Tak Bisa Ditebak

1909 Kata
Di balik sikap dingin dan ketusnya, Kak Azka tampak begitu perhatian. Entah, aku tidak mau menduga-duga isi kepala lelaki itu. Sedangkan isi kepalaku sendiri masih berisik. Aku memejamkan mata, namun tak bisa benar-benar tertidur. Bukan hanya karena kelamaan tidur usai dikompres Azka tadi, melainkan karena sebuah pesan yang baru aku terima sekitar setengah jam lalu. Sebuah pesan dari nomor tak dikenal yang aku curigai pengirimnya merupakan seseorang yang namanya masih bertahta di hatiku. Tanpa orang itu menyebutkan namanya pun, aku sudah tahu bahwa itu adalah 'dia'. 0821660978xxx Maaf, Sha... Tunggu aku kembali Aku mencintaimu, selalu. Aku tak membalas pesan tersebut, sekedar membacanya saja. Rasanya campur aduk antara marah, kesal kecewa. Kenapa baru sekarang dia muncul? Kenapa waktu itu dia pergi begitu saja tanpa mengatakan sepatah kata pun? Kami memang bertemu malam sebelumnya menghilang dan lelaki itu memelukku erat—mengucapkan kata cinta padaku. Seharusnya jika memang tengah ada masalah, kenapa dia tak bercerita padaku? Yang mungkin akan bisa dicari solusinya bersama, meski harus menunda pernikahan kami misalnya. Sekarang setelah aku mengambil keputusan, kenapa dia baru menghubungiku? Aku menangisinya kala itu sampai lelah sendiri. Jujur, aku memang masih mencintainya. Tapi, kami tak mungkin lagi untuk bersama. Aku telah menjadi istrinya Kak Azka saat ini, tak akan ada perceraian dalam kamusku. Aku akan mempertahankan pernikahanku bagaimana pun caranya. Meski pun pernikahan kami bukan berasal dari cinta, aku tak akan main-main menjalaninya. Aku akan menjalani hubungan pernikahan ini dengan sungguh-sungguh. Menikah bagiku hanya sekali seumur hidup, kecuali mungkin jika takdir berkata lain seperti hal yang menimpa Kak Azka dulu. Intinya, aku tak ingin berpisah dengan pasangan halalku kecuali memang atas kehendakNya. Aku membuka mata dan menoleh ke arah nakas di mana ponselku berada. Aku meraih benda pipih tersebut. Aku membaca ulang chat yang tadi hingga jemariku bergerak menyentuh tanda panggilan, akan tetapi nomor tersebut tidak aktif. Tersadar dengan apa yang aku lakukan, aku menggelengkan kepala. Aku menaruh ponsel itu kembali di atas nakas. Aku sudah menikah dengan Kak Azka, harusnya aku mengabaikan lelaki itu. Tak boleh lagi memikirkannnya. Setelah meletakkan ponsel di atas nakas, pandangan mataku tertuju pada Kak Azka yang memejamkan mata di sofa bed sana. "Tidur, Sha... " Kak Azka tiba-tiba bersuara. Dia belum tidur? "Kak Azka belum tidur?" Terdengar gumaman tak jelas dari lelaki itu. Entah apa yang dikatakannya, aku tak mendengarnya dengan jelas. "Aku enggak bisa tidur, Kak," lanjutku lagi. Aku menghela napas. Merasa bersalah karena yang membuatku gelisah barusan adalah memikirkan lelaki lain yang merupakan adiknya Kak Azka sendiri, mantan calon suamiku. Apa kah Kak Azka akan marah jika aku jujur bercerita kepadanya? Tapi, Kak Azka juga tahu jika aku masih mencintai Arsyad. Kak Azka sepertinya tak akan peduli meski aku bercerita tentang Arsyad yang barusan mengirimkan pesan padaku. "Kenapa?" Suara Kak Azka kembali terdengar, akan tetapi tak menoleh padaku. Dalam cahaya lampu tidur yang minim, Kak Azka terlihat masih memejamkan mata. "Apanya yang 'kenapa', Kak?" "Lo kenapa enggak bisa tidur?" "Mungkin karena tadi udah kebanyakan tidur." Alasan yang tak sepenuhnya berbohong, tapi yang pasti bukan itu alasan utamanya. Ada sesuatu yang mengganggu pikiranku. "Kak Azka ngantuk nggak? Mau ngobrol nggak? Cerita apa, gitu?" "Nggak terlalu." Lelaki itu menyahut, akan tetapi posisinya tetap sama. Tak memiringkan badan sepertiku yang menatap ke arahnya. "Kak Azka cerita dong, gimana masa-masa tinggal di Amerika? Seru nggak?" "Biasa aja." "Pernah kecantol bule nggak di sana?" tanyaku random sekali. Penasaran juga sebenarnya, apa dia pernah jatuh cinta lagi setelah sekian tahu berpisah selamanya dengan Kak Farah? "Nggak." Kirain Kak Azka bakalan kesal aku tanya begitu, ternyata tidak. Aku lanjut bertanya hal lain lagi kepadanya. "Aku mau tahu deh, Kak, gimana perasaan kamu pas lepasin pekerjaan di sana dan memilih ikut proyek papa di sini? Pasti berat banget, ya?" Aku tahu, Kak Azka bekerja di perusahaan yang cukup ternama di sana, cerita yang aku dengar dari Tante Maudy yang sekarang telah berganti status jadi mamaku. "Biasa aja." Begitu lah Kak Azka, yang hampir selalu menyahut singkat ketika aku ajak bicara. Tapi sekalinya bicara panjang lebar, sudah dipastikan akan bernada ketus keluar dari mulutnya. "Oh ya, Kak, besok mama dan papa minta kita datang ke rumah. Makan malam di rumah bersama." "Ya. Dah, jangan tidur terlalu larut. Besok pagi-pagi, kita lihat-lihat rumah lagi." "Lagi?" Aku mengernyit. Pasalnya, tadi kami telah melihat 2 rumah di komplek yang berbeda. Aku pikir, Kak Azka akan menentukan salah satu di antaranya. "Ya. Sekalian mau lihat rumah yang mau kita sewa." "Udah dapet?" "Ada teman gue kasih tahu. Kita lihat dulu aja, siapa tahu cocok." "Oke, Kak." Begini, berarti Kak Azka juga memikirkan tentang bagaimana rumah tangga kami ke depannya juga, kan? Di balik sikapnya yang ketus dan terkesan menjaga jarak denganku, dia setidaknya tahu tanggung jawabnya sebagai seorang suami. Dia perhatian, memikirkan untuk tempat tinggal kami dan mengajakku untuk ikut ke Bali dulu dengannya sebelum aku kembali masuk kerja. Meski katanya bukan lah honeymoon, setidaknya dia tidak membiarkanku sendirian di sini tanpa melakukan apa-apa. “Udah, Sha, sekarang waktunya tidur.” *** "Lo compare aja sama rumah yang udah pernah kita lihat sebelumnya," ujar Kak Azka di saat kami sudah berada di dalam mobil menuju salah satu perumahan. Bukan perumahan baru, tapi rumah lama yang dijual oleh pemiliknya. Begitu kata Kak Azka. "Iya, Kak." Tak lama, kami pun tiba di sebuah perumahan elit dan temannya Kak Azka sudah menunggu di sana. "Istri gue, Tasha," ujar Kak Azka memperkenalkanku kepada temannya itu. "Bram, teman SMA-nya Azka." Aku tersenyum menyambut uluran tangan temannya itu. "Yuk, langsung masuk aja lihat-lihat!" ajak lelaki itu. "Semalam gue udah sempat ke sini ketemu sama saudara yang punya rumah. Dia sibuk hari ini nggak bisa nemenin. Sedangkan yang punya rumah, udah menetap di luar negeri." "Oke." Kami pun memasuki rumah yang menurutku lebih besar dari rumah orang tuaku itu. Di garasi mobil bisa muat 2 mobil di bagian dalam dan di depan juga bisa satu lagi. Ada taman kecil juga di depan teras. "Kalau menurut gue, ini rumah bisa langsung lo dan istri lo tempatin, sih. Enggak perlu cari rumah sewa lagi, kalau menurut gue, ya!” ujar Mas Bram. "Bangunannya, overall masih bagus banget. Paling kalau lo pengen ganti beberapa isinya sama yang baru, ya nggak apa-apa juga. Udah gue cek semua, tapi coba lo dan istri lo nilai sendiri." Kami telah berada di dalam rumah saat ini. Ruang tamunya luas sekali, lalu tak jauh dari sana ada pintu ke bagian samping juga. Kamar utama, ada di lantai ini juga. Rumah ini terdiri dari 2 lantai dan aku cukup terkesan dengan interiornya. Kak Azka menoleh kepadaku yang berjalan di belakangnya. Kami menuju ke arah samping setelah melihat bagian dapur. Bagian samping rumah ada kolam renang, beberapa jenis tanaman di sekitarnya serta ada balkon juga. “Gimana? Suka nggak?” “Suka-suka aja.” Kami belum menuju lantai 2, tapi aku suka apa yang telah aku lihat di lantai ini. Mas Bram benar, sepertinya tidak akan banyak renovasi. Selanjutnya, kami beranjak ke lantai 2. Di lantai 1 terdapat 2 kamar dengan satu kamar utama yang paling besar, sedangkan lantai 2 terdiri dari 3 kamar. “Mau lihat rumah sewanya juga nggak setelah ini?” tanya Kak Azka setelah kami berkeliling melihat-lihat isi rumah. Temannya Kak Azka sudah turun terlebih dahulu. “Atau mau yang ini aja? Terserah kamu, sih.” “Menurut Kak Azka gimana? Aku ngikut aja.” “Kalau lo suka, ya udah yang ini aja. Kalau lo mau lihat yang lain lagi, ayo! Kalau dibanding yang kemarin, gimana?” Jujur, aku lebih suka rumah yang ini dari pada 2 rumah yang kami lihat sebelumnya. Bukan karena lebih besar, tapi aku suka interiornya. “Aku lebih suka yang ini, tapi terserah Kak Azka aja deh! Yang ini kayaknya lebih mahal.” “Enggak masalah kalau lo suka.” Kak Azka melangkah lebih dulu menuruni tangga. Ini tuh serius Kak Azka menyerahkan keputusan kepadaku? Sejak menikah, aku seringkali menebak-nebak apa yang ada di dalam pikiran lelaki itu. Kak Azka sungguh tak bisa ditebak. “Kayaknya nggak perlu ke tempat satu lagi deh, Bro,” ujar Kak Azka setelah kami menemui temannya lagi di lantai bawah. “Gue dan istri gue mau yang ini aja. Iya, ‘kan?” Kak Azka melirikku meminta jawaban dan aku menganggukkan kepala. “Gue bilang juga apa. Rumah ini tuh bagus. Sayang-sayang kalau lo mau nyewa rumah lagi, kan lumayan harga sewa per tahunnya. Ya meski lo banyak duit, mending dialokasiin ke hal lain.” “Ya. Entar lo bantu gue lagi untuk prosesnya. Dalam minggu ini juga, ya? Secepatnya. Karena gue mau pindah-pindahin barang sebelum berangkat ke Bali.” “Bisa aja, tapi— “ “Berapa pun biayanya, entar kasih tahu gue.” Kami telah berada di dalam mobil saat ini setelah berpamitan dengan temannya Kak Azka. “Kak Azka nggak pikir-pikir lagi untuk rumah itu?” tanyaku. Lelaki itu menggeleng, melirikku sekilas sebelum melajukan mobilnya. “Lo suka, ‘kan?” “Iya. Tapi kan harganya mahal banget.” “Enggak masalah.” Tidak masalah katanya? Harga rumah itu 5,5 milyar. “Gue nggak bakalan jatoh miskin kalau itu yang lo pikirin. Ini ada hadiah pernikahan dari papa gue juga, lumayan.” Kak Azka kembali menoleh padaku sekilas. “Bukan hadiah pernikahan lo dan Arsyad yang gue ambil. Tapi memang ada hadiah dari papa untuk masing-masing anaknya yang menikah.” Aku menghela napas. Kenapa selalu saja bawa nama Kak Arsyad hampir dalam setiap pembicaraan? Tunggu… apa Kak Azka ini tengah cemburu? Aku menggeleng cepat. Mana mungkin!! “Udah jam 11 lewat, mau langsung ke rumahmu atau kita cari makan siang di luar dulu?” “Terserah Kak Azka.” “Oke, cari tempat makan dulu aja.” *** Kami baru tiba di rumah orang tuaku jam 3 sore. Tadi Kak Azka katanya ingin makan di restoran yang cukup terkenal akan hidangan makanan laut, di mana lokasinya cukup jauh di daerah utara. Aku dan Kak Azka baru berkunjung ke sini setelah kami menikah. “Menginap di sini malam ini ya, Sha. Mama kangen,” ujar mama padaku. Aku menoleh pada Kak Azka dan lelaki itu tersenyum. Senyum yang tak pernah diberikan padaku sejak kami menikah. “Mau kan, Azka?” Mama bertanya kepada Kak Azka. “Iya, Ma. Kami akan menginap.” Mama tampak senang. Hanya ada mama dan asisten rumah tangga saat ini di rumah, karena papa sedang ada kerjaan di luar. Saat mama ke dapur, aku mengajak Kak Azka berbicara. "Tapi, Kak, di kamarku enggak ada sofa bed atau sofa-sofa jenis lain. Gimana? Enggak mungkin juga Kak Azka tidur di kamar tamu, apa kata orang tuaku nanti?" "Ya udah." "Apanya yang 'ya udah', Kak?" "Nggak apa-apa tidur seranjang juga. Mau gimana lagi?" Kak Azka mengedikkan bahunya, tampak tak peduli. “Mama pengen kita nginap.” “Kamu yakin, Kak? Aku kan bisa nginap kapan-kapan di sini, kalau nanti pas kamu di Bali juga.” “Hmmm.” “Yakin nggak?” “Lo takut?” Kak Azka balik bertanya. “Karena apa yang pernah gue bilang waktu itu?” “Nggak gitu juga. Aku percaya sama Kak Azka.” “Terus?” “Ya, nggak apa-apa. Suami istri memang harusnya tidur di ranjang yang sama, bukan?” “Hmmm. Dan suami boleh nyentuh istrinya di atas ranjang yang mereka tempati berdua, bukan?” Aku langsung terdiam. Apa Kak Azka ini benar-benar ingin menyentuhku atau ada makna lain dibalik ucapannya itu? “Kak, aku minta sedikit wak— “ “Ck… takut banget, sih! Dibilang gue nggak nafsu sama lo. Apa-apa serba kecil, rata.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN