Aku terbangun dengan bayangan samar ruangan putih dan aroma lemon yang bercampur desinfektan.
Ternyaya aku terbaring di ranjang yang sempit dan menimbulkan bunyi berdencit saat aku bergerak. Kesadaranku pun mulai pulih, ruangan seperti rumah sakit ini aku tau masih ada di kampusku. Karena aku pernah beberapakali kesini, bukan untuk diriku tapi untuk Ana yang entah bagaimana anak itu gampang tersandung.
Tiba-tiba aku teringat peristiwa terakhir yang mungkin menyeretku keruangan ini... oh...sepertinya otakku kembali tumpul untuk di ajak berpikir masuk akal.
Buru-buru aku turun dari ranjang, dan berdiri pun ternyata tak cukup stabil, rasanya buruk karena masih sedikit limbung. Aku segera berpegangan pada kepala ranjang, dan besinya terasa dingin di telapak tanganku. Pelahan tanganku menyusuri dinding saat berjalan, hanya untuk berjaga-jaga karena kurasakan lututku memang masih terasa lemas, segera kubuka tirai yang sedari tadi mengitariku layaknya sangkar di dalam ruangan yang sejatinya berisi tiga ranjang. Hanya ada aku sendiri desana karena klinik kampus memang jarang kedatangan pengunjung.
Di sana, tak terlalu jauh di meja perawat jaga, ada dua orang terlihat sedang ngobrol dengan akrabnya. Salah satu seperti baru saja melemparkan lelucon hingga membuat mereka tertawa bersama. Sangat ganjil rasanya, tentu aku sudah mengenal petugas medis itu karena aku pernah minta perban beberapakali padanya.
"Hay...kau sudah bangun?"
Kedua pasang mata itu sepertinya tak terlalu terkejut begitu menyadari kehadiranku.
Aku juga tak terlalu rabun untuk sekedar mengenali sosok pemuda yang baru ikut membalikkan badan kerahku. Salah satu tangannya masih bertumpu pada meja di depan tempat duduk perawat jaga yang kukenal itu ...oh Tuhan apa aku akan pingsan lagi..........kuingatkan tanganku untuk tetap berpegangan pada kusen pintu, sekedar berjaga-jaga siapa tau aku pingsan lagi.
Pemuda itu memiringkan kepalanya curiga dan segera berjalan cepat mendekatiku.
"Kemarilah dan jangan bilang kau pingsan karena melihatku," tangannya sudah terulur menyambutku, aku masih linglung dan berulang kali ragu dengan kewarasanku.
Kulihat petugas medis itu tersenyum kearahku, dia mengangkat alis mungkin heran melihat sikapku. Ternyata aku satu-satunya orang yang aneh disini.
"Emily," suara itu menyebutku dia begitu jelas dan nyata bahkan garis wajahnya masih terlalu sempurna dalam ingatanku, tapi tak seindah ini sebelumnya, dan tiba-tiba lututku kembali terasa lemas.
"Ya, Tuhan... kau benar-benar mau pingsan lagi..."kehawatiran itu terasa nyata, dan tiba-tiba kurasakan otot lengannya sudah menopang setengah berat badanku.
"Lola sepertinya kita butuh sesuatu!" katanya setengah meneriaki nama petugas medis itu dengan begitu akrabnya....mereka sudah saling kenal tentu saja......
Pemuda itu berhasil menyeretku sampai ketempat duduk yang menempel di dinding, Lola berjalan menghampiri kami dengan segelas teh hangat.
"Minumlah," pemuda itu menarik gelas itu dari tangan Lola bahkan tanpa merasa perlu untuk menoleh gadis ber seragam putih itu.
Kejadiannya tak persis sama, tapi rasanya seperti dejavu.
Untuk beberapa saat kutarik nafas untuk menenangkan diriku sendiri dan kulihat pemuda itu sepertinya juga masih enggan meninggal kanku, "Aku tidak akan pingsan lagi" kataku, karena membiarkannya terlalu dekat seperti ini ternyata justru membuatku sulit untuk berkonsentrasi.
"Bagai mana...?"katanya menunggu jawabanku.
"Kurasa lebih baik."
Seulas senyum melintas menyentuh garis matanya yang ikut menyipit.
Ya, Tuhan.....tidak bisa kubayangkan apa ingatanku bisa sesempurna ini jika harus mengingatnya.
"Maaf,sepertinya aku belum sarapan..." terpaksa kulemparkan alasan memalukan itu, karena aku juga tidak mau dia benar-benar mengira aku pingsan hanya karena melihat wajah rupawannya.
"Aku Leon," dia mengulurkan tangannya.
Aku baru sadar, ternyata saya lama ini aku baru tau namanya....
"Emily," kataku dan dia hanya tersenyum saat kusambut uluran tangannya. Apa mungkin ada dari ucapanku yang sepertinya terdengar lucu baginya...tentu saja dia tau namaku sama seperti kebanyakan orang di seluruh kampus ini...semuanya bahkan fasih menyebutkan nama belakangku.
Coba kupikirka Ana...bagaimana jika dia sampai mengetahui semua ini?
Aku bertemu Leon, namanya Leon, ingatku lagi.
"Bisa kuantar pulang?" tanya Leon
Aku belum berpikir untuk pulang, tapi sepertinya itu tawaran yang cukup masuk akal mengingat kondisiku seperti ini.
"Oh, tidak, aku bawa mobil sendiri."
"Bisa kita bawa mobilmu jika mau," dia bahkan menawar tanpa sungkan.
Terlalu banyak yang kupikirkan untuk beberapa saat, diantaranya yang paling mendominasi adalah aku hanya ingin lebih lama bersamanya,dan pasti akan ku jawab ya,tapi belum kutemukan alasan yang tepat untuk tidak membuatku terlihat bodoh.
Kedua Netra biru jernih itu terlihat gelisah, sepertinya mulai tak sabar menunggu jawabanku.
"Oh, ayolah Ems, sebenarnya aku tak sepenuhnya asing bagimu bukan?" Leon bahkan mengedikkan bahu saat kemudian merentangkan dirinya seperti menuntut untuk di kenali.
Oh Tuhan !!! kurasa dia benar -benar orang yang sama, dan masih mengingatku, otakku sontak terhenti dalam kepalan kosong namun aku tetap mengangguk.
"Jadi bisa kuantar kau pulang?" tanyanya lagi dengan cukup antusias.
Terserah apa saja yang penting aku bisa lebih bihblama bersamanya. Karena ada begitu banyak pertanyaan yang tiba-tiba memenuhi seluruh kelenjar otakku, yang pastinya sedang menuntut untuk segera dipuaskan dengan serakah, dan kupikir kesempatan langkan seperti ini juga tidak akan datang setiap hari.
Dia sudah menyambar tas dan bawaanku dari meja di sebelah Lola, gadis itu Nampak bingung dan hanya menatap kami dengan heran.
"Leon," saat pertama kali mengucapkan nama itu rasanya agak aneh di lidahku.
"Ya," dia menoleh kearahku dan telah senyum lagi.
Entah kenapa menurutku dia yang ingin buru-buru memulangkanku.
"Tunggu!"
Dia berjalan kembali menghampiriku dan kami berjalan bersama melintasi Lola yang sempat melemparkan senyum dan tangan Leon melambai kebelakang untuk Lola.
"Bagaimana nanti kau akan kembali?"kataku begitu baru menyadari kami sudah ada di tepi lapangan parkir.
"Aku bisa naik taksi atau angkutan umum juga tidak masalah."
"Oh...aku akan merepotkan," aku hanya merasa tidak enak.
"Tidak," Leon menoleh untuk melihatku, dan kemudian kembali tersenyum. Bahkan sampai saat itu akuasih tidak percaya jika seorang manusia bisa semenawan itu dan sangat mengganggu.
"Di mana mobilmu?"
"Itu yang merah," tunjukku dan tidak terlalu sulit menemukannya. Kuserahkan kunci mobilkuboada Leon.
"Tunggu disini biar kuambil."
Leon sudah melompat menyebrangi lapangan parkir dan meninggalkanku menunggu di tepi koridor. Tak lama dia sudah kembali dengan membawa mobilku, bahkan dia turun untuk membukakan pintu untukku.
Leon sudah membelokkan mobil kearah jalan raya keluar dari area kampus melewati jalan tunggal sebelum pertigaan di depannya.
"Kemana?" tanya Leon kemudian.
"Kanan," jawabku.