"Papa puas?"
Di rumah, Anin meletakkan gelas dan papa sedang masak mi. Beliau menoleh. Ini malam, besok hari H pernikahan Jayyan dengan Viska akan digelar.
"Putri semata wayang Papa punya nasib sama kayak ibu. Waktu Papa main-main sama Sus Tika, Papa nggak mikir gimana kalo nanti imbasnya jatuh ke anak perempuan sendirikah?"
Papa memilih bisu.
"Ah, Anin lupa. Otak Papa nggak pernah digunain buat mikirin Anin. Jangankan Anin, ibu aja nggak Papa pikirin. Sampai matinya, Papa nggak mikirin gimana perasaan ibu ... ngehamilin WC umum dan nikahin dia di saat tanah makam ibu bahkan masih belum kering."
Anin menatap punggung sang papa. Beliau masih saja bungkam.
"Pa, Papa nggak mau ngajarin Anin biar jadi orang yang nggak punya hati kayak Papa? Anin pengin. Biar kalo nanti Papa meninggal, Anin nggak mesti tersinggung sama omongan orang lain karena nggak sudi ngurusin pemakaman papanya."
"Jaga bicara kamu, Anin!"
Suara Mama Tika menyela. Beliau mendekat. Anin mendengkus. Sementara, papa meletakkan panci kotor di wastafel bekas masak mi dengan cukup keras. Suara gebrakannya menyentak dua insan yang kini saling melempar tatapan tajam. Bedanya, Anin hanya tersentak samar, lain dengan Mama Tika yang sampai terlonjak.
"Bisa, nggak, sekali aja nggak usah nyamber?" Persetan dengan papa, Anin fokus di sosok pembunuh ibu.
"Anin!"
"Papa juga," timpal Anin, "sekali aja buka mata lebar-lebar, Pa. Lihat dengan baik siapa yang sepatutnya Papa tegur."
"Masuk kamar!" Papa membentak.
Anin menekan geraham. Dulu, Anin masih remaja sehingga dia sering kali gentar dengan beliau. Dulu, bahkan kemarin saat Anin masih bersama dengan Jayyan, dia tidak pernah memberi perlawanan. Karena nasihat Jayyan mengalir di tiap aliran darah Anin, tetapi sekarang, kan, sudah tidak lagi. So ... Anin menatap papanya.
"Setelah dipikir-pikir, ngapain Anin nurut sama Papa? Yang bahkan sama-sama pembunuh ibu kayak si Babik Tika ini."
"Anindea!"
"Papa!"
Marah.
Papa marah.
Terlihat matanya berkilat-kilat.
Dan Anin balas membentak.
Kenapa? Tak boleh? Dosa? Seburuk-buruknya papa, beliau tetap orang tua Anin sehingga Tuhan tidak akan suka kalau sebagai anak, Anin balas membentak?
Sayang sekali, nasihat baik itu kini sudah tidak lagi mengalir di sel-sel darah Anin. Nasihat baik itu sudah tidak lagi bisa menjadikan Anin sebagai anak yang baik, yang memilih memendam dan membenci tanpa berkutik.
Kini ... Anin bahkan punya keberanian yang tak pernah dia tunjukkan sebelumnya, maju mendekat pada Mama Tika, lalu menarik rambutnya kuat-kuat bahkan di depan biji mata papa.
"Akh—!" Menjerit. Tika mencekal lengan Anin, bahkan dia cakar. Namun, Anin tak gentar.
Perihnya tangan yang dirasa akibat cakaran kuku tajam pun tak lantas membuat Anin melepaskan jenggutan itu, justru semakin dia tarik lebih kuat lagi rambut Mama Tika. Ralat, si babik. Mari lihat bagaimana respons papa.
"Dulu ibu seumuran ini, kan, Pa, wafat?"
Anin melihat rahang papa mengetat.
"Atau lebih muda?"
"Anin, sakit! Mas, tolong!" Masih dijambak Anin hingga kepala Tika mendongak.
"Keluar."
Itu papa. Tatapannya tertuju di Anin.
"Keluar dari rumah ini."
"Rumah? Papa sebut ini rumah? Bukan kandang babik?" Dan Anin baru sadar bahwa selama ini dia satu-satunya manusia di situ.
"Salah-salah Papa menghidupi dan memberi pendidikan yang layak buat kamu kalau hanya untuk berakhir jadi manusia nggak terpelajar kayak gitu."
"Bagus, dong! Artinya Anin buah jatuh nggak jauh dari papanya."
"KELUAR DAN JANGAN PERNAH INJAK RUMAH INI LAGI!"
Tika sudah terisak. Yang Anin hempas kemudian, tepat ke arah papa. Anin dorong dan mama tirinya berakhir di dekapan beliau.
Oh, Anin diusir.
Fine.
"Anin juga nggak mau tinggal di kandang babik. Andai sadari itu dari lama, najis hidup bareng para dugong di sini!"
Plak!
Kena juga akhirnya.
Pipi Anin.
Kejadiannya begitu cepat saat papa melangkah lebar dan melayangkan tangan kanannya, Anin belum sempat menghindar atau menghalau. So, sampai jatuh terduduk saking kuatnya tamparan itu.
Tidak boleh, air mata Anin tidak boleh jatuh di sini. Sesakit apa pun itu, baik pipi dan hatinya.
"Keluar." Papa mendesis, suaranya sudah tidak menggelegar, tetapi sanggup menusuk ke bagian paling dalam di jantung Anin.
Digigitnya bibir bagian dalam, Anin sedang sibuk menahan bongkahan hatinya yang remuk redam agar tidak berserak di rumah ini melalui tetes air mata. Berdirilah dia.
"Tinggalin semua barang yang kamu beli pake uang papamu, Nin. Kamu nggak berhak bawa sepeser pun kebendaan dari kami!"
Anin berdecih.
Papa bahkan diam saja, menunjukkan bahwa beliau satu tim dengan mantan selirnya. Untunglah ... konter tidak dibangun dari sepeser pun harta benda papa. Dan sepertinya ... sudah, ya? Tinggalkan rumah ini, tak perlu lagi berusaha mengantongi semua kepunyaan papa agar tak dimiliki Mama Tika. Tadinya, kan, mau begini: Silakan ambil papa, tetapi hanya itu yang Sus Tika miliki, hingga saat papa tiada maka Sus Tika tidak punya apa-apa. Sambil Anin merecok menjadikan rumah ini seperti neraka bagi mereka, yang sudah lebih dulu jadi seperti neraka bagi Anin.
But, Anin sekarang tersadar hal lain. Ini rumah bukan lagi seperti neraka, tetapi lebih tepat kalau disebut kandang pig. Orang-orang yang membuat ibu kehilangan semangat untuk sehat adalah babi-babinya. Maaf, ya, kalau Anin kasar.
Dia berkemas dengan cepat.
Dan saat itu, sosok Tika bersedekap puas di ambang pintu, bersandar pada kusen memandori Anin.
"Eh, tinggalin kalung itu!" katanya. Menatap ke arah leher Anin. Kalung yang selama ini Anin kenakan.
Tak Anin gubris sampai Tika maju dan menjambak rambut anak tirinya, lalu dia jambret brutal kalung di leher Anin tak peduli bila itu menyakiti.
See!
Di depan papa tadi si sialan Tika ini cuma akting, aslinya seribu kali lipat sanggup bergulat dengan Anin. Anin tahu.
"Balikin!"
"Enak aja. Ini dapet beli Mas Ibnu."
Ibnu, nama papa Anin.
"Itu kalung ibu, balikin!" Dan merupakan pusaka Anin.
"Mas Ibnu yang beli." Poinnya ini bagi Tika, jadi harus dia simpan.
Geraham Anin sampai saling menekan kuat-kuat, denyut nyeri di pipi bekas tampar papa pun tak lagi dirasa. Ini adalah puncaknya. Anin raih koper yang belum terisi penuh barang-barangnya, tidak peduli apa pun lagi, dia lalu membawa koper itu dan ... mantan selir papa memekik di detik Anin tendang hingga tersungkur.
Persetan.
Fokus Anin satu, didapatkannya kembali kalung peninggalan ibu. Yang kini sudah di tangan, Anin genggam erat-erat. Sekali pun ini papa yang beli, tetapi bertahun-tahun ibu yang pakai.
Anin tak melihat eksistensi papa walau dia juga tak ada niat untuk pamit dengan benar, tetapi setidaknya kalau ada papa, Mama Tika tak akan berani melempar barang hingga tepat jatuh di punggung Anin—saat dia melangkah keluar menggeret kopernya.
Dugh!
Sampai bunyi.
Anin meringis, tetapi tak menggubris. Malas, nanti tidak tuntas-tuntas. Tapi bicara-bicara, kiranya benda apa itu tadi? Dan kiranya papa di mana saat ini?
Sialnya, Anin belum sempat memesan taksi. So, dia jalan geret-geret koper sampai ke gerbang depan perumahan.
Malam itu adalah malam yang terasa panjang bagi Anin.
***
Paling penting surat-surat, dompet dan seisinya, ponsel, laptop, lalu kunci konter. Itu saja barang berharga Anin dan syukurnya sudah lebih dulu Anin kemas. Yang tertinggal adalah pakaian kesukaan, beragam tas, sepatu, plus make up. Tapi tidak apa-apalah, itu bisa dibeli tanpa harus repot-repot.
Dan untung Anin belum sempat beli motor sendiri, repot bawanya nanti, malas kalau harus balik lagi. Untungnya lagi letak konter cukup jauh dari perumahan papa. Ini Anin naik taksi online, dia pesan saat di pos satpam.
Kok, gini amat, ya, hidupnya?
Rahang Anin masih mengetat, ada air mata yang sedang kuat-kuat dia tahan soalnya. Tak mau menangis. Sesakit apa pun rasa di hati.
Anin cek ponsel. Perlukah dia blokir kontak papa?
Yang pasti dia langsung mengedit foto keluarga saat masih kecil dulu, Anin crop bagian papa, menyisakan dirinya berdua dengan ibu.
Pantas saja ibu sampai menyerah, sampai tak ada keinginan untuk sembuh, sampai tidak bersemangat, lalu drop dan denyut nadinya henti total. Ternyata memang sedahsyat itu luka yang papa goreskan, hingga sosok Anin pun tak bisa jadi pengganti papa untuk penyemangat di hidup ibu.
Agak kecewa, sih. Mengapa dirinya tidak cukup mampu untuk ibu jadikan pegangan. Untuk ibu jadikan opsi terakhir bertahan hidup. Deminya, demi Anin. Ibu tidak menjadikan Anin seperti itu. Sementara sekarang, Anin bahkan bertahan demi ibu. Demi bisa menyuguhkan kehancuran mereka dan rasa sakit ibu terbayar setimpal. Atau paling tidak, demi bisa menampar papa hingga menangis penuh penyesalan di makam ibu.
Anin menunduk.
Sadar bertambah satu alasannya untuk tetap kuat, yakni membalas rasa sakit kepada Viska dan Jayyan.
Oh, sudah sampai. Anin bergegas turun. Dia buka kunci konter, lalu masuk. Tidak ke mana-mana lagi selain melebur di kasur lipat.
Jangan nangis ....
Besok harus tampil cetar.
Tak terasa. Setelah hari di mana Anin pergi ke Suka Maju, saat mendengar Bang Seril dibogem Jayyan, waktu begitu buru-buru berlalu. Tahu-tahu besok hari H pernikahan Jayyan—sang mantan.
Tapi ... ini sangat menyakitkan. Anin kuat-kuat menggigit bibir bagian dalam. Meraih cermin kemudian, menatap pipi yang ternyata memerah, dan itu papa yang berulah.
Harus Anin apakan? Bukan pipinya, tetapi papanya. Harus Anin apakan beliau? Sepaket dengan mantan selirnya.
Diangkat, Anin mendapati ponselnya getar dan ternyata ada telepon masuk dari Bang Seril. Kok, bisa pas begini?
"Halo—"
"Seragam kamu udah jadi."
Baru jadi, yang mana paling terakhir karena menyusul. Selesainya juga mepet deadline.
"Oh, oke. Nanti aku minta ojol buat jemput barangnya, Abang kasihkan aja ke mamang—"
"Saya lagi di kota. Sebentar lagi sampai."
Tunggu dulu!
"Sampai di rumah papa aku?"
"Ya, di mana lagi?"
"Puter balik!" tukas Anin. "Aku udah nggak tinggal di sana, puter balik aja ke konter. Tahu alamatnya, kan, Bang?"
***