Senin (16.29), 22 Maret 2021
-----------------------
Carissa terisak seorang diri di kamarnya. Dia duduk di lantai, dengan kedua tangan bertumpu di sisi ranjang, sementara wajahnya ia benamkan di antara lengannya yang terlipat. Badannya tampak berguncang pelan, menandakan Carissa benar-benar tidak bisa menahan luapan kesedihan dalam hatinya.
Dia tidak bisa membayangkan seburuk apa kehidupannya kelak. Menikah di usia muda, dengan seorang lelaki yang suka bermain perempuan. Rasanya Carissa ingin bunuh diri saja. Tapi dia terlalu menyayangi orang tuanya untuk melakukan hal itu. Mereka sudah cukup terluka atas kematian Clara.
Sungguh, Carissa tidak pernah berniat membantah orang tuanya dan selalu membuat mereka khawatir. Dia hanya melakukan apa yang dia sukai. Namun beginilah akhirnya. Masa depan cerah yang Carissa bayangkan, harus berakhir dengan cara seperti ini.
Ting.
Suara pesan masuk terdengar dari ponsel yang tadi Carissa lempar ke tengah ranjang. Dia mengangkat kepala menatap ponselnya yang menyala, sedikit merasa lega atas interupsi itu. Sejenak Carissa menyeka air mata, lalu meraih ponsel.
Itu alamat apartemenku. Datang kapanpun kau ingin bertemu denganku.
Fachmi.
Carissa kehilangan kata-kata setelah membaca pesan itu. Sekarang dia mengerti mengapa sikap Fachmi mendadak aneh. Dia bahkan bertanya tentang hal-hal yang tidak biasa.
“Datang kapanpun kau ingin.” Carissa tersenyum miris saat dia membaca dengan suara pelan kalimat itu.
Ah, apakah si tua m***m itu sudah tahu bahwa hari ini Papanya akan menjatuhkan bom di hadapan Carissa? Pasti iya. Biar Carissa tebak, secara tidak langsung Fachmi meminta dirinya datang ke apartemen lelaki itu saat ini. Mungkin dia akan menghibur Carissa dan melontarkan janji-janji palsu, lalu mencoba mencicipi tubuhnya lebih dulu sebelum pernikahan.
Bukan mustahil hal itu terjadi jika sekarang Carissa datang ke apartemen Fachmi. Apalagi mengingat betapa buruknya reputasi Fachmi selama ini. Sungguh menjijikkan. Tapi mendadak pemikiran itu memberi sebuah ide di kepala Carissa.
Carissa berdiri seraya menyelipkan ponsel di saku celana kainnya. Kemudian dia meraih jaket lalu bergegas keluar kamar. Sama sekali tak ia pedulikan bahwa dirinya belum mandi dan ganti pakaian.
Di luar kamar, langkah Carissa berhenti mendapati sang Mama. Sepertinya sang Mama sudah cukup lama berdiri di sana, tampak ragu hendak mengetuk pintu.
“Mau ke mana?” tanya Destia, berusaha menyamarkan nada khawatir. Dia menatap lekat wajah sang putri yang sangat mirip dengannya. Bahkan Carissa mewarisi wajah kekanakan Destia, namun tidak separah Destia. Dan Destia juga bersyukur Carissa tidak mewarisi tubuh mungilnya.
“Carissa ingin ke suatu tempat,” jelas Carissa pelan.
“Boleh Mama tahu?”
“Carissa tidak berniat kabur dari rumah. Hanya ingin ke apartemen Fachmi dan meminta penjelasan darinya.”
Diam-diam Destia menghembuskan napas lega. “Mau Mama antar?”
Akhirnya kesabaran Carissa habis. “Tidak bisakah saat ini Carissa mendapat kebebasan sebelum benar-benar berada dalam penjara?”
Dada Destia sakit mendengarnya. Dia sampai berpikir apa ini hukuman karena dulu dirinya kabur dari rumah saat Papanya berusaha menjodohkannya. “Maafkan Mama. Maaf.” Destia tertunduk, berusaha menyembunyikan air mata.
Tanpa bisa dicegah, air mata Carissa juga bergulir. Dia ingin memeluk sang Mama namun tidak sanggup melakukan itu. Meski berusaha menerima pilihan orang tuanya, tapi tetap saja, ada kemarahan terpendam dalam hati Carissa.
“Tidak apa-apa. Pergilah.”
Carissa menoleh dan mendapati sang Papa yang berjalan ke arah mereka. Tidak ingin terjebak lebih lama lagi dalam situasi penuh drama ini, dia segera pergi tanpa mengatakan apapun.
Carissa meluapkan amarah dengan memacu motor dalam kecepatan tinggi. Tentu saja itu bukan motor yang Carissa gunakan untuk ke kantor tadi pagi. Motor yang itu masih berada di kantor gara-gara si tua m***m Fachmi. Di saat seperti ini, terbersit dalam benak Carissa harapan agar dirinya mengalami kecelakaan atau tertangkap polisi karena melanggar aturan lalu lintas. Namun ternyata harapannya tidak terkabul.
Hanya selang lima belas menit kemudian, Carissa sudah tiba di gedung apartemen Fachmi. Dia langsung menuju bagian penerima tamu lalu menyampaikan keinginannya untuk bertemu Fachmi Aditama Effendi.
Tak butuh waktu lama, Carissa sudah dipersilakan naik ke lantai empat tempat apartemen Fachmi berada. Gadis itu melangkah cepat, tanpa membuang waktu menikmati kemewahan interior hunian kalangan atas itu. Dia marah, sangat. Rasanya dia ingin langsung mencakar wajah Fachmi begitu berhadapan dengan lelaki itu.
Tepat di depan pintu, Carissa menekan bel beberapa kali dengan tidak sabar. Di detik dirinya memutuskan hendak menendang pintu itu hingga jebol, mendadak pintu terbuka dan menampakkan Fachmi yang hanya mengenakan celana pendek dan tubuh tampak berkeringat.
Mata Carissa melebar. Bukan karena dihadapkan pada perut six pack dan otot yang membentuk tubuh Fachmi dengan indah. Melainkan karena pikiran negatif yang langsung menyerang otaknya. Mungkinkah Carissa datang di saat yang tidak tepat? Apa Fachmi sedang ada tamu wanita dan dia baru saja—ehm, melakukan itu dengan tamunya? Tapi Fachmi dan Carissa—mereka akan menikah minggu depan, kan?
Yah, bukannya Carissa mulai mengakui Fachmi sebagai calon suami. Tapi itu artinya, Carissa tidak perlu repot-repot melakukan rencananya. Kalau orang tua Carissa memang menyayangi dirinya, pasti mereka bersedia membatalkan pernikahan ini setelah mengetahui bahwa Fachmi masih sempat b******a dengan wanita lain meski pernikahannya sudah di depan mata.
“Sungguh kunjungan yang tidak terduga. Aku tidak menyangka kau akan datang seka—”
Tanpa menunggu Fachmi menyelesaikan kalimatnya, Carissa menerobos masuk. Dengan langkah tergesa, dia menyusuri tiap ruang di apartemen asing itu tanpa memedulikan Fachmi yang membuntutinya dengan raut bingung.
“Sebenarnya apa yang kau cari?” tanya Fachmi saat Carissa sedang memeriksa kamar mandi dalam kamarnya.
Gadis itu menghembuskan napas keras lalu berbalik menghadap Fachmi. “Di mana kau sembunyikan wanita itu?”
Salah satu alis Fachmi terangkat. “Wanita apa?”
Carissa mendekat hingga jarak mereka kurang dari setengah meter. Sayangnya tinggi Carissa hanya mencapai leher Fachmi. Bukannya mengintimidasi, dia sendiri yang malah harus mendongak untuk membalas mata hitam itu.
“Tidak perlu berpura-pura. Aku tahu kau tadi pasti sedang—sedang…”
“Sedang apa?”
“Sedang bersama seorang wanita, kan?”
Mata Fachmi menyipit dan sudut bibirnya terangkat membentuk senyum geli. “Kau terdengar seperti kekasih yang cemburu.”
“Apa?!” Carissa ternganga tidak percaya akan tuduhan itu. “Aku sama sekali tidak cemburu. Aku hanya berpikir untuk melaporkan hal ini pada orang tuaku agar mereka membatalkan rencana pernikahan konyol kita.”
“Ah, jadi kau sudah tahu.”
“Iya, dasar si tua m***m. Apa kau tidak malu hendak menikahi gadis yang masih berstatus sebagai pelajar?”
“Sama sekali tidak.”
“Kau—” Carissa kehilangan kata-kata. “kau benar-benar lelaki tua m***m. Aku akan menemukan wanita itu dan membawanya ke hadapan orang tuaku.”
Carissa meninggalkan Fachmi yang masih berdiri di tempat dengan senyum geli. Dia segera keluar kamar lalu memperhatikan sekitar, menimbang-nimbang ruangan mana yang hendak diperiksanya lebih dulu.
Perhatian Carissa mengarah pada sebuah ruangan dengan pintu terbuka. Tanpa menunggu lagi dia bergegas ke sana. Namun yang Carissa temukan bukanlah seorang wanita, melainkan sebuah ruangan penuh peralatan fitnes.
“Tadi aku sedang di sini saat kau datang.” Fachmi yang ternyata masih membuntuti Carissa, berkata seraya meraih handuk yang ia sampirkan di treadmill lalu menyeka keringat di wajah dan lengannya. “Aku terbiasa olahraga dulu agar bisa tidur nyenyak.”
Carissa menggigit bibir menyadari kekeliruannya. Lalu pandangannya jatuh pada tubuh Fachmi yang sedari tadi berusaha ia abaikan. Carissa akui, Fachmi memang memiliki tubuh yang bisa membuat gadis polos berubah jadi wanita liar. Dadanya tampak lebar dan nyaman dijadikan tempat bersandar. Lengannya juga tampak kuat, seolah menjanjikan perlindungan.
Buru-buru Carissa memalingkan wajah sebelum mata dan otaknya tercemar. Dia menelan ludah sejenak seraya menguatkan diri lalu kembali menatap ke arah lelaki yang sepuluh tahun lebih tua darinya itu. Kali ini pandangannya lurus pada mata hitam Fachmi.
“Sekarang aku mengerti mengapa kau mendadak jadi baik padaku.”
Fachmi selesai mengelap tubuhnya lalu meraih kaus yang juga ia sampirkan di sebelah handuk. “Apa ini masih tentang wanita yang tadi kau maksud?” tanya lelaki itu tenang seraya mengenakan kaus.
“Tidak!” sergah Carissa dengan perasaan sedikit malu. “Ini tentang kau yang mendadak baik padaku tadi di kantor.”
“Bukankah selama ini aku memang baik? Kapan aku pernah bersikap jahat padamu?”
“Tapi biasanya kau cenderung mengabaikanku.”
Senyum Fachmi merekah. Senyum yang lagi-lagi menggetarkan perasaan Carissa. “Jadi, kau ingin kuperhatikan? Harusnya kau bilang dari dulu.”
“Bukan seperti itu!” Carissa berseru, mulai frustasi.
“Lalu apa?” Fachmi sungguh terhibur melihat raut kesal Carissa. Tapi dia menyembunyikan hal itu dan hanya menampakkan raut datar.
“Sudahlah! Intinya aku tidak mau menikah denganmu!”
Fachmi hanya mengangkat bahu lalu berjalan keluar dari ruang fitnes. Melihat itu Carissa terbelalak. Buru-buru dia membuntuti Fachmi yang ternyata berjalan menuju dapur.
“Kenapa kau diam saja?”
Fachmi membuka kulkas lalu meraih s**u segar dalam botol kaca. “Kenapa kau tidak mengatakan hal itu pada orang tuamu?” tanya Fachmi tenang seraya menuang s**u ke dalam panci lalu menyalakan kompor.
“Aku sudah melakukannya.”
“Lalu apa tanggapan mereka?”
“Mereka tetap ingin aku menikah.” Kali ini suara Carissa berubah lemah.
Fachmi berbalik menghadap Carissa dengan pinggul bersandar di sisi meja. Kedua tangannya dilipat di depan d**a. “Kalau begitu turuti saja kemauan mereka. Kau hanya perlu duduk diam di pelaminan dan semuanya selesai.”
“Aku bukan boneka yang hanya bisa digerakkan orang lain,” geram Carissa.
“Siapa yang bilang kau boneka? Aku juga tidak mau menikah denganmu jika kau hanya boneka.” Dengan sikap tak peduli, Fachmi berbalik kembali lalu mematikan kompor. Kemudian dia mengambil gelas dan menuangkan s**u hangat itu ke dalamnya. “Mau kutambah gula?”
Kemarahan Carissa kian tersulut menghadapi sikap tak acuh Fachmi. Rasanya dia ingin menuangkan s**u ke kepala lelaki b******k itu. “Aku datang ke sini bukan untuk bertamu!” seru Carissa.
Fachmi menahan senyum geli, masih tetap dalam posisi membelakangi Carissa. “Tenang saja. Aku tidak menganggapmu sebagai tamu. Toh setelah kita menikah, kau juga akan tinggal di sini,” ujarnya seraya menambahkan sedikit gula ke dalam s**u. Kemudian dia berbalik kembali, menyodorkan s**u itu ke arah Carissa. “Minum dulu. Kau pasti haus.”
Carissa menatap gelas di tangan Fachmi lalu mendongak menatap mata hitam lelaki itu dengan raut kesal. Kemudian dengan gerakan kasar, Carissa menerima gelas hingga s**u di dalamnya terciprat mengenai tangan Fachmi, lalu meminumnya cepat seperti orang kehausan.
Lagi-lagi Fachmi harus menahan senyum, mempertahankan raut datarnya seraya membersihkan cipratan s**u. Lalu dia berdiri tenang dengan kedua tangan berkacak pinggang, menunggu Carissa selesai minum.
“Kau sama sekali tidak tersedak.” Fachmi melontarkan pujian sekaligus ejekan.
Carissa hanya melirik sinis seraya meletakkan gelas kosong ke meja. “Sebenarnya aku datang ke sini ingin mengajukan penawaran padamu.”
Salah satu alis Fachmi terangkat. “Apa itu?”
Carissa berdehem sejenak. Dirinya mulai diterpa perasaan malu dan gugup. Tapi demi memperjuangkan masa depannya, tidak ada salahnya mencoba cara ini. “Aku menawarkan satu malam untukmu tapi kau harus membatalkan pernikahan kita.” Pipi Carissa terasa panas setelah mengatakan hal itu.
“Satu malam?” tanya Fachmi memastikan.
Carissa mengangguk.
“Kau menawariku satu malam padahal aku bisa menikmati tubuhmu kapanpun aku mau setelah kita menikah?”
Pipi Carissa semakin memerah mendengar kalimat Fachmi yang menurutnya v****r. “Aku tahu kau menerima pernikahan ini hanya karena ingin—ingin…” Carissa tidak sanggup melanjutkan namun dia menguatkan diri. “Kau hanya ingin tubuhku, kan?”
“Benar sekali.” Fachmi sama sekali tidak menyangkal.
“Karena itu, untuk apa merepotkan diri dengan tinggal bersamaku jika kau bisa mendapatkan apa yang kau mau secara cuma-cuma? Kau pasti sudah dengar dari orang tuaku bahwa aku adalah gadis pembuat masalah. Aku pasti akan membuat kau kesulitan kelak. Jadi—” Carissa kehilangan kata-kata karena Fachmi hanya menatapnya tajam. Mendadak nyalinya ciut. Dan untuk pertama kalinya, Carissa menyadari bahwa apa yang dia lakukan saat ini merupakan tindakan konyol sekaligus menjatuhkan harga dirinya.
“Hmm, sepertinya cukup menarik.”
“Kau setuju?” Carissa bertanya dengan nada tidak percaya.
Masih dengan kedua tangan di pinggang, Fachmi bergerak mendekati Carissa. Terang-terangan ia memperhatikan gadis itu dari kepala hingga kaki. “Kalau kau hanya memberiku satu malam, aku ingin kau benar-benar memuaskanku. Jangan bersikap layaknya gadis kikuk yang tidak berpengalaman.”
“Maksudmu?”
Fachmi tersenyum. Bukan senyum manis. Itu adalah senyum yang terkesan jahat dan merendahkan. “Bersikap liarlah. Buka pakaianmu di depanku!”
DEG.
Carissa menelan ludah. Sekarang dia benar-benar takut. Tapi karena sudah terlanjur dan Fachmi juga menyambut baik tawarannya, maka Carissa memilih tetap pada tujuan.
“Kenapa diam?” tuntut Fachmi yang kini berdiri sangat dekat di depan Carissa.
“Di sini? Sekarang?” nada suaranya bergetar.
“Tentu saja.”
Lagi-lagi Carissa menelan ludah seraya menunduk. Tangannya bergetar saat ia mulai menurunkan ritsleting jaket.
Melihat itu, Fachmi memilih mundur lalu kembali menyandarkan pinggul di sisi meja. Kini kedua tangannya terlipat di depan d**a. Raut wajahnya tetap datar namun senyum kecil merendahkan itu masih bertahan di bibirnya.
Begitu jaket sudah lepas dari tubuh Carissa, jemari gadis itu beralih pada kancing kemeja putihnya, kemeja yang sama yang ia gunakan ke kantor sejak pagi tadi. Perlahan tapi pasti, satu per satu kancing mulai terbuka, menampakkan tanktop putih yang ia kenakan di balik kemeja. Lalu gerakan Carissa berhenti begitu kancing paling bawah sudah terbuka.
“Kenapa berhenti? Cepat lepaskan!” Fachmi makin mendesak.
Bersamaan dengan desakan itu, kemeja Carissa meluncur ke lantai, jatuh di atas jaketnya. Wajah gadis itu semakin menunduk. Matanya mulai berkaca-kaca dan kedua tangannya saling meremas.
“Sudah selesai?”
Carissa tidak menjawab.
Mendadak Fachmi kembali mendekatinya lalu dengan gerakan tiba-tiba menarik tangan Carissa menuju kamarnya.
Ketakutan Carissa sudah mencapai puncak. Namun dia tidak mengatakan apapun atau mencoba melepaskan diri dari Fachmi. Dia sudah pasrah dan hanya meyakinkan diri bahwa masa depannya akan kembali cerah begitu malam ini berakhir.
Tiba di kamar utama, Fachmi masih terus menarik Carissa menuju kamar mandi. Di sana, barulah Fachmi berhenti lalu berdiri tenang di depan Carissa yang masih tertunduk. Kali ini senyum gelinya tersungging, menyadari gadis itu sudah nyaris menangis.
“Mandilah! Kau bau sekali.”
Mendengar kata-kata Fachmi, Carissa mendongak tiba-tiba. “Apa?”
“Kau bau. Sangat. Untung aku bisa menahan napas dalam waktu lama.” Tanpa menunggu tanggapan lagi, Fachmi langsung berbalik meninggalkan Carissa yang ternganga. Tak lupa ia menutup pintu kamar mandi setelah keluar.
“Bau?” Carissa mengangkat salah satu tangan lalu mengendus ketiaknya. Masih ada sedikit aroma deodoran. “Dasar si tua m***m! Aku tidak sebau itu!”
Tapi kemudian, senyum Carissa merekah. Senyum lega bahwa malam ini dia tidak harus menjadi jalang.
----------------------
♥ Aya Emily ♥