8 | Pikiran Zalim

1219 Kata
"Nggak usah ditutup pintunya," tukas Seril saat Anin hendak melakukannya. "Menghindari fitnah." Sungguh mulia bapak kepala desa di Suka Maju, padahal ... "Di luaran Abang bahkan ciuman sama—ok, aku diem." Sedang tidak ada gairah untuk bersikap meyebalkan bagi Bang Seril. Tujuan Anin ke sini, kan, istilahnya mau sungkem. Mau berlakon baik-baiklah gitu. "Makan dulu, Bang. Aku udah masak." Pantas Seril mencium aroma lezat. Baru mau delivery padahal. Oh, ya, di Suka Maju, ibu-ibu warung dan siapa pun yang mau bahkan dipersilakan ikut seminar bertema teknologi digital. Seril juga membuka kelas untuk mereka yang ingin bisa menggunakan aplikasi ter-update; seperti penggunaan ojol dalam bisnis, market place, dan lain-lain yang mendukung kemajuan sumber daya manusia dalam ilmu teknologi di desanya. Agak lambat untuk ini karena mengajari ibu-ibu atau bapak-bapak tidaklah mudah. Mereka kalau tidak lupa, ya, nggak mudeng. Habisnya, benar-benar dilatih dari yang berlevel gaptek. Tapi setidaknya, mama-mama muda kekinian bisa mencerna dengan lebih cepat. Oh, ya. Tadi sampai mana? "Masak apa?" Seril urung ke kamar, dia langsung ke ruang makan. Anin buka tudung sajinya. "Komposisinya apa saja itu?" "Minus cinta dan sianida, aman." "Pelet?" Seril dan Anin sama saja kadang. "Sayangnya, target pelet aku minimal yang kayak Justin Hubner." Terus saja terus. Seril mencibir. "Saya ganti baju dulu." "Mau aku siapin?" Niat Anin sungguh mulia. "Makanannya." Tapi Seril jadi curiga, tatapannya menelisik. "Langsung saja bilang, apa mau kamu?" Tuh, kan. "Abang cukup bilang makasih." "Itu kedengaran kayak bukan kamu." "Udah sana ganti baju! Aku juga laper, tahu!" Entah bagaimana nanti rumah tangga mereka. Selain hubungan kontrak, Seril dan Anin itu sejak kejadian memergoki Seril pacaran, seketika jadi macam Tom dan Jerry. Hanya saja, waktu itu Anin fokus ke Jayyan setelah hari yang membuatnya tercengang terkait Bang Seril. Well, Anin disuap waktu itu. Bang Seril mentraktir apa pun yang Anin mau. Malah jadi kayak jalan-jalan berdua sesudahnya. Nah, sudah. Bang Seril kembali dengan outfit lebih santai. Kolor dan kaus. Anin selesai menyiapkan hidangan untuk beliau, ada sayur bayam di mangkuk, tempe mendoan yang tinggal comot dan masih hangat, sambal, nasi di piring, dan ayam goreng. Soal masak, Anin cukup juara. Tapi soal mengendarai kendaraan, patut diragukan. Untung Anin owner konter AND (Anindea), jadi tak perlu khawatir soal uang buat ongkos ke sana kemari. Kalau bokek-bokek amat, ya, call saja si Fajar atau Beti. Mereka bersuka hati mengantarnya. "Enak?" Bang Seril berdeham. "Lumayan untuk ukuran gadis seperti kamu." Yeu! Untung sedang mode jinak, Anin senyumi saja. Dia juga makan. Acara santap-menyantap itu berlangsung cukup khidmat sampai tiba di mana tak ada sisa di piring Bang Seril. "Boleh aku tanya-tanya?" Dari tadi Anin menahan diri untuk tidak nyerocos saat makan. "Silakan." Seril meneguk air minumnya, lagi-lagi Anin yang sajikan, padahal Seril masih mampu untuk sekadar menuangkan air teko ke gelasnya. Jadi makin curiga, pasti Anin ada maunya. "Soal chat aku semalam." Oh, mungkin ini. "Iya, kenapa?" "Abang belum jawab." "Tanyakan ulang aja, saya lupa isinya." Sabar, Nin. Orang sabar dadanya besar. Oke, sip. "Perkelahian Abang sama si itu, apa ada kaitannya sama aku?" "Sudah pasti, kan?" "Karena apa katanya? Detail ceritanya, aku mau denger." "Kita selingkuh." "Hah?" "Entah Jayyan dapat info dari mana, katanya kita selingkuh bahkan di saat kalian masih pacaran." Oh ... berarti bukan gara-gara omongan Anin di konter? Atau nyambung juga ke situ, ya? Anin bilang, kan, Bang Seril naksir berat kepadanya sampai-sampai rela menunggu Anin putus. Dan dia ceritakan kepada Bang Seril. See! Mata bapak kades auto jadi laser. Tajam pol melibas wajah Anin. "Ya, kan, aku perlu bilang gitu buat menaikkan harga diriku, Bang. Supaya nggak ngenes-ngenes amat. Tapi aku tahu itu salah, makanya tujuan utama aku ke sini mau minta maaf." "Kamu sering jual nama saya, ya?" "Iya, beserta karangan-karangan romantis lainnya." Anin ngaku. "Tapi ke Jayyan dan yang bersangkutan aja, sih. Aku bayar, deh." Bang Seril berdecih. "Bukan pake uang, kok. Aku tahu Abang nggak butuh." Bang Seril memicing sekarang, tatapannya. Turun ke d**a Anin. Jangan bilang .... "Nggak pake badan juga. Aku tahu selera Abang bukan body goals kayak aku." Canda, Sis! Dicibir lagi. "Pokoknya, aku kasih slot satu permintaan bebas buat Abang. Unlimited waktunya. Aku kabulkan." "Apa bedanya sama bayar pakai badan?" Eh? "Kan, bisa saya minta badan kamu." Astagfirullah! "Jadi aku gak salah, dong, ya? Selama ini Abang naksir aku, lebih tepatnya body goals-ku." Seril menghela napas. Capek sebetulnya debat dengan Anin. "Intinya." Balik lagi ke intinya. "Maaf dan makasih, Bang." Anin sungguh-sungguh. Sadar diri bahwa Bang Seril sangat membantu. "Tapi menurut kamu kenapa Jayyan nuduh kita selingkuh?" "Kenapa lagi? Pasti dapat celetukan dari calon bininya. Dulu Viska pernah ngeliat kita jalan berdua soalnya. Aku inget, pas Abang nyogok aku buat tutup mulut. Inget, nggak? Tepatnya, pas Abang kokop—" "Oke, cukup." Ya, itu. Masuk akal. Seril lalu menatap masakan Anin di meja. "Ini bagian dari permintaan maaf dan terima kasih tadi itu?" "Seratus." Anin acungkan jempolnya. "Oke. Sudah clear berarti, silakan pulang. Saya mau istirahat." Dih, ngusir! "Naik apa tadi?" Sampai lupa Seril tanyakan. "Ojek." Seril geleng-geleng. "Abang sana istirahat, aku ada janji buat ketemu Citra. Tenang, aku nunggunya di kafe kecamatan." "Ya sudah, tutup pintunya nanti." *** Tapi kalian tahu? Ujungnya Anin ke kafe diantar Bang Seril. Sebetulnya manusia yang satu itu berjiwa tidak tegaan meski sering bersikap acuh tak acuh. Anin bilang nggak pa-pa naik ojol padahal, tetapi ... ya, sudahlah. Kan, jadi trending topic lagi coba nanti di Suka Maju. Ketemu banyak warga di jalanan, Bang Seril klaksonin satu per satu. Ya amsyong! Bagi Anin yang tinggal di kota tidak masalah, sih. Tapi bagi Bang Seril, agak kasihan Aninnya. Menanggung risiko cukup banyak dari ajang balas dendam Anin. Anehnya, Bang Seril tidak mengeluh agar diurungkannya niat pernikahan kontrak itu. Apa karena Bang Seril naksir berat sama Mbak Prita, ya? Ini, kan, memang kesempatan emas beliau buat jadi duda. Iya kali, ya? Kapan lagi, kan, jadi duda kembang dan tidak berkonflik dengan sang mantan istri kelak ketika berpisah? Perpisahannya tidak akan banyak drama pula, soalnya sudah ngedrama di awal-awal. "Makasih, Bang." Orangnya langsung melenggang. Yeu! Anin pun masuki area kafe di wilayah kecamatan. Di desa Suka Maju tidak ada kafe soalnya, Bang Seril kurang suka ada banyak pendatang dari luar. [Cit, gue di kafe yang waktu itu, ya. Nanti lo langsung ke sini aja.] Terkirim. Citra: [Oke, otewe. Siap-siap dulu.] Anin mengernyit. Anindea: [Lha, udah kelar? Bukannya lo bilang mau lembur sampe jam empat?] Citra: [Iya, nih. Bapak Kades Suka Maju tercinta bilang digarap besok aja. Entah kenapa lagi mode baik.] Anin tertegun. Bukannya apa, tidak merasa tersanjung juga, malah heran. Bang Seril banyak menunjukkan sisi manusiawinya. Tidak salah kalau Anin merasa apa yang dialami Citra karena Bang Seril kasihan kepada dirinya, kan? Nunggu di kafe berjam-jam. Oh, atau itu bentuk tebusan karena Anin tidak boleh nunggu di rumah beliau? Apa pun itu, ini mengundang pikiran zalim di kepala Anin. Bang Seril bersikap baik supaya Anin merasa terbebani nantinyakah? Dan jangan-jangan nanti slot permintaan bebas yang Anin beri ... betulan minta dibayar pakai badan? Gini, gini, biar nyicip dulu gitu ngelumayanin. Secara, Mbak Prita bukan perawan. Dan Bang Seril rela batal jadi duda kembang demi ... wah! Masuk akal. Anin tepuk meja sampai orang sekitar menoleh padanya. Tapi benar, kan? Biar nanti Anin tidak bisa menolak. Mungkin Bang Seril juga ingin setidaknya sekali seumur hidup memerawani anak orang? Astagfirullah! Guguk, ih. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN