Tidur Seranjan9

1641 Kata
Mengobrol bersama papa dan juga mamaku, Kak Azka itu tampak biasa saja. Tidak menyahut singkat seperti ketika bicara denganku. Sesekali terdengar gelak tawa lelaki itu. Usai makan malam, aku izin pamit duluan ke kamar. Sedangkan Kak Azka masih terlibat obrolan seru dengan papaku. Aku mencuci muka dan sikat gigi ke kamar mandi begitu memasuki kamar. Kemudian, aku duduk bersandar pada headboard sambil membaca novel. Tak langsung merebahkan diri, karena memberi jeda antara makan dan tidur. Kak Azka tak keberatan katanya tidur di ranjang yang sama denganku. Mau gimana lagi memangnya? Tak mungkin kami tidur di kamar yang berbeda. Ada karpet tebal di sebelah tempat tidurku, mana tega aku meminta lelaki itu tidur di sana. Tak lama kemudian, pintu terbuka dan Kak Azka masuk. Aku pun segera meletakkan novelku di atas nakas, lalu bangkit dari kasur. "Kak Azka mau mandi?" "Ya." Kak Azka belum mandi dari tadi saat tiba di sini. Dia masih memakai baju yang sama. Usai kami mengobrol-ngobrol bersama mama, aku menuju kamar dan mandi, sedangkan Kak Azka lanjut bermain catur dengan papa yang baru saja pulang kerja. Sempat ke kamar usai maghrib, Kak Azka hanya rebahan sejenak di kasur dan aku mengajaknya turun untuk makan malam beberapa saat kemudian. "Bentar, aku ambilin handuk dulu." Aku mengambil sebuah handuk baru di lemari. Sedangkan untuk baju ganti, aku mengambilnya tadinya dari kamar tamu. Bajunya Arsyad sewaktu menginap di sini, semoga saja Kak Azka tak mengenali baju tersebut. Sudah lama tak bertemu, tak mungkin juga dia hapal semua jenis baju rumah yang adiknya punya. "Pakai baju ganti yang ini ya, Kak. Punyanya Galih," ujarku berbohong. Galih adalah sepupuku, anak dari kakaknya papa yang usianya 1,5 tahun lebih tua dariku. Kak Azka juga mengenal Galih. Terpaksa aku berbohong. Karena tidak mau Kak Azka kembali berujar sinis membawa nama adiknya itu. Entah dia kesal dengan adiknya atau bagaimana, aku tak mengerti. Kalau cemburu, tentu saja tidak mungkin. Saat Kak Azka sudah memasuki kamar mandi, aku kembali ke tempat tidur. Aku segera merebahkan diri, menarik selimut, lalu memejamkan mata. Tak lupa sebelumnya aku memberi batas bantal guling di tengah. Ini pertama kalinya aku akan tidur seranjang dengan suamiku sendiri. Aku mendengar pintu kamar mandi terbuka tak lama kemudian. Aku menunggu, hingga akhirnya terasa seseorang ikut naik ke atas ranjang yang sama denganku juga. Hmm... apa Kak Azka juga merasa deg-degan seperti yang aku rasakan saat ini? Meski memang kami tak melakukan apa pun, tetap saja aku gugup. Pertama kalinya ada seorang lelaki yang tidur bersamaku di sebuah ranjang yang sama. Waktu berlalu, aku tak kunjung bisa tertidur. Perlahan, aku membuka mata dan menoleh ke samping. Kak Azka sudah tidur. Aku memiringkan badanku menghadap padanya. Tak menyangka bahwa aku telah menikah dengan seseorang yang aku pernah aku sukai selama bertahun-tahun. Sejak SMP mulai mengerti akan memiliki perasaan spesial kepada seseorang, pilihanku jatuh kepada Kak Azka meski lelaki itu semakin hari menjaga jarak denganku. Hingga tahun pertama kuliah, aku masih tetap menyukainya. Rasa suka yang aku pendam sendirian tanpa diketahui siapa pun. Ralat, ada mama juga yang tahu. Aku yang terkejut jika mama mengetahuinya. Beliau yang berbisik padaku sebelum aku berbicara dengan Kak Azka pada hari pernikahan kami. Aku masih menatap lekat ke arah lelaki yang entah sudah berapa lama memejamkan matanya itu. Apa perasaan yang dulu kumiliki untuknya bisa kembali bersemi dengan cepat? Kak Azka masih orang yang sama. Masih dengan sikapnya yang dingin dan ketampanannya pun tak hilang sedikit pun. Aku akui jika dia semakin tampan pada usianya yang sudah kepala tiga itu. Bunyi notifikasi ponsel beruntun menyentakku. Aku berbalik badan, mengalihkan tatapan dari Kak Azka. Meraih ponselku, aku melihat ada pesan masuk. Kembali dari nomor yang sama, yang sudah aku pastikan jika pengirimnya adalah Kak Arsyad. Aku mengetik balasan kepada nomor tersebut. Jangan ganggu aku lagi. Aku kemudian meletakkan ponselku setelah memblokir nomor tersebut. Aku kecewa, sangat. Tak ada gunanya sekarang kata-kata yang dikirimkan lelaki itu padaku. Semua sudah terlambat. Aku sudah menjadi milik orang lain, meski belum mencintai orang itu. Nama Kak Arsyad memang masih ada di dalam hatiku, akan tetapi aku sudah bertekad untuk melupakan tentang kami. "Chat-an sama siapa malam-malam?" Aku terkejut ketika mendengar suara Kak Azka. Dia belum benar-benar tidur juga? Atau terbangun karena notifikasi beruntun pada ponselku? Aku lupa mengganti nada senyap sebelum merebahkan diri di kasur. Menoleh ke arah Kak Azka, lelaki itu baru membuka matanya dan tatapan kami bertemu. "Berisik. Bikin mode senyap aja notifikasinya, bisa nggak?" "Iya. Maaf udah ganggu tidurnya kamu, Kak." "Hmmm. Lagi chat siapa sih, malam-malam begini?" "Kak Zee," jawabku asal. Aku menggumamkan kata maaf di dalam hati karena telah berbohong. "Besok mau ketemuan sama Kak Zee. Dia mau ke luar negeri lagi ikut suaminya." Kak Zee memang bilang jika akan ke Australia untuk menemani suaminya berlaga di ajang Moto3. Suaminya Kak Zee yang bernama Rafli itu merupakan seorang pembalap. Mereka menikah 2 tahun lalu dan telah dikaruniai seorang anak laki-laki. Kak Zee sering diajak suaminya ikut di race mana pun. Dia tidak ikut hanya ketika sudah mulai memasuki hamil tua dan lahiran di sini. Setelah sang anak berusia 6 bulan, baru lah Kak Zee mulai ikut suaminya lagi ke mana-mana. Kak Azka menatapku dengan mata menyipit. "Beneran Kak Zee, kok. Kamu mau lihat chat kami?" Kak Azka malah terkekeh. "Kenapa? Kayaknya kamu panik gitu," ujarnya terlihat tak percaya dengan jawabanku. "Siapa yang panik? Kak Azka ngeliatin aku kayak gitu banget, seolah nggak percaya sama jawaban aku." "Pakar ekspresi, huh?" Kak Azka memejamkan matanya kembali. "Dah, gue mau lanjut tidur. Jangan berisik!" Aku menghembuskan napas berat. Tak mungkin aku bilang jika Arsyad muncul mengirimiku pesan, bukan? Menggelengkan kepala, aku ikut memejamkan mata juga. Mulai mengantuk. Aku terbangun pada pukul 05:15. Hingga aku menyadari sesuatu setelah melihat jam pada ponselku. Ada tangan yang melingkari pinggangku, tangannya Kak Azka. Bantal guling yang berada di tengah sebagai pembatas kami, sudah berpindah posisi. Ketika aku hendak memindahkan tangannya, pelukan padaku semakin terasa erat. "Kak, aku mau ke kamar mandi." Aku menyentuh tangan besar tersebut, hendak melepaskannya dari atas perutku. "Bentar aja, mau kayak begini." Kak Azka semakin meringsek maju—merapatkan tubuhnya padaku. Kak Azka memelukku begini, apa dia sadar? Apa dia sedang tidak berhalusinasi? Pasalnya, sudah dua kali dia mengatakan jika tak tertarik melihat tubuhku yang kurus kecil ini. “Nanti aja ke kamar mandinya, Sha.” *** Aku benaran akan bertemu dengan Kak Zee hari ini. Pagi hari tadi, Kak Zee mengirimkan pesan kepadaku sebelum aku yang berniat mengajaknya bertemu juga. Kak Azka juga ikut. Katanya ingin beli beberapa helai pakaian, sekalian karena Kak Zee mengajak bertemu di mall. "Dia masih sedingin kulkas?" tanya Kak Zee saat Kak Azka ke toilet. "Ya, gitu. Kadang panjang juga kata-kata yang keluar dari mulutnya, tapi ya gitu, ketus nggak jelas." Kak Zee tertawa. "Aku tuh dari dulu ngerasa, kok dia kayak begitu ke kamu doang ya, Sha? Yakin kamu nggak pernah bikin kesalahan atau bikin dia kesal?" Kak Zee juga pernah menanyakan ini sebelumnya. "Setelah Kak Farah meninggal, dia juga dingin hampir ke semua orang nggak, sih?" "No, Sha. Dia kan emang nggak banyak omong. Sama aku juga, kan kami juga nggak begitu dekat. Tap menurutku masih dalam tahap wajar. Sama kamu yang kelihatan beda, soalnya dulu itu waktu kecil kalian dekat banget." "Makin gede, jadi nggak enak kali dekat sama lawan jenis selain saudaranya sendiri, Kak. Mungkin gitu." "Tapi, kalian udah 'begituan' belum? Azka minta haknya nggak? Aku penasaran.” "Belum, Kak." Mengenai itu, aku sudah memutuskan jika akan memberikannya jika Kak Azka meminta. Kewajiban sebagai seorang istri, harus aku jalani meski belum mencintai lelaki itu, bukan? Mama juga mengingatkanku pagi ini dan aku merasa bersalah. Meski kalimat ketus yang keluar dari mulut Kak Azka mengatai fisikku, belum tentu dalam hatinya begitu sebenarnya. Entah lah, Kak Azka sungguh tak bisa ditebak. Dia begitu perhatian dan bertanggung jawab juga—menjalankan tugasnya sebagai seorang suami. Aku hanya tidak mengerti kenapa sikapnya dingin dan ketus padaku. Hal yang dari dulu tak juga aku dapatkan jawabannya. Aku dan Kak Zee mengalihkan pembicaraan ke hal lain ketika melihat Kak Azka sudah muncul dari arah toilet. Sambil menunggu makanan datang, kami mengobrol dan Kak Azka hanya menyahut singkat. Beda ketika Kak Rafli, suaminya Kak Zee datang belakangan. Kak Azka terlihat santai dalam obrolannya dengan lelaki yang merupakan pembalap itu. “Kita mau langsung pulang setelah ini, mau jemput anak di rumah mertua,” ujar Kak Zee setelah kami selesai makan. “Kalian jadi mau belanja?” “Jadi, Kak,” sahutku. Kami berpisah di tempat makan. Kak Zee menuju arah parkiran, sedangkan aku dan Kak Azka menuju outlet pakaian. Kak Azka memintaku memilih beberapa kaos karena katanya tak banyak stok bajunya di sini. Mama Maudy memang cerita jika dulu sebelum ke luar negeri, Kak Azka meminta sang mama untuk menghibahkan pakaiannya yang tertinggal kepada orang yang tak mampu. Mungkin Kak Azka juga tak banyak membawa bajunya ke sini dari luar negeri. “Kak Azka!!” Seorang perempuan memeluk Kak Azka ketika kami baru saja keluar dari outlet pakaian. Siapa perempuan itu? Aku hendak memundurkan langkahku, namun satu tangan Kak Azka yang tak digunakan tak membawa kantong belanja—mencekal pergelangan tanganku. “Kak Azka kapan balik?” tanya perempuan itu yang sudah melepaskan diri dari Kak Azka. “Kok enggak bilang-bilang? Kok enggak main ke rumah?” “Minggu lalu. Maaf, belum sempat ke sana.” Kak Azka menarik tanganku hingga aku berdiri sejajar di sampingnya. “Kenalin, ini Tasha— “ “Nggak asing kayaknya sama kamu,” ujar perempuan yang seolah baru ngeh dengan kehadiranku di sisi Kak Azka. “Ka-mu… kamu tunangananya Kak Arsyad, bukan?” “Aku— “ “Kenalin, aku Fira. Adik iparnya Kak Azka.” Perempuan itu mengulurkan tangannya dan aku menyambutnya. Adik ipar? “Kak Azka pulang pasti karena lusa itu harinya Kak Farah, ‘kan?” Perempuan bernama Fira itu terus saja menyerocos. “Ayo, lusa kita bisa bareng-bareng ke sana.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN