Tadinya kami hanya diam tanpa ada yang mau lebih dulu memulai obrolan, krena bagiku b rasanya masih agak canggung. Apalagi tenyata dia adalah pemuda yang sudah kucari selama ini, dan benar-benar nyata. Aku kembali memperhatikannya dari tempat dudukku, dan agak heran kenapa aku tidak pernah melihatnya selama ini.
"Kenapa aku tak pernah melihatmu?"ahirnya pertanyaan itu yang pertama keluar dari mulutku.
Ada senyum miring dari bibir pemihnya sebelum kemudian dia menolehku."Apa kau pernah mencariku, Ems?"
Kenapa pertanyaan itu terdengar seperti lelucon baginya.
Ya, tentu saja, aku mencarinya kemana-mana bahkan hampir gila karenanya, tapi tidak mungkin aku mengatakan hal seperti itu kecuali mungkin dia hanya akan segera mnuduhku gila.
"Bagaimana kalau kita makan dulu, tadi kau bilang belum makan sesuatu." Leon lbali me ngingatkan alasan memalukanku tadi.
Sepertinya aku setuju, bukan karena tiba-tiba lapar, tapi sekali lagi karena begitu banyaknya pertanyaan di otakku dan sepertinya memang tidak tepat membahasnya di jalan seperti ini.
Kami sudah duduk di sebuah restaurant tak jauh dari kampus, restorannya tak terlalu besar tapi menunya terkenal enak, sepertinya Leon juga cukup tau denga kukiner di sekitar sini.
Aku hanya memesan sup kental, meski Leon sempat protes karena menurutnya aku perlu nutrisi lebih. Tapi tak ada gunanya memaksaku, toh hanya menu itu yang bisa mudah kutelan kali ini. Leo memesan steak lengkap dengan kentang dan sayuran, sepertinya dia benar-benar lapar, dan dia sempat kembali menatapku sebelum mengomentarau menu makanan di depannya.
"Maaf aku juga benar-benar belum makan sejak pagi," senyumnya malu tapi sepertinya tak apa dia seperti tipe cowok yang gak terlalu perduli pandangan orang, karena kemudian sudah mulai cuek dan makan lebih dulu.
"Apa tadi?"dia kembali mengajakku ngobrol.
Sepertinya dia kembali mengingatkan obrolan terakhir kami di mobil tadi.
"Kenapa aku tidak pernah melihatmu?"kataku mengulang pertanyaanku lagi.
"Aku tidak tau kau mencariku," sepertimu Leon masih bertahan dengan jawaban yang sama, tapi dia terlihat senang dengan kabar itu.
"Kau mahasiswa?"dahiku mengeryit ketika kembali bertanya.
"Tidak, sudah bukan," dia menggeleng sambil sedikit mengangkat garpunya "aku hanya sesekali kekampus karena ada beberapa orang yang kukenal di sana."
Beberapa pikirku, apa Lola di antaranya.... "Butari"...pikiran itu seperti muncul begitu saja di otakku, seperti pencerahan yang datang tiba-tiba menohok di depan mata ketika aku kembali terhenti untuk menatap Leon.
"Apa hubunganmu dengan But Tari?"tanyaku terus terang.
"Dia Ibuku," jawabnya dengan santai bahkan masih sambil menuauk Brokoli di piringnya dan segera memasukkan nya kemulut.
Tentu saja itu memberiku banyak jawaban. Seperti balon udara yang tiba-tiba dipompa penuh, informasi itu membludak memenuhi otakku hingga pori-pori kulit kepalaku menegang seperti hampir meletus, dan aku yakin leo bisa melihat mulutku masih menganga syok sementara dia masih santai mengunyah makanannya.
"Jadi yang kutemui di gunung itu benar-benar kau!" aku menyadari kebenaran kata-kataku sendiri yang sebenarnya terdengar t***l. Karena dari tadi Leon sebenarnya sudah menyatakan jika kami sudah penah bertemu.
"Ya ,dan kau melaporkanku pada ibuku."____"Kau hampir saja membuat wanita itu mencincangku jadi potongan kecil-kecil dengan pisau daging."
Jelas itu adalah keterkejutan baru yang lurbiasa, "Oh maafkan aku," ini konyol tapi memang benar aku yang melapor ke ibunya. Tapi apa hubungannya dengan mencjncang menggunakan pisau daging?
Akupun segera berpikir kembali dengan cepat.
Butari dan Leon!
Oh, Tuhan....
Pasti pria itu adalah ayahnya, tentu bisa langsung kukenali kemiripan mereka yang sangat kental dari garis gen mereka.
"Berapa usiamu Leon?"
"Pertanyaan itu menyinggungku, Ems."
Sepertinya memang kurang sopan menanyakan umur, tapi aku sedang terlalu banyak ingin tau.
"Sharusnya kau tidak berterus-terang jika tersinggung! " koreksiku dan ternyata Leon tidak marah, malah dia yang lebih dulu tersenyum.
Kenapa dia begitu tampan, bahkan saat sedang pura-pura tersinggung seperti tadi. Aku memang baru sadar jika leon telah nyata hanya sedang menggodaku.
"Ayo habiskan dulu makananmu," Leon menunjuk mangkukku dengan ujung garpunya.
"Sungguh tiba-tiba aku sudah kenyang, Leon" kepalaku menggeleng.
"Akan ku tunggu kau makan karena aku masih mau bertanya."
Leon balas menatapku, tapi kemudian dia kembali memotong daging di piringnya.
Banyak sekali pertanyaan di kepalaku, bahkan aku tidak tau harus memulai darimana. Kugigit bibir bawahku saat berpikir sambil kuperhatikan cara Leon memotong steik,menusuk beberapa kentang dan memasukkannya kedalam mulutnya penuh-penuh agar cepat selesai.
Aku suka sikapnya yang tidak seperti di buat-buat, tapi sepertinya aku akan melihat pemida ini makan dari rombong bakso pinggir jalan dan akan tetap terlihat tampan.
"Jangan melihatku seperti itu,"tegurnya.
"Aku sedang senang, karena baru mengetahui jika ternyata aku tidak gila," kataku jujur dan masih belum mau berpaling untuk memperhatikan leon uang sedang makan.
"Selama ini aku benar-benar meragukan kewarasanku."
Dia mengangkat alis, sambil mengerucutkan bibirnya penasaran ketika memperhatikanku dengan lebih serius lagi.
"Terimakasih sudah menemaniku makan, Ems." katanya sedikit tidak terduga, karena kupikir dia akan bertanya atau menegurkunlagi karena masih tidak mau berhenti melihatnya.
"Apa kau sudah benar-benar selesai dengan makananmu?" Leon mengingatkan supku yang tiba-tiba sudah jadi dingin karena dari tadi aku seperti belum puas memandanginya.
"Aku sudah makan beberapa..."
"Aku hanya tidak mau kao pingsan."
"Pingsan karena melihatmu..." candaku kemudian dan tiba-tiba Leon justru merai tanganku dari sebrang meja.
"Aku senang bisa bertemu denganmu, Ems, " katanya terdengar sungguh-sungguh ketika dia balas menatapku.
"Apa yang kau pikirkan?" tanya Leon.
"Terlalu banyak pertanyaan di kepalaku, dan semuanya tentang dirimu, " jawabku dengan jujur.
"Apa kau tidak ingin memberi tauku?"
Leon bahkan masih menggenggam tanganku dan aku mengangguk.
Sebelumnya aku tak pernah berpikir bisa semudah ini untuk berkata jujur padanya, tapi kali ini hatiku terasa menggelinding dan semakin lama lajunyapun semakin sulit untuk kutahan. Karena Leon sendiri sepertinya juga tipe orang yang mudah mengakrapkan diri sampai kami lupa jika baru bertemu pagi tadi dan tiba-tiba aku sudah bercerita terlalu banyak padanya.
"Jadi benar, tadi kau pingsan karena melihatku?"pertanyaan yang cukup memalukan tapi aku tetap mengangguk untuk membenarkan.
"Ya"aku aku mengakuinya dengan jujur, " tadinya kupikir aku benar-benar sedang melihat setan!"
"Setan !" kutip Leon sambil menunjuk dirinya "maksudmu aku?" matanya bahkan sampai ikut melebar.
"Ya kau mirip dengan setan yang kutemui di gunung dan di surat kabar itu," pasti Leo sudah tau tentang suratkabar itu saat butari ingin menyincangnya dengan pisau daging.
"Kita benar-benar bertemu di gunung," katanya pelan.
"Ya tapi surat kabar itu benar-benar tidak memberiku alasan kecuali kuterima opsi sahabatku Ana bahwa kau hanya setan, atau kewarasanku sendiri yang harus jadi taruhan," bibirku tertangkup rapat.
"Jadi karena itu juga selama ini kau pikir dirimu gila?" Leon hampir ingin tertawa, meski akubtau dia masih coba menahannya.
"Bayangkan saja, bagaimana menurutmu jika setan sialan itu tiba-tiba juga mengikutiku sampai keperpustakaan?"
Tawanya benar-benar pecah...
Dan sepertinya aku pun tidak bisa menghentikannya, karena ini memang konyol.
Oh Tuhan.... dia benar-benar tampan bahkan saat kelepasan tertawa seperti itu pun dia tetap saja tampan.
"Kau suka naik gunung, Ems?" tanyanya setelah berhasil berhenti tertawa.
"Aku mulai tidak yakin, terlebih itu sudah jadi garis keras bagiku."
Dia mengangguk mengerti.... "Sebaiknya tidak," sepertinya dia juga menggeleng untuk dirinya sendiri.
"kau sendiri kenapa melakukan itu, meskipun kau tau ibumu akan mencincangmu?"
Kupikir itu artinya juga tabu baginya. Pasti Butari juga melarangnya.
"Aku hanya sesekali melakukannya, anggap saja untuk menghormati mendiang ayahku, karena kenyataannya memang tak ada makam yang bisa kudatangi."
Saat itu juga aku baru mengerti kenapa Leon mendaki gunung di tanggal yang sama.
"kao selalu melakukannya ?"___ "maksudku di tanggal yang sama?" ta yaku untuk sekedar memastikan.
Dia mengangguk "Beberapa tahun yang lalu, Ya"____"tapi kedepannya sepertinya tidak bisa lagi!" dia melihatku dengan mengernyitkan dahi, "ingat ada yang siap membawa pisao daging jika aku sampai berani melakukannya."
Oh...aku merasa ikut andil kalau begitu"_____"maafkan aku karena sudah jadi tukang pengadu, tapi sunggub bukan maksudku..."
potongnya "bukan apa –apa Ems ...dia ayahku, jika kami mirip itu juga bukan salahmu."
Setelah itu sepertinya aku mukai berpikir untuk diriku sendiri, hi gga tanpa sadar jari telunjukku sudah berputar-putar membentuk pola lingkaran pada dinding gelas lemon teaku yang berkabut.
"Apa yang kau pikirkan?" kalimat itu seperti kembali menarikku ke dunia nyata, dan seorang pemuda yang sangat begitu menawan entah sejak kapan sepertinya dia sudah memperhatikanku.
Netra birunya itu kadang terlibat gelap, dalam, sampai rasanya tubuhku bisa ikut tertelan didalamnya. Bahkan aku perlu mengerjap beberapa kali sampai akhirnya kesadaranku berhasil muncul kembali kepermukaan dan aku hanya menggeleng, entahb untuk pertanyaan yang mana. Karena jujur saja aku sedang tidak bisa terlalu menyimak pertanyaan Leon.
"Sebaiknya kuantar kau pulang," kata Leon kemudian dan aku menganggumu setuju setelah perdebatan kecil, karena Leon bersikeras untuk membayar semua makannaya.
"Ayo," aku mengikutinya berjalan menuju mobilku yang terparkir di halaman tak terlalu jauh dari pintu restoran.
Tempat tinggalku juga sudah tak terlalu jauh, tinggal dua blok dari sini'. Leon mengendarai mobilku dengan tenang tak terlalu terburu-buru, bahka akau sempat berpikir jika dia juga sengaja ingin berlama-lama denganku.
"Ke kiri," leo memutar kemudinya mengikuti instruksiku dengan patuh, "rumah no sembilan," kepalanya condong kedepan, matanya mengawasi nomor pagar rumah yang kami lalui.
"Ini," senyumnya seketika mengembang saat menolehku dengan mengkat alisnya.
"Parkir disini saja," kami sudah ada di halaman rumah, aku turun lebih dulu dari mobil dan Leo mengikuti.
Tadinya kupikir dia akan singgah barang sejenak.
"Aku langsung pulang, Ems.."
Aku berbalik sedikit terkejut saat dia sudah mengulurkan kunci mobilku.
"Oh tunggu, biar ku pesankan taksi,"tanganku segera sibuk merogoh ponsel dalam tas jinjingku.
"Tidak perlu, aku bisa berjalan sampai kedepan dan naik angkutan umum saja." tolak Leon.
Memang takterlalu jauh sekitar tiga rumah, tapi membayangkan dia harus berjalan apalagi sampai naik angkutan umum, tiba-tiba halnitj membuatku merasa bersalah.
"Apa kau bawa saja mobilku," kutawarkan lagi kunci mobil yang masih menggantung di tanganku.
"Mobilku masih ada di kampus," kata Leon.
oh... bertapa bodohnya aku, jika sampai lupa dia juga membawa mobil.
"Benar tidak apa-apa?"
"Berjalan dua puluh meter tidak akan membuatku pingsan, Ems." Leon kembali tersenyum miring untuk menggodaku dan kuakui hatiku sempat ikut bergelepar hangat tiap kali mendengar pemuda ini hanya menyebut namaku. Rasanya seperti sudah begitu akrab seolah kami bukan baru kenal tadi pagi.
"Apa kita bisa bertemu lagi, Leo?"
"Ya, tentu saja!"____"kau juga sudah menyimpan nomer telfonku kan?"
"Ya," tadi kami sempat bertukar nomer telfon saat di restoran.
"Aku akan menelfonmu," katanya kemudian dan sepertinya aku juga sudah tidak sabar.
"Aku akan menunggu, " jawabku terlalu jujur dan semoga saja Leon tidak berpikir aku aneh. Tuhan maafkan aku karena terlalu menyukai pemuda ini..
Aku mengantar Leon sampai di pintu gerbang dan melihatnya berjalan sampai kejalan raya.