"Kamu yakin, mau melamar Davina?" Pertanyaan itu membuatku terus-terusan menggigit bibirku. Apalagi ketika Pak Abrisam terlihat mengangguk mantap. Astaga, apa kepalanya baru saja kejedot? Kenapa coba dia mau melamarku? Aku enggak lebih spesial dari Bu Arini dan enggak lebih cantik dari perempuan yang kulihat makan bersama Pak Abrisam kala itu. Harusnya dari awal aku sudah curiga kalau dia pasti merencanakan sesuatu. Secara, seorang Pak Abrisam yang selalu sibuk di kantor dengan senang hati ikut ke kampung denganku. Padahal aku cuma sekertarisnya. Kami duduk di ruang tamu, karena Bu De Wati yang menyuruh agar obrolan bisa lebih serius. Jagung rebusnya sudah ku pindah ke piring lain, lalu kutaruh di atas meja bersamaan dengan teh hangat. "Saya sebagai Budenya ya setuju-setuju saja.