling anti cari ribut. Dia pun memilih acuh tak acuh. "Seseorang ngeliat kalian dan lagi ... buktinya sekarang Bang Seril malah mau nikahin Anin." "Jay, artinya kamu nggak ada bukti akurat?" seloroh Bang Sultan. Mengusap-usap batu akik di tangan. Mahal ini, belinya juga jauh di Arab. "Cah gemblung! Sini, tak pites!" Bang Bro sampai berdiri, tetapi Citra menahan. "Lagi pula kenapa kamu marah sekarang saat denger soal itu, Jay? Seolah kamu yang dicampakkan." Seril bersuara. Jayyan merongos menatap sosok abang nomor 9. Emosi! *** Ugh, sakit. Punggungnya, wajah, dan perut. Seril sudah balik ke kamar sekarang. Jayyan sudah diringkus oleh Bang Iman, diajak tidur di rumah beliau. Akan didisiplinkan katanya. Sekarang rumah tinggal isi dirinya dan Citra seperti semula. Melirik ponsel, benda itu getar di atas nakas soalnya. Seril pun meraih, membawa rebah. Dia cek ada apa di sana, rupanya sebuah panggilan tidak terjawab dan beberapa pesan dari Anin. Di urutan pesan teratas adalah foto baku hantan dirinya dengan Jayyan yang mungkin Anin dapat dari Citra. Anindea: [Kalo boleh tahu, apa ada hubungannya sama aku perkelahian kalian?] Anindea: [Boleh tolong ceritain detailnya nanti, Bang?] Anindea: [Abang boleh klaim kompensasi dari aku nanti. Btw, maaf sebelumnya. Tapi tolong pernikahan kita jangan batal, ya, Bang ....] Kompensasi? Dalam hal ini apabila itu barang, maksudnya sejenis garansi? Seril mendengkus. Dia ketik balasan. Seril: [Kamu membuat hubungan kakak beradik menjadi renggang ...| ] But, Seril hapus. Tak dia kirimkan. Mengingat semua ini pun bermula dari kesalahan Jayyan. Seril berusaha memahami sosok Anin. Meski demikian, tidak dia balas pesan tersebut. Sudahlah. Tidur saja. Menjadi alasan mengapa esoknya, Anin ada di Suka Maju. Yap! Mendapati pesannya semalam cuma dibaca, Anin gegas menitipkan konter kepada Beti dan Fajar, lalu pesan ojol untuk ke desa elite. Anin mulai terpikir bagaimana kalau dirinya belajar naik motor? Sebelum itu, semalam Anin sudah chat Citra bahwa dia akan berkunjung. Citra bilang: [Langsung masuk aja, Nin. Kuncinya di tempat biasa.] Suka Maju desa yang aman dari pencurian, ada satpam dan sanksi terhadap mencuri itu sangat berat di Suka Maju yang telah disepakati bersama dalam rapat akbar musyawarah desa. Selain itu, rata-rata penduduknya punya pekerjaan. Seril, sang kepala desa, selalu rutin mengecek adakah pengangguran di desanya dan mempersilakan bagi mereka yang butuh pekerjaan—khusus rakyat Suka Maju—untuk melapor. Akan diinterviu nanti dan diberikan lapangan kerja yang cocok, sesuai prosedur, jadi tidak boleh main-main. Lapangan kerja di Suka Maju sendiri ada banyak, mulai dari tempat-tempat usaha yang para anak-anakan Bapak Ningrat bangun, lalu Seril sendiri punya banyak relasi pebisnis. Intinya, tujuan Seril menjabat adalah memperkaya rakyatnya, paling tidak meminimalisir pengangguran sehingga mengurangi potensi kejahatan. Yang jadi preman kampung, Seril pekerjakan sebagai satpam di desa. Mengepalai tiap-tiap penjadwalan ronda para warga. Aset desanya sendiri, seperti sawah, ladang, dan kebun tidak diperuntukkan bagi pribadi para perangkat desanya. Melainkan benar-benar dikelola oleh masyarakat dan ditinjau sebaik mungkin untuk hasil panennya kelak dikirim ke pabrik atau bulog, dari situlah petani Suka Maju digaji. Seperti namanya 'Suka Maju', Seril ingin memajukan desa itu dan sudah dimulai sejak tahun lalu dirinya menjabat. Sejauh ini sudah berjalan baik. Mungkin karena itu pula, beragam kasusnya yang baru-baru ini tidak begitu digubris oleh rakyat. Hanya memang jadi bahan omongan saja. Wajar, masih bujangan. Begitu kata mereka. Ah, Anin sudah sampai. Dia pun mengambil kunci rumah Citra, memasukinya. Sudah izin kepada Bang Seril juga, kok. Kata Citra boleh, langsung masuk saja. Citra dan Bang Seril sedang di balai. Kepala desanya betul-betul kerja. Hal pertama yang Anin lakukan di rumah Citra adalah mengecek lemari makan, lalu membuka tudung saji, kemudian mendengkus. Dikirimnya pesan ke Citra. Anin: [Gue masak, ya? Lo gak usah beli lauk pulang nanti, Abang lo juga.] Citra: [Widih, asyiknya!] Citra: [Nggih, Kakak Ipar. Tolong masak makanan yang lezat dan bergizi buat kami.] Citra: [Oiya, Bang Seril bikinin sayur. Dia mulutnya sariawan gara-gara baku hantam semalam.] Nah, ini. Makanya Anin ke sini. Mana pesan semalam tidak dibalas pula. Anin merasa bersalah, jujur. Tak enak hati. Risikonya Bang Seril yang tidak ada hubungan dengan dirinya dan Jayyan secara langsung itu malah kena tonjok. Sebagai manusia yang berbudi luhur, Anin tahu balas budi atas kebaikan orang. Dipikir-pikir, kayaknya Anin memang harus melayani Bang Seril sebagai bentuk terima kasih, deh. Iya, tidak, sih? Mungkin nanti tidak apa-apa kalau sudah jadi istri kontrak, Anin bersikap layaknya istri sungguhan—minus skinship. Katakanlah sekadar masak, mencucikan bajunya misal ... yang begitu-begitu. *** Seril baru pulang dari kebun anggur di desanya, pulang ke balai. Dia selain mengurus urusan kepala desa juga berlaku laksana bos besar di bisnis desa yang didirikan atas idenya. Memastikan berjalan lancar. Makanya tiap hari dinas ke balai terus dan Citra sebagai sekdes ikutan repot. "Jadwal saya apa lagi hari ini, Cit?" Tidak ada istilah abang-adik di pekerjaan. Seril mau berlangsung seprofesional mungkin. Salah satu kecintaan rakyat kepada bapak kades mereka di periode Seril. "Udah kosong, sih, Pak." Sudah Citra ceklis hal-hal yang menjadi jadwal bapak kuwu hari itu. "Persiapan buat besok aja Pak Gub mau kunjungan ke desa kita. Mungkin Bapak bisa pulang dan pulihkan kegantengan seperti ke setelan sedia kala, Pak. Luka-luka jagoannya itu, lho. Kelihatan banget kayak habis tawuran. Kades macam apa, kan, nanti di pikiran bapak gubernur yang terhormat?" Oh, Citra nyengir. Undur diri. Dikata mau seprofesional apa pun, dia tetap menyempatkan menggoda Bang Seril walau ujungnya diberi tatapan maut. Seril melihat jam. Sudah jam satu. Tenang, Seril sudah salat Zuhur di musala kebun anggur begitu azan berkumandang. Sekarang pulang sajalah. Bekas tendangan Jayyan semalam masih nyut-nyutan. "Ya sudah. Saya pulang, Cit. Kalau ada apa-apa, telepon atau langsung aja ke rumah." "Nggih, Pak. Hati-hati di jalan diculik perawan." Bombastic side eye-nya keluar lagi. Citra nyengir part sekian. Tenang, cuma berdua di situ. Kalau ada yang lain, Citra lebih jaga sikap demi martabat sang bapak kepala desa Suka Maju. Seril pun pulang ke rumah. Eh, kuncinya tidak berada di tempat. Pas sekali, ada telepon dari Citra. "Bang, lupa ngasih tahu. Di rumah ada kakak ipar." Oh, haruskah Seril balik lagi ke balai? Sebagai kepala desa, tak patut rasanya berduaan dengan— "Lho, kok, nggak masuk, Bang?" —anak gadis di dalam rumah. Seril dan Anin saling pandang. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN