AZKA's POV
Kalau bukan karena Arsyad ingin menikah, aku tak akan pulang ke Indonesia. Mama sudah mewanti-wantiku sejak sekitar 2 bulan lalu. Arsyad, adikku itu akan menikah dengan Tasha. Seorang perempuan yang usianya beda 1,5 tahun di bawah Arsyad, yang berarti 8,5 tahun di bawahku.
Aku tentu saja kenal dengan Tasha. Dia merupakan anak tunggalnya Aunty Melisha dan Om Dikta, sahabatnya kedua orang tuaku. Dulu, sebenarnya Tasha punya adik laki-laki. Akan tetapi, adiknya meninggal dunia saat berusia 3 tahun. Ada kelainan saat lahirnya dulu. Aunty Melisha dan Om Dikta tentunya sudah melakukan berbagai cara agar anaknya itu bertahan hidup, mulai dari pengobatan di sini hingga ke luar negeri yang mana menghabiskan banyak biaya. Malang nasibnya, Tuhan lebih sayang kepada adiknya Tasha tersebut.
Baru saja tiba di rumah, penghuni rumah tampak lesuh. Papa terlihat mengusap-usap punggungnya mama. Sedangkan Fema, adik perempuanku yang sedang mengambil program dokter spesialis kandungan itu, terlihat mondar-mandir dengan ponsel di tangannya mengabaikan tatapanku. Namun, Arsyad tak terlihat di sini. Aku mengernyit. Apa mereka tak senang menyambut kepulanganku?
Aku meletakkan koperku di dekat tangga, lalu melangkah mendekat ke arah orang tuaku.
"Pa, Ma... " Aku sudah berdiri di dekat kedua orang tuaku saat ini.
"Azka... " Mama mendongak, raut wajahnya tampak lelah. "Arsyad, Ka. A-adik kamu itu... menghilang."
Apa? Arsyad menghilang bagaimana maksudnya?
Aku kembali mengernyit. Apa alasan lelaki itu menghilang? Selama ini, dia selalu antusias jika bercerita tentang Tasha. Dia juga tampak sumringah menghubungiku 3 bulan lalu dan mengatakan akan melamar Tasha secara resmi. Tentu saja aku ikut senang mendengarnya.
"Apa yang terjadi, Ma?" Aku ikut mendudukkan diri di sampin mama.
Mama menggelengkan kepala. Air mata menetes membasahi pipinya. "Mama nggak tahu kenapa dia tiba-tiba begitu. Adikmu selama ini terlihat baik-baik aja sama Tasha. Dia nggak pernah cerita apa pun. Tasha juga bilang jika mereka nggak ada masalah apa pun."
Aku menghela napas. "Mama udah coba lapor polisi?"
"Udah. Tapi tetap belum ada perkembangan." Papa yang menyahut. "Papa benar-benar nggak ngerti apa yang ada di dalam pikiran adekmu itu."
Terakhir kali aku komunikasi dengan Arsyad sekitar 5 hari yang lalu. Adikku itu teleponan seperti biasa saja denganku, tak ada yang aneh dari pembicaraannya. Aku sempat mengirimkan pesan juga kepadanya saat berada sehari sebelum ke sini. Namun, Arsyad hanya membaca pesanku tanpa membalas. Aku pikir, dia terlalu sibuk dengan persiapan pernikahannya hingga lupa untuk membalas pesanku.
"Gimana, Fema? Udah ada kabar dari tentang adikmu?" tanya mama kepada Fema.
Fema menggelengkan kepalanya. Adikku itu mendekat ke arah kami duduk.
"Nggak ada petunjuk apa pun dari teman-temannya, nggak ada yang tahu." Terdengar helanan napas dari adik yang berusia 2 tahun di bawahku itu. "Gimana kalau Arsyad nggak balik sampai lusa? Apa kita batalkan aja dari sekarang?"
"Arsyad pasti pulang!" seru mama.
"Ma, tapi— "
"Fema, adikmu itu nggak pernah seperti ini sebelumnya. Mungkin dia hanya ingin tenang sejenak sebelum resmi menjadi suami orang, jadi kepala rumau tangga."
Aku mengusap-usap lengan mama.
"Nanti coba aku bantu cari juga ya, Ma."
Aku akan mencari Arsyad, akan tetapi aku ingin tidur sebentar saja. Aku mengalami jetlag parah kali ini, di pesawat tumben-tumbennya aku tak bisa beristirahat dengan tenang. Entah sudah berapa kali aku menguap dari tadi. Setelah menempuh perjalanan yang jauh, aku butuh merebahkan badanku sejenak sebelum mengendarai mobil mencari adikku.
"Kamu kelihatan capek banget, Ka."
Aku mengangguk sembari tersenyum.
"Kamu istirahat dulu aja, nanti setelah itu baru kamu cari adek kamu."
Aku menyalakan alarm sebelum memejamkan mata di kamarku. Beberapa saat kemudian terbangun, aku segera bangkit menuju kamar mandi. Masih agak mengantuk, tapi tidak separah yang tadi. Tak apa, aku harus turun tangan mencari keberadaan adikku.
Beberapa teman dekatnya Arsyad yang aku kenal telah dihubungi oleh Fema. Dan saat ini, aku mencari tahun temannya yang lain dari media sosial milik Arsyad. Tak sadar, aku sudah berkeliling Jakarta hingga menjelang pagi. Namun, belum menemukan jawaban yang menunjukkan keberadaan Arsyad. Aku memilih untuk pulang ke rumah dulu, nanti siang akan lanjut mencari lagi.
Tiba di rumah, aku langsung merebahkan diri di kasur. Dan aku terkejut ketika bangun mendapati waktu yang sudah menunjukkan pukul 10.00 pagi. Berarti aku tertidur lama. Aku tiba di rumah pukul setengah empat tadi.
Terdengar bunyi pintu kamarku diketuk dan aku berseru dari dalam kalau pintunya tak dikunci. Pintu terbuka dari arah luar dan muncul mama di sana. Mama melangkah ke arahku yang sekarang duduk bersandar di headboard.
"Kata Mang Udin, kamu baru balik jam menjelang pagi."
Aku mengangguk. "Maaf, Ma. Aku belum bisa menemukan keberadaan Arsyad. Tapi siang ini, aku akan keluar lagi nyari. Aku juga akan— "
"Nggak perlu cari lagi. Kamu baru balik kemarin, pasti masih capek banget. Maaf, Mama udah ngerepotin kamu."
"Nggak apa-apa, Ma. Aku nggak masalah. Aku harus segera nemuin Arsyad dan bawa dia pulang. Kalau dia nggak mau, aku harus tahu apa alasannya. Aku nggak bisa cuma berdiam diri aja di rumah. Nggak enak juga sama Aunty Melisha dan Om Dikta, kita harus kasih kejelasan."
Bayangan Tasha dari kemarin mengisi kepalaku. Pasti perempuan itu sedih sekali saat ini. Semalam sambil mencari Arsyad, aku sempat melipir—menghentikan mobilku lama di depan rumahnya Tasha. Hanya menatap ke arah lantai dua di mana kamarnya berada, tanpa melakukan apa pun. Yang aku tahu dulu kamarnya berada di sebelah situ.
"Tasha bilang akan tetap menunggu, itu hal lain yang bikin kita nggak langsung batalin begitu aja acaranya. Dia masih berharap kalau Arsyad hanya pergi sejenak." Mama kembali bersuara. "Mama pun enggak niat untuk batalin juga, Ka. Mama tetap pengen Tasha yang jadi menantu Mama. Mama enggak pengen Tasha bersama orang lain, selain dari anaknya Mama."
Aku menghela napas. Entah sudah berapa kali dari kemarin aku melakukan ini.
"Mama yang tenang, ya? Aku akan usaha lebih keras lagi hari ini untuk cari Arsyad."
"Mama udah bilang, enggak usah lanjut cari."
"Terus gimana? Apa ada orang yang Mama sewa untuk mencari keberadaan Arsyad?"
Mama menggelengkan kepala.
"Nggak akan cari lagi. Biarin adikmu itu pergi kalau memang itu yang diinginkannya. Dan untuk Tasha, Mama tetap ingin dia yang menjadi menantunya Mama."
Aku mengernyit. "Mau tunda acaranya sampai Arsyad kembali?"
"Enggak."
"Lalu?"
"Anak laki-laki Mama kan enggak cuma Arsyad aja."
"Maksud Mama? Wait— " Aku tengah mencerna ucapan mama, kemudian mataku membola ketika menduga sesuatu yang ada di dalam pikirannya mama saat ini.
"Kamu," ucap mama membenarkan dugaanku. "Menikah lah dengan Tasha, Ka. Gantiin adek kamu. Mama benar-benar nggak rela kalau Tasha dengan laki-laki lain. Kamu tahu kan gimana sayangnya Mama sama Tasha? Dia baik, nggak neko-neko anaknya. Di mana lagi Mama akan mendapatkan calon menantu seperti itu?"
Aku terkekeh pelan sembari menggelengkan kepala. "Mama ada-ada aja. Jangan bercanda, Ma. Mending ditunda aja acaranya sampai Arsyad ketemu."
"Mama serius, Azka."
Aku seketika menoleh dan menyadari tatapan mama yang penuh harap padaku. Mama benar-benar serius dengan ucapannya.
"Menikah sama Tasha," ulang mama sekali lagi. Mama menyentuh kedua punggung tanganku saat ini. "Kamu mau kan ngabulin permintaan Mama? Sayang sama Mama, 'kan?"
"Aku jelas sayang sama Mama, tapi— "
"Cuma itu aja yang Mama pinta, Ka. Tolong... " Mama menatapku dengan raut wajah memohon.
Aku menyugar rambutku frustasi.
"Ma, aku ini duda. Aku pernah menikah. Aku— "
"Hanya sesaat," potong mama cepat. "Mama rasa, keluarganya Tasha nggak akan mempermasalahkan itu. Kamu nggak pernah menjalani kehidupan berumah tangga sebelumnya."
"Gimana dengan Tashanya sendiri, Ma? Apa dia nggak keberatan? Apa lagi, aku jauh lebih tua dari dia."
"Tasha akan bersedia."
Aku kembali terkekeh. "Mama seyakin itu tanpa bertanya terlebih dahulu?"
"Mama tahu gimana Tasha. Katakan lah Mama egois dengan memanfaatkan dirinya yang pasti akan menerima aja... mungkin karena Mama." Mama mengedikkan bahunya. "Tasha yang selalu memikirkan perasaan orang lain. Tapi, Ka, Mama nggak ada cara lain lagi. Mama nggak mau kalau besok dibatalkan dan suatu saat Tasha menerima kehadiran lelaki lain dalam hidupnya."
Ya... aku akui mama memang egois. Aku tidak tahu harus bagaimana. Di sisi lain, aku juga memikirkan Tasha.
"Tasha cantik dan segala yang ada dalam dirinya itu merupakan idaman hampir semua laki-laki. Kamu pasti bisa dengan mudah mencintai Tasha nantinya."
Andai mama tahu apa yang aku rasakan dulu. Apa yang aku pikirkan tentang Tasha hingga perempuan itu beranjak remaja...
"Mau ya, Ka?"
"Ma, nggak ada cara lain apa? Coba kita usaha dulu cari Arsyad. Tunda acaranya, bilang apa gitu kalau ada yang nanya."
"Kembali atau tidaknya adek kamu, Papa ingin kamu aja yang menikah dengan Tasha."
Papa muncul tiba-tiba membuat kepalaku semakin sakit.
Dan setelah berbicara lama dengan kedua orang tuaku, akhirnya aku menyetujui permintaan mereka. Menikah dengan Tasha, adik kecilku dulu yang sekarang sudah tumbuh menjadi perempuan dewasa.
"Kamu makan dulu ke bawah. Setelah itu mandi, siap-siap ke rumah orang tuanya Tasha hari ini juga."
"Iya, Ma."
***
Aku membenarkan letak kacamataku sambil mematut diri di depan kaca. Kemudian terkekeh pelan, takdir macam apa ini? Sesuatu hal yang tak pernah aku duga sebelumnya akan terjadi. Dua setengah jam sebelum acara dimulai, aku menghampiri Tasha di salah satu kamar hotel. Semalam, aku telah berada di hotel sini juga sebenarnya. Sempat melihat Tasha dari jauh, tak berniat menghampirinya. Kata Aunty Melisha kemarin, Tasha tetap ingin menunggu tanpa membatalkan acaranya. Jika Arsyad memang tidak datang, Tasha akan menerima jika acaranya harus batal.
Dengan langkah berat, aku berjalan menuju kamarnya Tasha. Jantungku berdegup dengan kencang ketika sudah berdiri di depan kamarnya persis. Aku menarik napas pelan dan menghembuskannya perlahan. Setelah merasa lebih tenang, aku mengetuk pintu kamar. Pintu terbuka dan Aunty Melisha lah yang membukanya.
"Kenapa, Ka?" tanya perempuan yang telah melahirkan Tasha itu.
"Umm... aku bisa bicara sebentar sama Tasha, Onty?"
Aunty Melisha mengangguk. "Boleh. Ayo, masuk!"
Aku pun masuk ke dalam dan pandangan mataku langsung tertuju pada Melisha yang juga tengah melihat ke arahku. Aunty Melisha pamit keluar dan sekarang di kamar ini tinggal aku, Tasha serta ada tiga orang lain yang tak aku kenal. Aku sempat terpaku saat melihat Tasha kembali, kemudian tersadar dan segera mengalihkan pandangan ke arah lain.
Ini kali pertama aku berbicara lagi dengan Tasha setelah... 4, 5, 6 tahun atau lebih dari itu?
Dulu saat kecil, kami begitu dekat. Sejak Aunty Melisha melahirkan perempuan itu, aku gemas padanya. Tasha waktu bayi begitu lucu—menggemaskan. Kami sering diajak mama berkunjung ke rumahnya Aunty Melisha hingga Tasha mulai tumbuh besar. Tasha kecil sering dititip Aunty Melisha ke rumah kami. Aku tentu saja senang main dengan anak kecil itu, bersama Fema dan juga Arsyad. Kadang juga ada anaknya Aunty Aya dan Om Yoga yang bernama Zee. Rumah kami sudah seperti penitipan anak, akan tetapi mama dan kami anak-anaknya sama sekali tak keberatan.
Namun, seiring berjalannya waktu dengan aku yang beranjak remaja memasuki SMA, aku mulai menjauh dari Tasha. Aku merasa ada yang aneh dengan isi kepalaku terhadap anak kecil itu. Maka, aku lebih baik membatasi diri darinya.
Setelah ketiga orang perempuan lain yang berada di dalam kamar ini keluar, aku baru berbicara dengan Melisha. Mama bilang, Tasha belum tahu jika aku yang akan menggantikan posisi adikku. Tasha setuju menikah denganku setelah kami berbicara cukup lama, katakan saja aku memprovokasi perempuan yang seharusnya menjadi adik iparku itu.
"Tapi, Kak, menikah hanya sekali seumur hidup," ucap Tasha sebelum aku beranjak dari kamarnya.
Aku mengurungkan niatku untuk segera pergi dari sana. Aku menatapnya dengan alis terangkat. Apa Tasha masih ragu, karena statusku yang merupakan seorang duda? Ya... aku adalah seorang duda yang ditinggal istriku tak lama setelah melangsungkan akad. Usia pernikahan kami hanya bertahan 2 jam karena istriku meninggal di rumah sakit. Tempat di mana aku melangsungkan ijab qabul di saat dirinya sedang terbaring lemah di brankar.
"Kamu keberatan menikah dengan seorang duda?" tanyaku diikuti kekehan sinis setelahnya.
Tasha menggeleng cepat. "Bukan begitu maksud aku, Kak. Bukam tentang statusnya Kak Azka. Tapi... a-aku... kita—umm... aku hanya ingin menikah sekali seumur hidup, bukan untuk main-main. Pernikahan bagiku bukan sebuah mainan. Aku— "
"Siapa juga yang mau main-main?"
Mulut Tasha terbuka, kemudian tertutup lagi. Begitu beberapa saat hingga tak ada kata yang keluar dari mulutnya.
"Gimana?" tanyaku memastikan lagi sebelum keluar.
"Ya udah."
"Apanya yang 'ya udah'?"
"Mari kita menikah."
Aku berdehem.
"Sampai ketemu beberapa saat lagi."
***
Dulu waktu akan menikahi Farah, aku tak deg-degan. Tidak sampai keringat dingin karena menahan gugup seperti saat ini. Aku bersama kedua orang tuaku di kamar sebelum menuju kursi tempat akad yang berada di ballroom hotel.
"Nanti juga lancar, kok," ujar papa terkekeh. Aku berlatih ijab qabul dengan papa beberapa kali dari tadi.
Hingga tiba saatnya, aku menjabat tangannya Om Dikta, papanya Tasha.
"Saya terima nikah dan kawinnya Tasha Devira binti Dikta Anggara dengan mas kawin tersebut dibayar tunai."
Aku menghembuskan napas legah setelah mengucapkan kalimat tersebut dengan satu tarikan napas, lancar. Aku kemarin langsung mencari cincin ditemani mama. Meski cincin yang dibeli Arsyad untuk Tasha masih disimpan mama, aku tak ingin memberikan itu kepada Tasha.
Semua terjadi begitu cepat. Aku sudah resmi menjadi suami Tasha sekarang. Setelah sah, Tasha berjalan menuju ke arahku. Dia didampingi oleh Zee, anaknya Aunty Aya dan Om Yoga yang juga merupakan sahabat orang tuaku. Aku mencium keningnya Tasha setelah dia berada di dekatku dan menyalamiku—mencium punggung tanganku. Ada perasaan aneh yang muncul seketika.
Sepanjang acara dari akad hingga resepsi, aku tak mengeluarkan sepatah kata pun kepada Tasha. Saat berfoto pun, aku tersenyum kaku. Tak berani melihat bagaimana ekspresi Tasha yang berdiri di sebelahku.
Selesai acara, aku meminta Tasha duluan ke kamar. Sementara aku kembali ke kamarku semalam, mengambil koperku. Aku juga menunggu hingga perempuan itu mengantuk terlebih dahulu, agar tak ada percakapan di antara kami. Jujur, aku belum tahu akan bagaimana ke depannya dengan pernikahan kami yang mendadak ini. Tapi, aku tak akan bermain-main dengan sebuah pernikahan.
Kira-kira sudah 1 jam lebih, aku baru menuju kamar kami. Aku mengetuk pintu kamar, saat terbuka ternyata Tasha masih memakai gaun pengantin dan make up-nya pun masih belum dibersihkan. Aku segera menyelonong masuk dan memilih untuk mandi lebih dulu. Keluar dari kamar, Tasha tampak sedang membersihkan make up di wajahnya. Akan tetapi, aku merasa perempuan itu tengah memantauku dari kaca di depannya. Apa dia takut aku akan meminta hakku malam ini kepadanya?
Tidak... aku tidak akan meminta hakku. Aku tahu, dia membutuhkan waktu. Begitu pun denganku. Tasha pasti masih memikirkan Arsyad juga. Wajar, mereka berpacaran setahun sebelum memutuskan untuk menikah. Meski awalnya hubungan mereka atas perjodohan—dorongan dari mama, tapi keduanya tampak saling mencintai.
Aku tak kunjung bisa tidur. Mataku terpejam, akan tetapi pikiranku melayang ke mana-mana. Aku membuka mata, waktu sudah menunjukkan jam 1 malam. Aku menoleh ke arah tempat tidur, Tasha tampaknya sudah tertidur pulas. Aku duduk dan diam lama menatapnya dari sofa. Hingga kemudian, aku tergerak beranjak dari sana—melangkah ke arah Tasha. Aku duduk di pinggir ranjang, di dekatnya Tasha yang memejamkan mata. Tanganku terulur menyentuh wajahnya sambil bergumam pelan. Aku terkekeh pelan, benar-benar masih tak menyangka jika gadis kecilku sekarang telah dewasa dan menjadi istriku. Cukup lama menatap wajahnya, aku kemudian kembali menuju sofa. Aku merebahkan diri dan menatap langit-langit kamar, akan bagaimana kehidupan rumah tangga yang akan kami jalani ke depannya?
Tentunya, aku tak akan mempermainkan sebuah pernikahan. Aku hanya bingung bagaimana akan bersikap. Apa ini nyata?
Di pagi saat membuka mata, aku dihadapkan pada kenyataan bahwa yang aku alami bukan lah mimpi. Tampak Tasha yang sepertinya sudah mandi, tak lagi memakai piyama yang semalam dipakainya saat tidur. Aroma sabun yang digunakannya juga sampai pada indera penciumku.
"Biar nanti gue aja yang beresin."
Gerakan Tasha yang sedang merapihkan baju kotorku semalam yang berada di dekat sofa dekatku dukuk, seketika terhenti. Aku semalam buru-buru memejamkan mata di sofa, hingga lupa membereskan pakaianku usai mandi. Ada jas, kemeja, kaos oblong, celana panjang dan juga... celana dalamku.
"Aku kan istrinya kamu sekarang, Kak. Ini udah tugasku."
Ada rasa yang menggelitik perutku mendengar jawaban perempuan itu. Istri katanya?
"Kak Azka mandi gih! Kita udah ditungguin sarapan di bawah. Barusan Tante—emm... Mama Maudy telepon aku."