Tiap kali kuingatkan diriku untuk melupakannya, tapi tiap kali pula keingin tauanku justru semakin menjadi-jadi.
Antara batas samar yang bisa kuterima atau tidak. Karean belakangan juga mulai ada rasa frustasi yang mengambang dari rasa keingintauanku tentang bagaimana kebenaran itu akan mengalir dari mulut Bu Tari, dan bayangan itu selalu cukup menggoda untuk kupikirkan.
Sekarang yang tersisa tinggalah keberanianku sendiri.
Menemui Bu Tari atau membiarkan rasa penasaranku semakin membesar layaknya lobang hitang yang mungkin lama-lama akan menghisapku.
Rumah itu sepi padahal menurut pengamatanku beberapa hari terakhir ini seharusnya saat ini Bu Tari sedang ada di rumah. Setelah sisa keberanianku yang timbul tenggelam, akhirnya kuputuskan keberaniakulah yang mendapat uplouse meriah. Karena tiba-tiba aku sudah berada di halaman rumah dosen fakultas hukum itu, yang sepanjang sejarahnya seperti sudah menjadi musuh alamiku.
Oh Emily...jaga kewarasanmu, batinku mengingatkan.
Satu-satunya alasan kenapa aku memilih menemuinya di rumah, tak lain karena jika keadaan memburuk dan mengharuskan kami sampai harus berkelahi sekalipun sepertinya peristiwa itu tidak perlu menjadi tontonan seluruh kampus. Tentu aku sudah tak butuh sensasi lagi untuk membuat namaku lebih viral.
Halaman rumah Bu Tari tak terlalu luas, ada banyak bunga dalam pot-pot kecil yang ditata rapi sepertinya sangat terawat, terlihat sekali bahwa pemiliknya memiliki banyak waktu luang. Kulihat beberapa jenis mawar dan anggrek dalam pot-pot tanah yang tergantung dengan rapi di sekitar teras. Hanya perlu beberapa langkah dan aku sudah sampai di depan pintu rumah Bu Tari yang masih tertutup dan nampak sunyi. Rumah tersebut lumayan besar jika sebenarnya wanita itu hanya tinggal sendiri tanpa sanak keluarga seperi yang sering di bicarakan anak-anak di kampus.
Tok…! Tok…! Tok…!
Bahkan tak ada bel di pintu, jelas sekali jika pemiliknya yang anti sosial itu juga jarang menerima tamu, benar-benar rumah yang cocok dengan kepribadian sang tuan rumah. Sunyi, sepi dan agak seram.
Kutunggu lagi beberapa saat, tadinya aku sudah berniat untuk mengetuk pintu tersebut sekali lagi jika bukan karena tiba-tiba kudengar suara langkah kaki yang sepertinya mendekat, dan tak lama pintu besar itu pun terbuka.
"Emily!" kulihat mata Bu Tari langsung melebar.
Hampir kudapati reaksi yang sama dalam diriku sendiri, yaiyu shock!
Dia barusaja menyebut namaku!
Tapi, bukankah seluruh kampus memang tau namaku.
Tadinya malah kupikir Bu tari malah akan menutup pintunya kembali. Tapi ternyata tidak, dia justru mempersilahkanku masuk. Bahkan sebelum aku mengucapkan sepatah katapun untuk membalas sapaannya.
Tubuh langsingnya berputar membimbingku untuk mengikutinya, dan dia mengajakku berjalan menyebrangi ruangan luas denga satu set sofa dengan warna gading lembut. Tangan Bu Tari melambai mempersilahkanku duduk di sana.
"Duduklah."
Mataku menyebrangi seluruh ruangan yang takterlalu banyak perabot tersebut. Cukup praktis dan fungsional hanya itu yang bisa kutangkap. Mataku kembali pada sosok yang sekarang masih berdiri takjauh dariku.
Menungguku bicara sepertinya.
"Maaf,"aku mengedikkan bahu, "mungkin kedatanganku mengganggu, Anda?" tak ada salahnya kutanyakan itu terlebih dahulu.
Bu Tari justru menggeleng dengan senyum ramah yang tidak pernah kubayangkan bisa keluar dari wajah kakunya yang kukenal selama ini. Seperti ada sesuatu yang juga baru kusadari. Karena sebenarnya jika di rangkum dari awal Bu Tari memamg nampak lebih lembut dan sangat kontras dengan keseharian yang dia tunjukkan di kampus, dan bibirku mulai berkedut Ya, Tuhan… apa aku gugup?
Bu Tari sudah duduk takjauh datiku dan kami saling berhadapan, jelas kulihat gelagatnya seperti ingin sekali menyentuhku. Aku sempat merinding membayangkan tuduhan Anna tentang perawan tua itu.
"Maaf aku hanya ingin menanyakan sesuatu, kuharap ini tidak mengganggu Anda," kataku buru-buru karena mulai tidak tahan dan ingin seger kabur dari tempat itu.
Kuambil buku jurnal dari dalam tas srempangku, kukeluarkan selembar gambar dari surat kabar harian yang sengaja kusimpan beberapa hari lalu.
Tanganku terulur menyerahkan gambar sederet orang di mana Bu Tari adalah salah satu di antaranya.
Kuperhatikan saat matanya menyipit, begitu mengenali benda yang kuberikan. Wajahnya setengah miring bukan untuk memperhatika foto tersebut melainkan untuk memperhatikan ku!
"kupikir Anda ada dalam salah satu foto tersebut," kataku kemudian.
Matanya kembali memperhatikan, foto di tangannya, tapi jika melihat dari reaksinya aku tau hal itu sudah tak mengejutkan lagi baginya. Jadi kesimpulan yang bisa kuambil, seperti benar, aku tidak menemui orang yang salah. Mungkin memang Bu Tari pemilik foto-foto itu sebelumnya.
"Dari mana kau mendapatkan ini?"suaranya masih tenang ketika balik bertanya padaku dengan kejelian seorang ahli huku.
"Aku tak sengaja menemukannya beberapa hari lalu."
Dia hanya mengangguk pelan untuk dirinya sendiri dan kemudian kembali melihatku.
"Kupikir Anda kenal dengan beberapa orang tersebut?" tanyaku terus terang.
"Ya, tentu,"jawabnya mantap dan matanya masih mengawasiku dengan jeli.
Sekali lagi kuingatkan diriku, kau tidak salah, Ems!
"Apa Anda mengenal pemuda yang berdiri didekat Ada itu?" tambahku, "yang berjaket biru. "
"Ya.." bahkan dia hanya melihat foto itu sekilas dan kembali melihatku dengan ekspresi dingin. Sangat kontras jika di banding dengan sambuatan hangatnya tadi.
Ada kelegaan dan kecemasan yang bersamaan menjalari tubuhku. Tapi aku yakin akan mendapatkan jawaban.
Bukannya kau tidak menyadari perubahan itu, karena beberapa saat kemudian tiba-tiba Bu Tari justru terlihat murung.
Oh, Tuhan... bodohnya aku.
Seharusnya juga kupertimbangkan resiko seperti ini sebelumnya, karena bukannya tidak mungkin aku justru hanya akan menggoreskan kembali luka lama -yang mungkin sudah coba di kuburnya dalam-dalam.
Sebuah Kristal bening baru saja meluncur jatu dan buru-buru dihapusnya dengan punggung tangannya yang bergetar.
Ya, Tuhan.... sekalilagi ingin kukutuk diriku sendiri dalam hati.
Bu Tari menangis, benar-benar pemandangan yang tidak pernah bisa kubayangkan sebelumnya.
"Maaf, aku tidak bermaksud untuk..."
Kalimatku terputus ketika matanya mengerjap dan kepalanya bergeleng.
"Bukan apa -apa," kata Bu Tari, seperti untuk meyakinkan dirinya sendiri dan kulihat beberapa kali kepalanya masih menggeleng. Jelas sekali jika hal itu masih sangat berat baginya.
"Seharusnya aku tak menanyakan ini," sesalku lagi, dan sudah sangat terlambat.
"Tidak apa-apa," katanya kemudian, meski kulihat kedua manik matanya masih berkaca-kaca.
"Apa yang ingin kau ketahui?" tanya Bu Tari.
Kata-kata itu seperti menendangku dengan gamblang. Ketenangannya sepertinya memang sudah kembali. Begitu pula dengan kesadaranku dan segera kembali kupikirkan apa sebenarnya yang benar-benar ingin kuketahui? Tapi saat itu tiba-tiba aku justru bingung.
"Kau repot-repot datang kesini tentu bukan hanya untuk memberiku benda ini kan?" tanya Bu Tari sambil melambaikan kertas yang masih di tangannya.
Kuanggukkan kepalaku, tapi masih ragu. Mata Bu Tari berkilat mengawasiku, satu urat sudut matanya tertarik menyipit, dan dalam sekejab dia sudah kembali mirip dengan Dosen fakultas hukum yang sering kulihat di kampus.
"Aku tau mungkin Anda akan berpikir bahwa aku sudah gila, tapi aku yakin pernah bertemu pemuda itu!"
Sepontan mulut Bu Tari menganga diikuti keterkejutanku sendiri.
Namun buru-buru dia kembali memperbaiki sikapnya, "Pasti orang lain yang kau lihat."
Aku menggeleng yakin, "Ibu ingat peristiwa yang menimpaku satu tahunlalu?" hampir seluruh dunia tau peristiwa itu dan kurasa Bu Tari juga belum lupa. "Kupikir dia lah yang telah memyelamatkanku, pemuda itu sama persis bahkan dengan jaket yang sama dan aku tau mereka juga bertiga," tambahku dengan hati-hati dan siap jika BuTari akan menuduhku gila.
Kulihat tangan Bu Tari mulai bergetar ketika mecengkram ujung sofa.
"Aku tidak berharap Anda untuk percaya, bahkan aku sendiri sudah berulang kali berpikir mungkin aku memang sudah gila," selama ini memnag tidak pernah ada yang mempercayaiku.
"Aku mengerti," kata Bu Tari tiba-tiba "aku juga pernah merasakan hal yang sama," kejujuran itu agak mengejutkanku, karena aku tau Bu Tari tidak sedang bercanda tentang hal ini. "Saat itu semua orang juga tidak mempercayaiku," lanjutnya dengan suara tenang dan matanya terlihat dalam, seperti sedang menyelami kenangan lama dalam hidupnya.
"Dua puluh delapan tahun yang lalu, bahkan aku masih ingat persis hari itu,"pikirannya mulai menerawang, "tapi tidak ada yang percaya, meski aku sudah teriak-teriak tidak ada yangpercaya, tapi aku yakin mereka bertiga memang pergi mendaki di saat badai itu."
Butari menunduk berusaha menyembunyikan genangan air matanya yang kembali meluncur jatuh terrurai tanpa bisa ia cegah.
Artinya selama ini memang tidak ada yang tau jika mereka bertiga mengalami kecelakaan saat pendakian dan hanya Bu Tari yang percaya hal itu, seharusnya aku sudah tau dari berita itu dari potongan-potongan artikel yang telah dikumpulkan oleh Butari jika aku memang benar-benar menyimaknya dengan waras. Tiba-tiba sekarang aku sendiri merasa sangat bodoh dan menyedihkan.
"Bukan salahmu Ems," tangannya terulur meraih jemariku yang bergetar, "jangan berpikir tentang dirimu seperti itu, mungkin kau memang melihatnya," hanya itu yang disampaikannya untuk menenangkanku.
Oh, Tuhan… kenapa tiba-tiba sekarang justru aku yang merasa sangat membutuhkan pertolongan?
Semua ini memang telah memberiku jawaban, jika teori Ana benar, maka akulah yang benar-benar gila sekarang ini.
Bertemu hantu setan atau semacamnya benar-benar sesuatu yang tidak bisa kuterima.
Hatiku yang semula masih sempat terombang-ambing sekarang memang sudah harus belajar berlabuh pada kenyataan.
Dia sudah tidak ada_____lama bahkan sebelum aku lahir!
Mungkin memang hanya kegilaanku yang membuatku merasa sudah memiliki ikatan dengannya. Bahkan sekarang rasanya aku masih tidak rela jika dia tidak nyata, dan aku juga tak peduli karena sudah menagis di depan Bu Tari.
"Biar kuambilkan sesuatu untukmu, mungkin kau butuh mimum."
Kata Bu Tari ketika coba menenangkanku.
*****