Matanya perlahan terbuka, menemukan dirinya masih meringkuk di atas sofa ruang tengah. Tarikan napasnya begitu dalam, hampa seketika menikam dirinya. Tidak ada lagi seseorang yang menempati tempat itu, selain wangi dirinya yang tertinggal seolah tertinggal hanya untuk membuat rasa bersalah bercampur rindu hadir dalam hidupnya. Menangis terus menerus hampir seharian, hingga Vanya tertidur di ruang tengah apartemennya. Memeluk diri sendiri, rasanya jauh lebih sakit meski seharusnya ia sudah terbiasa berteman dengan rasa sakit yang Aric beri. Mengingat itu membuat Vanya menahan diri untuk tidak kembali menangis. Drrtttt! Drrtttt! Ponsel yang tergeletak di atas meja bergetar, Vanya segera memperbaiki dirinya untuk duduk dan meraihnya. Di atas meja bahkan masih ada dua cangkir, yang Vany