Nadine dan ibunya memakai taksi untuk berangkat ke rumah Niko. Sementara motor Nadine dipakai oleh Jono. Nadine tak bisa berpikir jernih sepanjang perjalanan. Hidupnya yang baik-baik saja mendadak berubah dalam semalam—beberapa jam saja.
"Rumahnya besar banget, Din." Prapti menyenggol lengan putrinya.
Nadine yang sedang melamun pun terkesiap. Ia tak tahu ada di daerah mana. Ketika ia turun dari taksi, ia baru sepakat dengan ucapan ibunya. Rumah ini sungguh besar bak istana. Apakah ia boleh menumpang di sini?
Mungkin seperti ibunya, ia bisa ikut bekerja sebagai pelayan. Namun, ia tak pernah bermimpi untuk bekerja sebagai pelayan. Ia harus mencari pekerjaan lain. Ia akan menumpang sebentar saja lalu bekerja di tempat lain.
Belum habis rasa kaget Nadine dan ibunya, tiba-tiba pintu depan rumah itu terbuka dan seorang pria tampan muncul dari sana. Nadine tak tahu persis usia pria itu, tetapi ia menebak pria itu hampir 40 tahun.
"Pak Jono," panggil pria yang tak lain adalah Niko.
"Ya, Pak. Maaf, saya harus merepotkan Bapak," kata Jono. Ia menoleh pada istri dan putrinya. "Ini Pak Niko, bos baru Papa."
Nadine membulatkan bibirnya. Ia baru pertama kali melihat sosok Niko yang ternyata lebih muda dibandingkan yang ia bayangkan.
"Nggak masalah. Sejak awal saya menawari Bapak untuk tinggal di sini agar lebih mempermudah pekerjaan," kata Niko. Ia mengedarkan pandangannya lalu bertemu tatap dengan Prapti yang baru saja mengangguk dan juga Nadine.
Niko melebarkan matanya saat ia melihat Nadine yang begitu cantik. Ia tak menyangka Jono akan mengajak putrinya ke sini.
"Ah, maaf. Tapi ... putri saya juga harus tinggal di sini, Pak. Jika boleh dan ... kami nggak punya rumah lagi," kata Jono mengiba.
Nadine mengepalkan tangannya. Ia tak suka jika Jono harus berkata seperti itu. Ia akan tinggal di tempat lain nanti jika ia sudah mendapatkan pekerjaan. Ia berjanji dalam hati.
Niko kembali menatap Nadine yang kini menunduk dengan jemari saling bertautan. Ia sudah melihat foto rumah yang dikirimkan oleh Jono. Rumah itu luluh lantak akibat diamuk si jago merah.
Jono adalah sopir barunya dan ia tahu Jono adalah pria baik. Dulu, Jono bekerja sebagai bodyguard lalu sekuriti dan kini menjadi sopir pribadi. Pria itu memiliki niat bekerja yang besar. Ia tentu iba karena musibah yang menimpa Jono.
"Ya udah, nggak apa-apa." Niko akhirnya bicara. Ia mengeluarkan uang dari dompetnya untuk membayar taksi Nadine.
"Silakan masuk dulu, kalian pasti shock banget karena kebakaran itu," kata Niko.
"Nggak cuma shock, Pak. Saya nggak tahu lagi apa saya masih bisa berdiri tadi," ujar Jono.
Niko menepuk bahu Jono dua kali. "Saya mengerti. Ayo masuk dan makan malam bersama. Setelah itu, kalian bisa istirahat."
Nadine melangkah ke dalam rumah mewah itu. Ia tak tahu ada pria kaya raya yang memiliki hati sebaik Niko. Apakah pria itu tulus?
Nadine mengedarkan matanya dengan malas-malasan ke isi rumah sampai akhirnya ia melihat pigura foto besar di dinding ruang tamu.
"Itu kan ...." Nadine menyeletuk dengan mata melotot.
"Ada apa?" tanya Niko. Ia ikut berhenti melangkah lalu menoleh ke arah pigura.
Nadine menatap foto itu lebih jeli. Itu jelas Charlie yang berfoto bersama Niko. Mereka memang terlihat mirip. Apakah mereka keluarga? Nadine tak yakin karena Charlie tak memiliki kakak laki-laki. Charlie tak pernah bercerita bahwa ia memiliki kakak sekaya Niko.
"Apa itu bukan Charlie?" Nadine hanya membatin. Di foto itu Charlie masih remaja, mungkin 13 tahun dan jelas Niko juga terlihat jauh lebih muda dibandingkan sekarang.
"Kamu kenal sama Charlie?" tanya Niko.
Nadine seketika menoleh pada Niko. "Eh, iya. Iya, Pak."
Niko membuang napas panjang. "Gitu rupanya. Kalian mungkin sebaya."
"Ya, temen kuliah," jawab Nadine asal.
Niko mengangguk pelan. "Charlie anak saya."
"Apa?" Nadine dan kedua orang tuanya bertanya bersamaan. Orang tua Nadine sudah mengenal Charlie. Namun, mereka sama sekali tak mengira Charlie memiliki ayah seperti—semuda dan sekaya—Niko.
Niko hanya tersenyum. Ia tak ingin menceritakan silsilah keluarganya pada Jono dan yang lain. Itu terlalu memusingkan bahkan untuk dirinya sendiri.
"Sebaiknya kalian makan dulu dan bersih-bersih."
Jono dan Prapti berpandangan. Mereka memang terlihat sangat menyedihkan dengan jelaga di wajah dan pakaian mereka.
"Kalian nggak terluka, kan? Kalau ada yang sakit, saya panggilkan dokter," kata Niko.
"Nggak, Pak. Makasih," sahut Jono. Beruntung ia tidak terluka sama sekali. Tadi, ia hanya pusing karena tak menghirup asap tebal. Sekarang, ia dibuat pusing karena tahu Niko adalah ayah Charlie. Ia mengira Nadine masih pacaran dengan Charlie.
"Ya sudah, ayo makan dulu."
Niko membawa mereka bertiga ke ruang makan. Bagi Nadine, itu adalah ruang makan yang sangat mewah. Mejanya oval besar dan panjang dengan banyak sajian makanan.
"Baik banget bos Papa," batin Nadine. "Bahkan udah nyiapin banyak makanan kayak gini."
Nadine mau tak mau terus melirik Niko, pria itu tak banyak bicara lagi, terkesan dingin, tetapi juga lembut. Nadine sama sekali tak membayangkan bahwa ayah Charlie adalah sosok seperti Niko. Ia mencoba mengingat-ingat apakah selama ini Charlie pernah bercerita tentang ayahnya.
Broken home. Hanya itu yang ia ketahui tentang Charlie. Charlie tak pernah mengungkit soal ayahnya pada Nadine.
"Kenapa nggak dimakan?"
Nadine mengerjap. Ia menatap Niko karena menyadari pertanyaan itu ditujukan padanya. Ia lalu menunduk ke piring yang sejak tadi hanya ia aduk-aduk. Jujur saja, ia tak berselera makan setelah semua hal mengejutkan dalam hidupnya terjadi.
"Ah, maaf. Sepertinya putri saya masih shock setelah kebakaran itu, Pak," jawab Jono. Ia mengedikkan dagu pada Nadine sebagai kode untuk segera makan saja.
Nadine mengerti. Ia lantas menghabiskan apa yang ada di piringnya.
Usai makan, Niko mengajak mereka ke sebuah pondok kecil yang masih ada di dalam pagar rumah besarnya. Ia lalu memberikan kunci pada Jono.
"Kalian bisa tinggal di sini, tapi maaf, rumahnya kecil dan hanya ada satu kamar di sini," kata Niko menerangkan. Itu adalah pondok istirahat untuk para sekuriti dan sopir pribadinya. Ada beberapa bangunan serupa di sebelah pondok kecil itu. Setidaknya ada lima.
"Nggak masalah, Pak. Saya bisa tidur di mana aja," sahut Jono.
Nadine mengepalkan tangannya. Ia sudah tak tahan lagi. "Bapak tenang aja, saya cuma numpang sebentar. Kalau udah dapat kerjaan, nanti saya pindah ke kontrakan."
Niko hanya melirik Nadine lalu mengangguk. Sejak tadi, ia agak terusik dengan sosok cantik dan mungil itu.
Nadine dan keluarganya segera masuk ke pondok itu. Mereka membersihkan diri lalu mulai beristirahat. Kedua orang tua Nadine di ruang tamu, masih membicarakan tentang rencana mereka ke depannya usai kebakaran. Tak mungkin selamanya mereka akan tinggal di rumah Niko.
"Sial, kenapa aku nggak bisa tidur?" Malam semakin larut, tetapi Nadine hampir tak tidur. Ibunya sudah bergabung dengannya di atas ranjang sementara sang ayah terdengar mendengkur halus di ruang tamu.
Karena tak bisa tidur, Nadine memutuskan untuk keluar untuk menenangkan dirinya. Ia berkeliling di sekitar rumah yang mirip kos-kosan itu lalu memutari rumah Niko. Rumah itu sangat besar sampai-sampai ia merasa cukup lelah.
"Kamu tahu, Papa ini udah tua, Nik!"
Nadine menghentikan langkahnya ketika ia mendengar suara berat pria tua tak jauh dari tempatnya. Ia berada di sekitar teras dan ketika ia merapatkan tubuhnya di dekat dinding, ia bisa melihat sosok tua yang sedang bicara dengan Niko.
"Papa masih muda, baru 70 tahun," jawab Niko.
Pria tua bernama Morgan itu tertawa. "Jangan bodoh, Papa tahu Papa ini udah bau tanah. Dan seharusnya kamu mengerti apa yang Papa inginkan! Papa mau cucu dari kamu."
Nadine mengamati Niko dari jauh. Seperti tadi, Niko terlihat begitu tenang dan lembut.
"Papa udah punya Charlie," sahut Niko.
Dada Nadine berdebar ketika mendengar nama mantan pacarnya di sebut. Wah, ia bisa gila. Ternyata Charlie adalah anak orang super tajir.
"Charlie? Apa yang bisa diharapkan dari berandalan itu? Lagipula dia nggak pernah pulang ke sini!" gertak Morgan.
Nadine membuang napas panjang. Ia lega jika memang Charlie tak tinggal di sini. Ia tak ingin bertemu pria itu.
"Charlie masih kuliah, jadi Papa sabar aja," kata Niko lagi.
"Papa nggak mau tahu! Pokoknya kamu harus segera menikah dan kasih cucu ke Papa."
"Biar Sabrina dulu yang nikah." Niko menyebutkan nama adiknya.
"Sabrina? Ah! Papa mau cucu dari kamu! Kamu ini anak tertua Papa, Ko. Masa kamu nggak pengen nikah di saat kamu udah mau kepala empat? Ayo, dong! Kalau kamu nggak bisa cari jodoh, Papa bakal bawa wanita yang cocok untuk kamu nikahi!"
"Nggak perlu! Aku ... aku bisa cari sendiri," kata Niko.
"Papa nggak peduli, kamu harus menikah secepatnya. Besok, Papa kenalkan kamu ke Ambar, putri keluarga Santoso."
Nadine merasa ia sudah cukup mendengarkan. Itu bukan urusannya. Ia berniat membalik badan lalu kembali ke rumah. Namun, ketika ia memutar tubuh ia dikejutkan dengan anjing besar yang sedang menggeram padanya.
Nadine menjerit seketika. Ia spontan berlari ke arah teras di mana ada Niko dan Morgan.
Niko yang mendengar jeritan Nadine langsung berdiri dan keluar dari teras. Dilihatnya Nadine berlari ketakutan ke arah teras—ke arahnya. Ia mendesis pelan lalu menyambut Nadine ke pelukannya.
"Bruno, stop!" seru Niko. "Sit down!"
Anjing besar itu duduk dengan cepat atas perintah sang tuan sementara Nadine masih terengah-engah di pelukan Niko. Nadine tak bermaksud memeluk Niko tentu saja. Namun, ia terlalu takut pada anjing besar itu.
"Kamu baik-baik aja?" tanya Niko pada Nadine.
Nadine mengangguk. Ia menoleh ke arah anjing bernama Bruno itu dan baru menyadari ia tengah memeluk erat tubuh Niko. Segera, ia melepaskan pelukan itu lalu berdiri di belakang tubuh Niko untuk berjaga-jaga jika Bruno mengejar lagi.
"Kenapa ada wanita muda di sini?" tanya Morgan seraya berdiri. Ia mendekati Niko dan Nadine dengan mata awas. Gadis itu cantik sekali. "Siapa dia, Nik?"
"Ini Nadine, dia pacar aku."
Nadine melotot seketika. Ia hendak bertanya pada Niko, tetapi entah bagaimana pria itu menggenggam erat tangannya. Nadine tak habis pikir, kenapa ada banyak kejutan dalam hidupnya?