BAB 6

1530 Kata
Satu lompatan besar dalam hidupku ketika ternyata aku bisa kembali melaluinya. Meski tidak mudah untuk lepas sepenuhnya dari bayang-bayang itu, tapi sepertinya aku mulai terbiasa dengan awan mendung yang mengikutiku.   Jadi kalau kau tidak bisa menghindarinya, maka sebaiknya kau membiasakan dirimu saja!   Karena begitulah cara mengalahkan keadaan dan aku mulai mempelajarinya sekarang.   "Apa menurutmu aku mirip remaja yang sedang patah hati?"   "Paling tidak aku senang karena lo gak bergaul sama anak-anak mapala itu lagi! " ketus sahabatku Ana.   Ya, sejak kejadian itu memang hanya sikap tersebut yang bisa kuambil. Rasanya aku memang ingin membuang ingatan jenis apapun yang berpotensi menyakitiku, kecuali aku memang ingin benar-benar gila.   "Kau bisa menemukan pria di manapun yang lebih bih nyata dan kau akan segera melupakannya!" tegas Anna. "Karena jika aku tau akhirnya dia juga hanya bisa membuatmu seperti ini pasti dari dulu aku tidak akan pergi nah mendukungmu. " "Semenawan apapun pemuda itu, dia tetap setan !!! "   Setan istilah yang tiba-tiba jadi lebih popular di ucapkan sobatku Anna belakanganini, sepertinya kata itu memang bisa memberikan kepuasan atao semacamnya. Karena aku tadi dia juga sedang kesal.   Sudah sering kubilang ...Anna lah satu-satunya orang yang bisa mengerti diriku dengan seluruh humor dan kekonyolannya, aku suka sahabatku yang satu ini karena dia memang akan selalu ada untuk mendukungku.   "Sekarang bagaimana?"   Aku tau kemana arah pembicaraan kami sekarang.   "Aku akan menikah setelah sekripsiku selasai."   Mulut Ana menganga.   Beberapa bulan terahir ini Ana benar-benar keheranan menilai perubahan-perubahan mendadakku yang tiba-tiba menjadi mahasiswi paling rajin dan setengah gila-gilaan menyelesaikan sekripsi yang tadinya menjadi barang paling haram untuk kusentuh. Selama ini dia memang hanya diam mengikuti perkembangan mentalku, dipikirnya cukup wajar jika aku jadi lebih sering menyibukan diri untuk mengalihkan perhatian.   Karena agaimanapun aku butuh pelampiasan dan Ana pun setuju dengan pemikiran itu.   Beberapa minggu belakangan ini dia mulai jengkel dengan sikap acuhku dan ternyata aku baru tau jika gadis bertubuh kecil itu bisa meledak-ledak juga.   Kusingkirkan buku-buku tebalku untuk lebih berkonsentrasi ke wajah keruh sahabatku yang menghawatirkan karena jika kubiarkan aku takut kerut-kerut di dahinya itu benar-benar akan menjadi keriput permanen.   "Apa yang bisa ku harapkan .... Aku memang hanya bisa pasrah mengikuti keinginan orang tuaku, dan memang tidak pernah ada pulihan."   "Entahlah, atau seharusnya aku merasa beruntukng karena orang tuaku sudah mempersiapkan segala hal untuk ku, bahkan siapa yang layak menikahikupun sudah mereka tentukan jauh-jauh hari bahkan mungkin sebelum aku lahir." Ana hanya cemberut mendengar kata-kata ku. "Aku akan menikah dengan siapapun orang itu, dan kurasa orang tuaku juga tidak mungkin menjodohkan putri semata wayangnya dengan pria cacat." Yang jelas sekarang sepertinya aku memang sudah bisa menerima dengan lebih lapang d**a dengan siapapun aku nanti harus menikah.   Perjodohn itu sudah bukan mantra asing lagi di telingaku, Bahkan aku sudah mengetahuinya sejak mungkin saat usiaku belum genap dua belas tahun jadi sebenarnya aku sudah sangat terbiasa dan bukan waktunya untuk cemas lagi.   Aku tau jika semua rencana itu sudah disusun rapi oleh orangtuaku, dan selama ini aku sendiri juga tidak pernah ambil pusing. Latar belakan keluargaku yang membuatku yakin itu tak lebih dari sekedar pernikahan polotik belaka. Tidak adanya keturunan lain dikeluargaku selai aku si anak perempuan, dan orang tuaku pasti ingin penerus politiknya, yang jelas bukan aku tentunya. Bukan rahasia lagi meskipun imansipasi sudah diteriakan ribuankali tapi tetap saja sosokpemimpin perempuan masih saja dianggap tabu bagi sebagian orang di negri ini.   Aku sendiri sudah biasa menghadapi keputusan yang sering terlalu kelewat otoriter dari orang tuaku, sampai kadang aku berharap ingin menjadi Putri dari keluarga biasa saja. Menjadi anak politisi terkenal memang lebih sering gak ada enaknya, bahkan semua tentang diriku sudah seperti tercetak dalam lembar hitamputih bermatray. Kenapa mereka tidak pernah sadar jika aku hanya anak perempuan, bukan barang jaminan atau investasi.   Aku sudah terlalu lama menjalani kehidupan seperti itu dan sekali lagi akh belajar jika tidak ada pilihan lain selain membiasakan diri.   Ana masih memperhatikanku, menunggku bicara lagi.   "Bukannya dulu kau juga sering bilang, siapa tau kisahku nanti akan berahir seperti fairytale story," senyumku masam.   Ingat dulu Ana sering menghiburku tentang perjodohan ini, bukannya tidak mungkin kisahku nanti akan berahir seperti kisah anak -anak mantan presiden kita bapak SBY yang mendapatkan pernikahan bahagia dengan anak-anak rekan politiknya.   Tapi saat itu aku masih yakin bisa menemukan malaikat penyeamatku yang kurasa orang tuaku tidak akan pernah bisa menolaknya dengan berbagai alasan apapun, karena dia tetap orang yang membuat putri sematawayangnya ini masih hidup sampai sekarang. Tapi saat aku tau harapan itu hancur akupun tinggal bisa pasrah dengan nasibku, lagipula memang tidak ada yang kuinginkan lagi.   Muka sahabatku itu masih keruh seperti ikut diselimuti mendung yang tidak juga turun hujan.   "Bukankah seharusnya aku yang paling merana disini?" koreksiku karena sepertinya justru Anna yang lebih banyak mengomeliku belakangan ini.   "kau tidak seperti dirimu, Ems," kata Anna kemudian da jujur saja kalimat singkat nya itu kembali mendorongku pada kenyataan..   Selama ini yang ku tau, aku hanyalah gadis penurut dengan jiwa sedikit pembangkang didalam dirinya. Aku di besarkan dengan tidak pernah luput dari pengawasan orang tuaku, dulu kupikir mungkin karena aku anak tunggak jadi wajar jika mereka jadi agak over protektif terhadapku.   Seiring pertambahnya usiaku mulai kusadari jika perhatian berlebih itu mulai menggangguku, tak ada yang hebat dari masa mudaku pada ahirnya karena selalu di atur dan di batasi.   Bahkan saat memasuki dunia perkuliahanpun aku hanya disodori pilihan universitas lokal yang intinya tak membawaku jauh dari orangtua....anak seperti apa yang mereka harapakan sebenarnya?   Saat kupilih sebuah kampus di bandung tadinya kupikir orangtuakupuntidak akan bakal setuju. Tapi cukup ajaib karena ternyata papaku sendiri yang meluluskan keinginanku...   Padajal keinginanku yang sebenarnya juga takberharap terlalu muluk. Bandung dan Ibukota bagiku sudah cukup untuk merentangkan jarak di antara orang tuaku yang lama-lama kurasa seperti penguntit seumurhidupku!   Di hari pertamaku sebagai mahasiswa itulah kutemukan sahabatku Ana, satu-satunya orang yangkukenal selain Bimo. Aku dan Bimo sudah jauh lebih dulu saling mengenal karena kami sudah satj SMU srjak di Jakarta. Bimo juga putra dari seorang pejabat tak heran kami tumbuh cukup dekat karena pertemanan orangtuankami. Bimo sampai sampai imut kekota kembang ini juga hanya untuk mengikutiku meski orangtuanya bersikeras agar dia melanjutkan kuliah di luar negeri, tapi sepertinya anak itu tetap tidak peduli.   Sampai bencana itu datang aku kehilangan Bomo, dan menjadi gila karena ingin menemukan malaikat penyelamatku yang belakangan ini lebih sering disebut Ana sebagai setan....   Terlanjur mati rasa toh tak ada bedanya aku harus melangkah kearah mana setelah ini.... Sebagai anak baik akan kuselesaikan sekripsiku selain karena memang hanya hal itu yang bisa mengalihkan perhatianku.   Aku tau Ana sebal dengan perubahan sikapku yang pesimis belakangan ini.   Bahkan sudah kubuat daftar kasar kegiatanku selama seminggu kedepan...hal macam itu tidak mungkin kulakukan kalau bukan karena aku yang udah kelewat penganggurang luarbiasa. Skripsiku sudah hampir selesai dan sudah kurang efektif lagi untuk mengalihkan perhatianku. Terlintas beberapa ide untuk coba menemui psikeater mungkin saja aku memang membutuhkannya. Mungkin akan segera kupikirkan lagi untuk minggu depan.   Hari ini sebenarnya aku tidak ada mata kuliah tapi kuputuskan untuk datang kekampus sekalian ada beberapa buku yang harus kupinjam dari perpustakaan, benda itu kubutuhkan untuk melengkapi skripsiku. Sepulangnya dari kampus mungkin akan ku telfon Ana dan mengajaknya makan diluar, sepertinya ide yang cukup cemerlang untuk mengatasi sikap sewotnya beberapa minggu ini.   Karena aku sudah berencana untuk makan diluar kuputuskan tidak perlu membuat sarapan dan aku langsung meluncur ke kampus pagi-pagi. Agak mengherankan karena akuanh tidak pernah seperti ini, bahkan saat ada mata kuliah pagipun aku tidak pernah sekalipun pergi di bawah jam delapan.   Halaman parkir masih lengang saat aku datang, hanya ada beberapa mobil di lajur sebelah kiri. Aku memarkir mobilku di ujung halaman parkir yang masih sangat kosong, dari sana aku menhambil jalan memutar karena memang paling dekat dengan tujuanku, yaitu gedung perpustakaan.   Masih terlalu pagi dan udaranya sejuk.   Penjaga perpustakaan yang mulai bersikap ramah padaku langsung menyapa begitu aku memasuki pintu dia tersenyumnya segar, mungkin pengaruh udara pagi ternyata memang cukup positif, mingkin aku memang harus lebih sering melakukannya.   Aku berjalan menuju rak buku dengan kategori yang kucari.   Belakangan tumpukan buku-buku terlihat lebih menarik, benar-benar diluar kebiasaanku dan takterasa sudah hampir satu jam aku duduk dan menghabiskan hampir lima bab pertamaku. Kuputuskan untuk meminjam buku tersebut kemudian mulai membuat daftar lagi di kepalaku, mengenai buku apa lagi yang sepertinya akan ku bawa pulang.   Aku sudah berdiri di antara rak yang agak jauh dari tempat dudukku tadi, karena ini masuk kategori buku yang jarang di cari, tak heran jika letaknya agak di sudut dan sepi. Kudapati hanya diriku sendiri yang sibuk disana, mataku melintasi beberapa judul buku dan berharap segera menemukan yang kucari karena jujur saja lorong sepi yang terlalu sunyi itu membuatku tiba-tiba merasa tidak nyaman. Beberapa kali aku menoleh ke belakang karena rsanya seperti ada yg mengikutiku, tengkukkupun mulai merinding sangking paranoidnya. Hal yang sebenarnya jarang kurasakan tapi saat kembali kutoleh kesekeliling memang benar-benar sepi, bahkan bisa kudengar hembusan nafasku sendiri dan gesekan antar buku yang kutarikpun tiba-tiba terdengar lebih nyaring.   Nafasku melambat ketika ku dengar langkah kaki mendekat dari belakanki dan saat aku menoleh sosok itu sudah ada di depanku...   Dengan sangat jelas, bersih dan cemerlang.   Entah pengaruh aku belum sarapan atau apa.... Aku yakin bukan tipe orang yang gampang pingsan tapi sepertinya kali ini aku memang akan pingsan   Oh dosa apa akun ini ? Sampai setan itupun mengikutiku ke perpustakaan!!! ******    
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN