Bab 3. Berpura-puralah!

1471 Kata
"Pacar?" tanya Morgan dengan nada tak percaya. Niko mengangguk cepat sementara Nadine masih berdebar keras. Sungguh tak masuk akal kenapa tiba-tiba ia diakui sebagai pacar dari pria kaya yang mau menampung ia dan keluarganya. "Namanya Nadine," ujar Niko. Ia melempar senyum pada Nadine, berharap setengah mati agar gadis itu mau ikut berperan dalam sandiwara dadakan itu. "Ehm ... ya, hai, Om!" Nadine dengan kikuk menimpali Niko. Ia tersenyum canggung lalu mengulurkan tangannya pada Morgan. Tangan Nadine begitu gemetar, ia masih ketakutan dengan anjing galak Niko. Ia juga masih tak mengerti dengan situasi ini. "Kamu benar pacar Niko?" tanya Morgan. Kedua matanya menatap Nadine dari atas hingga bawah. Gadis itu sangat muda, mungkin baru awal dua puluh tahunan. Dan gadis itu memakai baju tidur bergambar Hello Kitty. Terlihat murah dan tipis hingga ia meragukan apakah benar Nadine adalah pacar Niko. "Ya, Nadine pacar aku, Pa." Niko menarik pinggang Nadine. Gadis itu terkesiap, tetapi tatapan Niko yang lembut seolah membujuknya untuk terus berpura-pura. Nadine tak punya pilihan, ia tahu sejak tadi Niko terus ditekan oleh ayahnya. Anggap saja ia sedang membantu pria yang memberi pertolongan pada keluarganya. Nadine kini duduk di kursi teras tepat di sebelah Niko dengan jarak yang hampir tak ada. Tangan Niko menyeberangi bahunya hingga membuat Nadine panas-dingin. Jari-jari Nadine saling bertautan dengan mata bergerak liar untuk menghindari tatapan Morgan. "Sejak kapan kalian pacaran?" tanya Morgan lagi. Ia menyipitkan mata, melihat gestur Nadine yang canggung ia semakin curiga saja. Namun, seperti biasa Niko begitu tenang. "Ehm, belum lama," jawab Niko. "Dari mana kamu kenal sama dia? Dia anak keluarga siapa?" Niko mengulum bibirnya. Ia tak mungkin mengatakan bahwa Nadine hanyalah anak sopir barunya. Namun, ia tak bisa mengarang karena ia cemas apa yang ia katakan tidak akan sinkron dengan Nadine. "Semuanya terjadi begitu aja. Kami cuma sering ketemu dan akhirnya jatuh cinta. Nadine bukan dari kalangan atas, tapi ...." "Apa?" Morgan sontak melotot. Nadine memang cantik dan muda. Gadis itu bak porselen mulus yang akan menarik banyak pria. Jika Niko tertarik dengan gadis semacam itu, sebenarnya itu normal. Akan tetapi, ia juga butuh menantu yang berkelas. "Aku nggak mau ditentang. Papa minta aku nikah, kan? Aku udah punya Nadine, jadi jangan jodoh-jodohkan aku lagi," kata Niko penuh harap. Niko hanya berniat meminjam peran Nadine sejenak. Ia tak ingin dijodohkan dengan Ambar atau siapa pun, ia bahkan tak ingin menikah. Morgan mendengkus. "Jadi, kamu kerja di mana, Nad? Din?" "Ehm ... saya ...." Nadine menoleh ke arah Niko. Ia pengangguran, tetapi rasanya tak pantas ia mengatakan itu. "Saya kerja di kafe." "Nadine mengelola kafe," timpal Niko asal. Ia sebenarnya tak tahu apa-apa tentang gadis yang ia rangkul lekat itu. "Begitu? Milik dia sendiri?" tanya Morgan. Niko berdehem pelan. "Papa apa-apaan, sih? Mendingan Papa pulang, ini udah malam." Morgan tersenyum miring. Ia tak akan semudah itu pulang. Ia masih merasa curiga karena Nadine diserang oleh Bruno, anjing Niko. Jika benar Nadine adalah pacar Niko, seharusnya Nadine juga kenal dengan Bruno. "Papa mau nginep di sini," ujar Morgan. Rahang bawah Niko seolah mau jatuh sementara Nadine mengerjap bingung. "Ngapain Papa nginep?" "Udah lama Papa nggak tidur di sini." Morgan mengangkat alisnya lalu menunjuk Nadine yang terlihat begitu mungil di sebelah Niko. "Dia juga nginep di sini, kan?" Nadine membelalak. Ia ingin kabur dan berdiri sekarang. Mungkin, lebih baik jika ia pergi ke pondok mungil ayahnya. "Oh ... Nadine ...." Niko juga gelagapan. Sungguh ini sandiwara yang berantakan. "Dia udah pakai baju tidur gitu, dia tidur di sini, kan? Di kamar kamu?" tanya Morgan lagi. "Om, saya ...." "Ya, Nadine tidur di sini," potong Niko. Nadine semakin melotot. Tidak, ini tidak benar. Ia memang tidur di rumah ini, tetapi ia tidur di bawah atap yang berbeda. Ia bahkan meninggalkan ibunya dan ponselnya di pondok itu. "Bagus, kalau gitu kita masuk sekarang. Dingin di luar," kata Morgan. Pria tua itu berdiri lalu berjalan menuju pintu utama. Nadine terkesiap saat Niko mengedikkan dagunya. Ia menggeleng karena tak mau dibawa ke kamar Niko. "Tolong saya," bisik Niko pada Nadine. Ia menoleh pada ayahnya yang baru saja masuk ke ruang tamu. "Bentar aja, pura-pura jadi pacar saya. Plis." "Tapi ... tapi saya nggak mau tidur di dalam situ," tolak Nadine. "Nggak tidur betulan. Cuma pura-pura. Saya ... saya terpaksa. Ayo!" Niko berdiri lebih dulu. Ia mengulurkan tangannya pada Nadine. "Ayo, Nadine. Tolong, biar Papa percaya kalau kita emang pacaran. Saya bisa bayar kamu sebanyak yang kamu mau," bisik Niko lagi. Nadine mengepalkan tangannya. Niko terlihat baik, Niko juga mau menampung ia dan keluarganya. Jadi, ia pun mengangguk lalu menerima uluran tangan Niko. "Cuma pura-pura, kan?" "Ya." Niko mengangguk dengan eskpresi lega. Niko mengajak Nadine masuk dengan tangan bergandengan. Jujur saja, ia sangat berdebar seperti ini. Ia tak pernah dekat dengan wanita mana pun, ia juga harus berbohong pada ayahnya. "Papa tidur di kamar sebelah kamu," kata Morgan. "Ya, silakan aja," ujar Niko. Morgan tersenyum. "Apa kamu udah sering tidur di sini, Din?" Nadine menggigit bibirnya lalu menggeleng. "Nggak juga, Om." "Oh, jadi kamu tadi ngapain di luar? Belum kenal sama Bruno?" tanya Morgan lagi. "Tadi ... cuma jalan-jalan di sekeliling rumah, Om," jawab Nadine apa adanya. "Gitu ... kapan rencana pernikahan kalian?" Nadine hampir tersedak, padahal ia tidak sedang makan atau minum. Ia menatap ngeri ke arah Niko. Sandiwara ini tak akan sampai ke tahap itu, kan? "Belum ada rencana apa-apa," jawab Niko. "Ehm ... jangan lama-lama, kalian pasti udah pernah tidur bareng, kan?" Morgan menatap Niko dan Nadine bergantian. "Kamu harus nikahin Nadine buat tanggung jawab." Nadine ingin menjelaskan pada Morgan bahwa mereka tak pernah melakukan itu, tetapi Niko meremas tangannya kuat. Jadilah, Nadine akhirnya memilih bungkam hingga mereka tiba di depan pintu kamar. "Papa silakan masuk duluan," ujar Niko seraya membuat gesture dengan tangannya agar sang ayah membuka pintu kamar. Morgan tersenyum miring. "Kalian duluan aja. Papa pengen liat kalian masuk kamar berdua." "Papa nggak usah gini," tolak Niko. "Nggak usah sungkan walaupun ada Papa di sini. Kalau ada suara-suara aneh, Papa bakalan maklum. Papa juga pernah muda dan itu yang malah Papa harapkan. Buat cucu yang banyak buat Papa!" Morgan menepuk lengan putranya dua kali. Nadine merasa ia tak bisa bernapas lagi. Apa-apaan yang dikatakan oleh orang tua di depannya? Ia sama sekali tak mengerti, tetapi ia malah malu sendiri. "Buruan, masuk sana," ujar Morgan seraya mengibaskan tangannya di udara. Niko membuang napas panjang. Kini ia merasa sangat konyol karena sudah bersandiwara seperti ini. Ia jelas hanya akan repot sendiri nantinya. "Ayo, Honey," ajak Niko pada Nadine. Nadine mengangguk pada Morgan. "Malam, Om. Silakan istirahat." Morgan hanya melempar senyum pada gadis cantik itu. Ia menunggu sampai akhirnya Niko dan Nadine masuk kamar. Karena penasaran, Morgan segera menempelkan telinganya di daun pintu dan juga mengintip di lubang kunci. Sayang sekali, ia tak bisa mendengar dan melihat apa pun. "Hah! Kamu nggak main-main, kan, Nik? Kenapa tiba-tiba bawa cewek ke kamar?" *** Sementara itu di kamar Niko, terjadi kecanggungan yang luar biasa di antara Nadine dan Niko. Keduanya langsung melepaskan tangan satu sama lain lalu Nadine melangkah menjauh dari Niko. "Bapak apa-apaan? Kenapa mendadak banget?" tanya Nadine lirih. Ia menoleh ke pintu, merasa seolah ada yang mengawasi di luar. Sebenarnya ia sudah menguping obrolan Niko dan Morgan tadi, ia juga tahu Niko terpaksa berpura-pura. "Maaf kamu harus terlibat dalam urusan saya, tapi saya beneran butuh bantuan kamu," ujar Niko. "Cuma malam ini, kan?" Nadine memeluk tubuhnya sendiri dengan gusar. "Saya udah boleh balik ke pondok?" Niko menggeleng tak yakin, tetapi melihat ayahnya tadi, ia cemas jika ayahnya masih mengawasi mereka berdua. Ayahnya bukan orang yang mudah ditipu. "Tapi saya nggak mau tidur di kamar ini!" Nadine hampir menjerit. Ia tak pernah tidur di kamar pria. Ia memang sudah lama pacaran, tetapi ia masihlah gadis suci yang menjaga dirinya sebaik mungkin. Niko menelan saliva. Menatap wajah Nadine yang memerah membuatnya merasa bersalah. Namun, ia sudah terlanjur basah. Tak ada gunanya mundur. "Bantu saya selama beberapa hari ke depan untuk pura-pura jadi pacar saya," kata Niko. "Hah?" Nadine ternganga. "Saya harus meyakinkan papa saya kalau kita beneran pacaran. Jadi, kamu harus di sini. Saya bisa bayar kamu berapa pun yang kamu mau asalkan kamu mau pura-pura. Tenang aja, saya nggak akan menyentuh kamu," bujuk Niko. Nadine merasa sangat kacau. Ini tidak masuk akal. Ia ingin menolak Niko, tetapi ia ingat kebaikan Niko pada orang tuanya. Ia juga mendadak teringat dengan Charlie yang tega berselingkuh dan mengusirnya dari kafe. "Ehm ... Bapak beneran papanya Charlie?" Nadine mulai kepikiran, jika ia berpacaran dengan Niko, pasti ia bisa membuat mantan pacarnya itu syok berat. Dan itu adalah balasan yang setimpal untuk Charlie. Niko mengangguk pelan. "Ya. Kenapa?" "Saya mau pura-pura jadi pacar Bapak, tapi ... boleh saya tahu gimana ceritanya ... ehm, Bapak bisa punya anak seumuran Charlie?" Niko menyipitkan matanya. Ia mulai penasaran kenapa Nadine malah membahas Charlie. Namun, karena tak ingin ditolak, ia pun mengangguk. "Duduk aja, saya ceritakan."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN