"Kita nggak bakalan tidur di ranjang yang sama kalau itu yang lo takutkan." Terdengar kalimat sinis keluar dari mulutnya Kak Azka.
Sungguh, aku tidak takut. Aku hanya... bingung? Akan tetapi, aku tak akan menolak jika tidur di ranjang yang sama dengannya. Bagaimana pun, kami telah resmi menjadi suami istri saat ini. Hanya saja jika dia meminta haknya, mungkin aku belum siap. Aku membutuhkan waktu.
Mulutku terbuka hendak menyahut ucapan Kak Azka, kemudian tertutup lagi. Hingga aku hanya diam akhirnya, tak menyahut apa pun. Aku menatap Kak Azka dari kaca di mana lelaki itu sudah merebahkan diri di sofa.
Aku terkekeh di dalam hati. Kak Azka tetap lah orang yang sama. Dia masih dingin seperti sebelumnya. Tak apa-apa, mungkin masing-masing kami memang membutuhkan waktu untuk benar-benar menerima pernikahan ini.
Selesai membersihkan make up di wajahku, aku menuju koperku hendak mengambil piyama tidur. Tak seperti di novel yang kebanyakan aku baca, saat ini aku bersyukur karena tak kesulitan membuka gaunku. Aku tak harus meminta bantuan orang lain untuk membuka resletingnya. Aku segera menuju kamar mandi. Usai mandi, aku mengeringkan rambut menggunakan hair dryer yang tersedia di kamar hotel ini. Aku menatap ke arah sofa di mana Kak Azka tertidur sejenak, sebelum beranjak ke atas kasur. Aku penasaran, apa yang dipikirkan lelaki itu hingga bersedia menggantikan posisi Arsyad untuk menikahiku?
Aku merebahkan diri di atas tempat tidur dan memiringkan tubuhku ke arah Kak Azka. Lucunya kisah asmaraku. Aku yang akhirnya menikah dengan seorang lelaki yang pernah aku sukai dulu. Lalu, bagaimana sekarang? Aku pikir, mungkin rasa itu telah lenyap karena sudah lama sekali aku berhenti mencari tahu apa pun tentangnya. Apalagi setahunan kemarin aku memutuskan untuk menerima ajakan Kak Arsyad untuk berpacaran dulu sebelum menikah. Aku yang kala itu baru setahun bekerja setelah lulus kuliah, setuju untuk dijodohkan dengan Kak Arsyad.
Aku tak menampik jika Kak Azka masih tetap tampan seperti dulu. Sudah berusia 32 tahun, tapi tak terlihat menua. Bagi yang belum kenal, mungkin banyak orang yang mengira jika lelaki itu masih berusia di bawah 30 tahun. Aku menghembuskan napas berat, bagaimana pun aku harus menumbuhkan kembali perasaanku terhadap Kak Azka karena kami hidup bersama ke depannya.
Berbalik badan beberapa saat kemudian, aku mulai memejamkan mata.
"Kamu dari dulu enggak berubah." Aku sayup-sayup mendengar suara beratnya Kak Azka. Aku diam saja, memilih untuk tetap memejamkan mata. "Tetap imut, cantik... malah semakin bertambah cantiknya." Lalu, aku merasakan jemari yang menyentuh pipiku.
"Dari dulu aku pengen rasain bagaimana jika aku menyentuh wajah mungil ini." Terdengar kekehan kecil setelahnya. "Ternyata benar dugaanku, memang selembut itu rasanya."
Aku tetap diam, setia dengan mata terpejam. Meski dalam hati kaget luar biasa dengan kalimat yang keluar dari mulut Kak Azka. Apa maksudnya? Apa dia mengagumiku dari dulu? Tapi, sikapnya tak menunjukkan demikian belasan tahun belakangan. Aku tertawa di dalam hati, mana mungkin? Aku yang waktu itu masih kecil di bawah 10 tahun pernah merengek meminta bermain dengannya, akan tetapi aku diabaikan. Sejak dirinya beranjak SMA, Kak Azka menjaga jarak denganku. Semakin lama, semakin menjauh. Kadang dia melewatiku begitu saja ketika aku dan keluargaku berkunjung ke rumahnya.
Memang ketika mulai beranjak remaja dulu, aku mulai sadar jika menyukainya. Dengan sikap dinginnya itu, aku tetap mengaguminya dalam diam. Dan aku mulai menghapus perlahan perasaanku padanya ketika Tante Maudy cerita jika Kak Azka akan menikahi kekasihnya yang tengah terbaring di rumah sakit.
Aku merasakan Kak Azka beranjak dari tempat tidurku. Namun, aku masih tetap memejamkan mata. Aku membuka mata perlahan dan menoleh ke arahnya Kak Azka. Lelaki itu tampak tidur dengan posisi seperti tadi. Aku mengerjap. Apa aku bermimpi tentangnya beberapa saat lalu? Tapi rasanya aku belum benar-benar tertidur.
Mengingat bagaimana dinginnya Kak Azka kepadaku belasan tahun ini, tak mungkin dia tiba-tiba saja memujiku, bukan?
***
Siang hari, kami langsung check-out dari hotel. Seperti yang Kak Azka bilang semalam, kami akan pulang ke rumah orang tuanya. Sebelum ke sana, kami makan siang dulu di sebuah restoran.
Kak Azka masih bicara sepatah dua kata saja kepadaku. Hanya menyahut singkat ketika aku mengajaknya berbicara.
“Azka udah bilang sama Tasha kalau tinggal di rumah Mama dulu untuk sementara waktu, Sha?” tanya Mama Maudy di saat kami menunggu pesanan kami datang.
“Belum, Ma.” Kak Azka menyahut. “Nanti kami bicarakan.”
Kami memang belum bicara apa pun akan bagaimana ke depannya, mengenai tempat tinggal dan lain sebagainya. Minim kata yang keluar dari mulutnya Kak Azka. Padahal, aku semalam berharap jika ada pembahasan tentang ‘kami’ ke depannya. Kak Azka juga bekerja di luar negeri sebelumnya. Apa dia akan kembali atau bagaimana?
Makanan kami tiba tak lama kemudian. Aku hanya mengambil sedikit nasi, takut tidak habis. Karena aku tak berselara makan beberapa hari terakhir. Pagi tadi, aku hanya memakan roti bakar, potongan buah dan s**u saat kami sarapan di restoran hotel.
“Makan yang banyak!” Terdengar decakan dari Kak Azka. “Pantasan badannya kecil terus, makannya aja secuil begitu.”
“Entar aku nambah lagi kalau kurang, Kak.”
Kak Azka tak menyahut lagi.
Dari restoran, kami tak mampir ke mana-mana. Langsung ke rumah mertuaku.
Begitu memasuki kamarnya Kak Azka di rumah yang begitu familier olehku itu, aku mengedarkan pandangan menyeluruh. Kamar lelaki tampak rapih. Design kamarnya menggambarkan Kak Azka sekali, estetik. Kamar ini juga wangi aromanya. Aroma wood dan mint bercampur jadi satu. Ini pertama kalinya aku memasuki kamar seorang lelaki. Aku memang sering ke sini, akan tetapi akan menginap di kamar tamu jika orang tuanya Kak Azka memaksaku untuk menginap. Waktu kecil, seringnya main di kamar bermain yang sekarang telah dijadikan gudang oleh Tante—Mama Maudy. Atau kamu semua bermain di playground dekat kolam renang. Sampai saat ini playground itu masih ada. Anaknya Kak Fema yang sekarang main di sana ketika berkunjung ke sini. Kak Fema yang merupakan adik pertamanya Kak Azka itu, menikah pada usia 25 tahun.
"Ada yang salah dengan kamar gue?" Terdengar suara Kak Azka dari arah belakangku. Aku memang diminta menuju kamarnya terlebih dahulu barusan.
Aku menggelengkan kepala. "Nggak... nggak ada, kamar Kak Azka bagus dan wangi."
"Hmmm."
Kak Azka menaruh koperku dan kopernya di dekat lemari.
"Nanti biar aku rapihkan ya, Kak. Password kopernya Kak Azka apa?"
"Biar gue yang buka sendiri koper gue."
Aku mengangguk.
Kak Azka membuka kopernya, kemudian berlalu dari dekat lemari sana. Berarti, dia mengizinkanku untuk merapihkan isi kopernya.
"Gue ke bawah dulu."
"Iya, Kak."
Sebelum mencapai pintu, Kak Azka kembali berbalik badan.
"Lo mau tidur di sini atau di kamar tamu?"
"Ya?" Aku mengernyit.
"Kalau lo merasa nggak nyaman tidur di kamar gue, bisa tidur di kamar tamu. Asal bukan di kamarnya Arsyad aja," ujarnya sinis.
"Aku tidur di sini aja."
"Oke.”
Aku merapihkan baju dari dalam koper ke dalam lemari. Sedangkan Kak Azka telah keluar kamar. Dia tak kembali lagi ke kamar hingga sore hari. Sementara aku rebahan di kasur sembari membaca novel versi digital pada ponselku. Membaca novel setidaknya bisa membuatku lupa sejenak akan hal berisik di kepalaku sejak kemarin. Aku menutup aplikasi menyadari Kak Azka yang memasuki kamar.
“Kak Azka mau mandi?” tanyaku padanya yang terlihat membawa sebuah handuk pada pundaknya.
“Hmmm.”
Aku bergegas bangkit dari kasur, menuju ke arah lemari mengambilkan baju ganti untuk lelaki itu.
“Mau ngapain?” tanya Kak Azka yang sudah berada di dekat lemari juga.
“Aku udah bilang, sebagai seorang istri harus menyiapkan segala sesuatu keperluan suamiku.” Aku tersenyum tipis. “Tolong kerja samanya, ya? Biarkan aku melakukan tugasku sebagai seorang istri.”
Kak Azka diam saja.
Aku mengambil sebuah baju kaos, celana pendek serta celama dalam lelaki itu. Ada yang aneh rasanya sejak tadi pagi aku merapihkan barang lelaki itu. Tapi mau gimana lagi, aku harus melakukannya sebagai bentuk bakti kepada suami.
“Ini,” ujarku memberikan semua itu kepadanya. Kak Azka pasti akan memakai bajunya di kamar mandi, seperti semalam dan tadi pagi.
“Makasih.”
Aku menganggukkan kepala.
Setelah mandi, Kak Azka langsung keluar kamar. Aku jadi kepikiran, apa yang membuat lelaki itu begitu dingin sikapnya? Sebelum istrinya meninggal dulu, dia juga sudah seperti itu. Lebih terasanya sekali ketika dia masuk kuliah, sedangkan aku masih SD. Ingatanku masih bagus mengenai masa kecilku dulu.
Malam harinya, kami makan malam bersama lengkap dengan Kak Fema juga yang sedang menginap berserta suami dan anaknya. Suasana meja makan ramai, tapi lagi-lagi tak Kak Azka lebih banyak diam.
“Aku ke kamar duluan,” ujar Kak Azka bangkit berdiri di saat kami semua sudah selesai makan, namun semuanya masih tampak betah duduk di kursi masing-masing.
“Azka kurang istirahat kali, ya?” Kak Fema bersuara setelah Kak Azka beranjak pergi.
Mendengar kata Kak Fema, aku jadi merasa bersalah membiarkan Kak Azka tidur di sofa semalaman. Apa benar dia kurang istirahat? Atau dia jetlag dan tak banyak istirahat di rumah?
Aku juga pamit lebih dulu ke kamar, tak lama setelah Kak Azka. Saat memasuki kamar, aku melihat Kak Azka yang kembali tidur di sofa kamarnya seperti kemarin malam. Aku melangkah ke arah lelaki itu.
“Kak Azka… “ Aku menepuk-nepuk pelan bahu lelaki itu.
“Apa?” Kak Azka membuka matanya.
“Emm… Kak Azka nggak tidur di ranjang aja? Nanti badannya sakit-sakit kalau tidur di sofa, enggak nyaman.”
“Terus, lo mau tidur di mana?”
“Biar aku aja yang di sofa.”
Lelaki itu mendengkus.
“Kata lo barusan, enggak nyaman tidur di sofa.”
“Tidur bareng di ranjang aja kalau gitu,” ujarku cepat.
Kak Azka menatapku dengan alis terangkat.
“Lo yakin?”
“Emangnya kenapa?”
“Gue cowok normal. Lo tahu artinya nggak, kalau dua orang lawan jenis berada di ranjang yang sama? Mudah bagi laki-laki untuk having s*x dengan perempuan meski pun tanpa cinta.”
Aku meneguk salivaku.
“Kan ada bantal guling. Bisa kasih batas di tengah-tengah,” ujarku kemudian.
“Bantal guling bisa berpindah dari posisinya tanpa disadari. Gimana menurut lo?”
“Maaf, Kak. Aku belum bisa memberikan haknya Kakak jika meminta malam ini. Aku membutuhkan waktu.” Aku menggigit bibir bawahku
“Gue tahu.”
“Bisa kah kita tetap berada di ranjang yang sama tanpa melakukan apa-apa?” tanyaku mencicit pelan, bernegosiasi karena aku memang belum siap rasanya menyerahkan diri seutuhnya. “Aku cuma nggak mau Kak Azka merasa nggak nyaman tidur di sofa.”
“Gue baik-baik aja. Jangan peduliin gue,” ujar Kak Azka dengan mata yang sudah terpejam kembali.