"Tidak persis seperti itu," tepisku.
"Lalu kenapa? apa dia tidak mengenalimu?" mata Ana memicing dengan senyum miring yang terlihat aneh.
Kutarik selembar kertas dari bawah tas jinjingku dan menyodorkannya ke depan Ana. Gadis itu terlihat bingung dengan mata bulat dan dahi berkerut mengawasiku.
"Apa ini?" tangannya mengangkat secarik kertas itu kemudian kepalanya tertunduk kembali memperhatikan sederet foto dari halaman koran harian yang sengaja di potong layaknya keliping yang sering kita buat di jaman SMP.
"Yang mamakai jaket biru dengan lengan merah," tambahku untuk memberinya arahan yang lebih detail.
Alis Ana ikut terangkat, berkerut dan menganga. Kuikuti rentetan keterkejutanya itu dan kutunggu beberapa saat sampai dia pulih dari shock yang sedang menimpanya.
Kutunggu lagi sejenak sebelum akhirnya kembali bicara, "Sepertinya gue bener-bener gila, An!"
Mata Anna kembali mendapati wajah lesuku yang murung.
"Serius lo?" masih dengan sisa keterkejutanya Ana kmbali menilaiku.
Aku hanya mengangguk.
Kemudian aku menarik lagi beberapa kertas serupa dan kembali menyodorkan kedepan Ana.
"Dia sudah gak ada Ana," batinku enggan jika harus mengulang kembali seluruh berita dalam artikel-artikel itu, karena rasanya juga masih sangat rentan bagiku.
"Apa maksudmu pemuda ini sudah meinggal?"Ana berulang kali menganga, dan sepertinya bukan hanya aku saja yang bisa bereaksi berlebihan.
"Bahkan sudah hampir dua puluh delapan tahun lalu,"tambahku dengan senyum kusut yang berhasil kupaksakan.
Ana anampak bingung.
"Sepertinya aku benar-benar gila, An,"bukannya tidak masuk akal mengasumsikan diriku gila untuk saat ini.
Cukup memprihatikan, setelah sekian lama kuhabiskan waktu dan tenagaku dengan gilanya hanya untuk menemukan seseorang yang bahkan belum pernah aku kenal dan sekarang sepertinya aku sendiri tiba-tiba jadi ikut meragukan kewarasanku.
"Jika pemuda ini sudah meninggal dua pauluh delapan tahun yang lalu, dan lo bisa mengenalinya dengan sangat jelas berarti bukan lo yang gila Ems! " lanjut Anna "tapi sepertinya lo ketemu setan !" kepalanya ikut menggeleng seperti tidak terima ketika kembali masih menyimak kertas ditangannya. "Tapi menurut gue, klo setannya cakep kayak gini gue juga mau disamperin."
"Jangan konyol! " ketusku balas memelototi Anna yang masih fokus dengan foto close up yang ada di tangannya.
"Boleh yang ini untukku saja ?" dia melambaikan kertas itu untuk sekedar becanda dan sangat tidak cocok dengan moodku kali ini.
"Lagi pula lo yakin dia orangnya?" kemudian ia beralih mengawasiku.
"Aku masih ingat jelas, bahkan dia juga mengenakan jaket yang sama."
"Ya, sepertinya gue juga gak bakal lupa kalau ketemu mahluk kayak gini," sesal Anna ketika berulang kali memperhatikan foto di tangannya. "Pantes lo ngotot banget pengen nemuin dia selama ini," punggungnya ikut melorot lemas sepertiku.
"Entahlah, An.” Pikirku ikut lesu, “Selama ini aku merasa dia itu ada, bahkan rasanya sudah seperti mengenalnya seumur hidup dan... " tidak sanggup ku lanjutkan kalimatku, karena merasa sinting dan gila.
Ana juga hanya manggut-manggut setuju dengan keprihatinanku.
"Ya, aku bisa mengerti,"_____ "karena diakui atau tidak, aku juga sempat berharap suatu saat bisa melihat pangeran penyelamatmu itu, dan sekarang aku juga merasa patah hati," Anna menghempaskan tubuhnya kembali ke sandaran kursi.
"Mungkin pemuda itu hanya fantasiku belaka, karena aku benar -benar mulai merasa tidak yakin dengan kewarasanku." Sebenarnya itulah yang lebih kucemaskan dari tadi.
"Pasti ada alasan di balik semua ini Ems,"_____"dari mana kau dapat ini semua?" tanya Anna kemudian.
"Beberapa hari yang lalu tak sengaja menemukannya pada saat petugas kebersihan sedang berberes di perpustakaan kampus kita."
"Mungkin dulu dia mahasiswa kampus kita," tebak Ana dan aku membenarkan.
"Ya, dan ternyata seluruh informasinya juga ada dalam situs mapala kampus kita." Bodohnya aku baru terpikirkan hal itu sekarang. "Mereka bertiga hilang dan tidak pernah ditemukan hingga detik ini, anehnya bulan dan tanggalnya juga sama dengan peristiwa yang menimpaku setahun lalu, dan tiga orang sama persis dalam ingatanku."
"Jadi bener lo ketemu setan, Ems."
Aku hanya mengeleng lemah, dan tetap berusaha berpikir masuk akal.
"Aku merasa ada yang sengaja ngumpulin artikel ini," pasrahku.
"Ya, mungkin penting baginya," kata Anna, "tapi kenapa baru sekarang di buang?"
Saat itu kami sama-sama berpikir dan tetap tidak menemukan apapun yang masuk akal.
"Sepertinya ada takdir yang ikut terlibat di sini, Ems" kata Anna kemudian, "dan lo yang ditunjuk untuk menemukannya di antara puluhan tong sampah yang ada dikampus kita."
"Aku tidak tau apa peranan takdir disini," tepisku acuh dengan apapun teori Ana sebelum nantinya berkembang semakin konyol.
"Mungkin sajakan?"____"gue pernah nonton film-film horror macam itu, kadang sosok arwah bisa menampakkan diri pada seseorang jika ada maksud atau pesan yang ingin dia sampaikan dan di sini mungkin peran lo yang menjadi perantaranya."
"Itu konyol!"tepiskun sekali lagi karena tidak mau ikut campur dengan hobi nonton film gak bermutu Anna.
"Lupain kesedihan lo yang udah gak mungkin nemuin pangeran impian apalah itu..."___ " Tapi coba lo pikir bertapa masuk akalnya semua rentetan fakta ini."
Ternyata memang kubiarkan Ana terus menyerocos karena kepalaku pening.
"Tadi lo bilang ada orang yang sengaja menyimpannya, siapapun itu dia telah mengumpulkan berita-berita dari berbagai surat kabar harian yang terbit di tahun yang sama. Ini masalah serius, Ems!"
Sebagai calon pengacara kuakui jika sahabatku memang cukup jeli.
"Tapi kenapa setelah sekian lama dan baru sekarang benda-benda ini dengan ajaibnya lo yang nemuin?"___"Coba lo pikir?"
"Aku tidak tau Ana, aku sudah terlalu gila dengan ini semua tolong jangan tambahi lagi beban pikiranku!"
"Aku mengerti, sebaiknya habiskan makananmu itu dulu mungkin bisa membenahi sedikit otakmu."
Ku ikuti saran sahabatku itu tanpa perlu merasa tersinggung, aku kembali memotong omlet dengan garpu menjejalkannya kemulutku yang sudah tak terlalu bernafsu.
"Jadi karena ini kau menghilang selama tiga hari?" tanya Anna kemudian.
"Aku hanya butuh sesikit kegiatan untuk melarikan diri."
"Dengan ikut pendakian! " heran Anna karena pilihanku yang di angap nekat.
"Memangnya apa aku harus ber diamdiri di rumah dan meratapi nasibku,"aku butuh waktu untuk tetap berpikir waras, meski akhir yang kudapat justru cukup menggelikan karena mendapati kondisiku kali ini.
Ana kembali menekuni semua artikel di depannya membacanya berulang-ulang, seperti ada sesuatu yang masih dia cari atau sesuatu yang bisa diatemukan di sana.
Aku berjalan dan meletakkan piring kotorku di atas wastafel tanpa bermaksud mencucinya.
"Ems...kemari!"Ana buru-buru meneriakiku seolah ada pencerahan yang baru didapatkannya.
Aku berjalan kelewat santai menyebrangi ruangan, dan kembali ketempat dudukku semula.
Tangan Anna langsung menyodorkan salah satu artikel dengan foto. Tangannya menggeser artikel itu berputar menghadapkanya sejajar dengan posisi dudukku yang sedang bersebrangan dengannya.
Mataku ikut mengamati foto segerombolan orang saling berangkulan dengan sepanduk pencinta alam yang mereka bentangkan di depan barisan. Aku sendiri sudah beberapa kali memperhatikan foto tersebut sejak beberapa hari lalu, dan tak ada yang aneh. Salah satu yang kukenal dengan lingkaran spidol merah di kepalanya, ada tiga lingkarang disana yang masing-masing adalah korban hilang yang tidak pernah ditemukan. Tapi anehnya tangan Ana justru nenunjuk sosok yang lain. Yaitu wanita yang berdiri tak jauh dari sosok pemuda yang sudah sangat tidak asing dalam ingatanku.
Seorang wanita, yang merupakan seorang gadis muda di masanya. Hanya karena perbedaan fashion saja jadinya dia sudah terihat lebih tua.
"Lo gak ngerasa ngenalin foto ini?"slidik Ana dengan satu sudut matanya yang menyipit.
Alisku hanya berkerut dan menggeleng.
"lo gak ngerasa kalau gadis ini mirip Bu Tari!"
Hah..!!!
Segera coba kubandingkan ingattanku dengan dosen fakultas hukum itu, dan baru kusadarai sekarang ternyata selama ini aku tak memperhatikan detail wanita paruh baya itu dengan benar. Seperti daya ingat Ana jauh lebih baik dariku, karena sekarang aku baru menyadari kebenaran kata-katanya. Bagaimana hal yang begitu sangat mencolok bisa luput begitu saja dari perhatianku, padahal aku yakin sudah berulang kali memperhatikan foto tersebut selama beberapa hari ini.
"Apa tiba-tiba kau juga berpikir bahwa mungkin Bu Tari yang selama ini menyimpan benda benda ini?" Ana hanya mengangkat alis untuk menyisakan teka-teki untuk dirinya sendiri.
"Mungkin," jawabku pasrah karena belum terlalu bisa berpikir.
"Karena itu kah wanita itu melajang hingga hari ini?" pikiran Ana yang aku yakin sudah mulai menyusun berbagai skenario di otaknya."Pasti ada hubungan spesial diantara mereka, Ems."
"Aku tidak yakin kisahnya akan seperti itu," lanjutku "meski menurutku cukup masuk akal, tapi sekarang apa hubungannya denganku?"____"Bu Tari dan arwah kekasihnya, lantas kenapa harus aku yang dia pilih? "
"Kurasa arwah itu tidak mengikuti update perkembangan jaman kalo dia sampai tidak tau kalian sebenarnya tidak pernah akur!" celetuk Ana asal.
"Jika memang teorimu benar, dan arwah itu hanya ingin menyampaikan pesan pada Bu Tari, sekarang coba pikir, kurang sial apa aku ini!"
Ana hanya ikut meringis.
sementara aku kembali sibuk dengan pikiranku sendiri.
"Kasian Bu Tari..."simpati itu terdengar tulus dan cukup mengejutkan karena bisa keluar dari mulut Ana, "sepertinya kau harus menemuinya, Ems, karena memang hanya dia juga yang bisa memberimu jawaban."
Aku langsung menggeleng menolaknya.
"Oh, ayolah, Ems..."___" Apa kau tidak ingin tau jawaban dari semua ini?"
Memang benar banyak hal yang menghantui pikiranku selama ini, tapi bagaimanapun Ana memberiku dorongan yang tak masuk akal untuk kucoba.
"Memangnya apa yang kau harap akan kukatakan kepada, Bu Tari?"
"Iya juga," jawabnya bingung dan aku tau otaknya juga kosong.
"Aku hanya bertemu orang yang sama, itu saja!"___"toh pemuda itu yang lo sebut setan, dia juga gak ada pesen apa papa sama aku," aku mulai kesal jika Anna terus memaksaku untuk menemui Bu Tari.
Aku benar-bernar tidak ada niat untuk memberi tau Bu Tari apapun itu. Karena aku yakin perawan tua itu pasti akan segera menuduhku gila.
Ternyata menjadi waras itu benar-benar tidak mudah dan membutuhkan perjuangan, dan ada beban berat yang rasanya semakin berglayut ingin menenggelamkan kewarasanku.
Biarkan saja bu Tari....!
JANGAN LUPA LIKE YA