Bab 1. Kepergok
“Om, buka pintunya!” Seorang gadis remaja kisaran usia sembilan belas tahun mengetuk pintu rumah bergaya minimalis dengan nuansa hitam putih di pukul sebelas malam. Waktu yang sudah sangat larut untuk bertemu, tapi sepertinya ia mengabaikan adab bertamu karena terus berusaha memanggil si pemilik rumah, menggedor pintu dengan sekuat tenaga.
Kawasan rumah tersebut memang tidak memiliki pagar besi seperti pada umumnya, tapi lingkungannya terkenal aman dan tengah, hingga si pemilik tidak perlu memasang pagar setinggi dua meter untuk membatasi wilayahnya.
“Om Garran! Buka pintunya!!” suaranya melengking dan nyaring membelah kesunyian malam yang sudah sepi.
Perlahan pintu terbuka, seorang wanita paruh baya dengan mengenakan daster batik muncul dari balik pintu.
“Neng Gia, ada apa malam-malam kesini?” tanyanya sambil mengecek kedua matanya. Bi Ati namanya.
“Bi, Om Gar ada nggak?” tanpa menunggu dipersilahkan, Gianni langsung masuk ke dalam, mendorong tubuh Bi Ati hingga ia nyaris terjungkal.
“Ada, tapi Mas Garran lagi ada tamu.”
“Tamu?” Gianni menghentikan langkahnya, saat hendak meniti tangga.
“Tamu siapa?”
“Tamu itu, Neng.” Bi Ati meringis pelan, kode rahasia yang sudah diketahui Gianni.
“Oh,, pasti mainnya udah selesai, kan? Aku buru-buru banget, harus ketemu dia malam ini juga!”
Bi Ati melarang, saat Gianni hendak menghampiri si tuan rumah di kamar pribadinya, tapi karena kepentingan yang dianggap sangat mendesak olehnya, dan tidak dapat ditunda sampai besok pagi, Gianni langsung menuju Jakarta Garran yang ada di lantai dua.
“Om!” Panggilnya, saat ia sudah sampai di depan pintu kamar Garran.
“Om, udah selesai belum? Kalau udah aku buka nih!” Teriaknya lagi, sambil menggedor pintu dengan sangat kencang.
“Ish,, nggak di buka.” Keluhannya, dan Gianni pun menarik gagang pintu yang kebetulan tidak terkunci.
Saat pintu terbuka, Gianni melihat pemandangan yang begitu mengejutkan, yakin saat Garran tengah menciumi seorang wanita yang sudah tidak mengenakan pakaian bagian atas, lalu untuk bagian bawahnya pun tidak kalah mengejutkan saat rok span yang dikenakannya tidak lagi berada di tempatnya, melainkan sudah naik sampai batas pinggang. Wanita itu nyaris telanjang bulat, sementara Garran masih mengenakan pakaian lengkap walaupun kancing kemejanya sudah terbuka semua.
“Iyuhh.” Gianni menutup wajah dengan kedua tangannya, tapi jari-jari tangannya terbuka lebar hingga ia masih bisa melihat kedua orang dewasa itu buru-buru mengakhiri kegiatan mereka.
“Lanjutin aja sih, kalau masih mau. Lagi tanggung, kan? Aku tunggu di luar ya, Om.” Gianni tersenyum jahil.
“Siapa suruh nggak jawab pas aku panggil tadi, kukira udah beres ternyata baru pemanasan.”
Gianni langsung berlari tanpa menutup pintu kamar Garran terlebih dulu. Sebelum lelaki itu marah besar karena telah mengganggu kegiatan asyiknya, lebih baik melarikan diri ke bawah. Menunggu sampai Garran selesai jauh lebih baik, walau Gianni tidak yakin keduanya akan tetap melanjutkan sesi panas yang sempat tertunda itu.
Kediaman Garran sudah seperti rumah kedua baginya, nyaris setiap minggunya ia datang berkunjung entah untuk sekedar mengosongkan isi lemari pendingin Garran atau melarikan diri saat sang Ayah menegurnya.. Gianni sangat dekat dengan Garran, hubungan sepupu yang terjalin sangat baik bahkan tak jarang Garran menjadi sumber uang jajan jika ia membutuhkan tambahan.
“Bi Ati nggak bilang kalau mereka baru pemanasan, kukira sudah selesai.” ucapnya saat bertemu Bi Ati di dapur. Gianni mengambil beberapa kotak buah stroberi yang ada di dalam kulkas, juga mengambil minuman dingin, lantas duduk di sofa.
“Mereka baru datang beberapa menit lalu,” jawab Bi Ati, yang juga ikut duduk di samping Gianni.
“Pasti baru sesi buka baju, ya?” Bi Ati tersenyum jahil.
“Iya.” Gianni terkekeh.
“Menurut Bi Ati, mereka lanjut apa nggak? Ayo taruhan, yang menang bayar lima puluh ribu.”
“Kayaknya nggak lanjut deh,”
“Yah,, jangan jawab gitu dong. Kan, aku yang mau jawab gak jadi.”
“Bi Ati duluan ya,, jadi Neng Gia harus bayar lima puluh ribu.”
Gianni cemberut, “Curang!” balasnya.
Tidak berselang lama Gianni melihat sosok wanita yang tadi ada di kamar Garran turun. Raut wajahnya terlihat kesal, bahkan tidak menyapa atau mengucapkan sepatah katapun dan langsung pergi begitu saja.
“Dia marah.. “ Gianni dan Bi Ati tertawa bersama.
Setelah wanita itu pergi, Gianni tidak kunjung melihat sosok Garran muncul, bahkan setelah menunggu beberapa saat pun, sosok lelaki itu tidak kunjung muncul.
“Mandi butuh waktu berapa lama sih? Kenapa lama sekali?” kesal Gianni.
“Aku butuh uang segera, penjualan tiket konsernya akan segera dibuka.” Gianni melihat jam di pergelangan tangannya. Ia masih memiliki waktu tiga puluh menit lagi untuk mendapatkan tiket konser boyband Korea kesukaannya.
Karena Garran tidak kunjung muncul juga akhirnya Gianni pun berinisiatif untuk kembali menyusul Garran di kamarnya. Malam ini ia harus mendapatkan uang tersebut, setelah kartu ATM miliknya di blokir oleh sang Ayah karena Gianni dianggap boros dan terlalu menghamburkan uang untuk hal-hal yang tidak penting.
Tapi Gianni selalu memiliki banyak cara untuk menyalurkan hobinya, salah satunya dengan memanfaatkan Garran yang memang tidak pernah menolak keinginan Gianni.
“Om Gar, ngapain sih?! Kenapa nggak keluar,,, “ Suara Gianni perlahan mengecil saat melihat Garran masih terduduk di lantai sambil menundukkan kepalanya.
“Om Gar, ngapain?” Gianni mendekat, menatap wajahnya Garran dari jarak dekat. Kedua mata lelaki itu terlihat memerah. “Om mabuk, ya?” tanya Gianni, yang semakin mendekatkan wajahnya. Garran bisa mencium bau harum stroberi dari nafas Gianni yang berhembus tepat di depan wajahnya.
“Om Gar?” Gianni mengulurkan tangannya, hendak menyentuh kening Garran, tapi lelaki itu sudah terlebih dulu mencekal tangan Gianni.
“Om Gar,” Belum sempat menuntaskan ucapannya, bibir Gianni sudah terlebih dulu dibungkam oleh bibir Garran. Nafsu yang masih bergejolak dalam diri tidak dapat ditahannya lagi. Garran sudah berusaha untuk menahannya tapi kehadiran Gianni justru membangkitkan hasratnya dua kali lipat hingga ia tidak dapat menahannya lagi.