Tiga

2146 Kata
Sabtu (20.09), 26 Maret 2021 --------------------- Selesai mandi, dengan handuk melilit tubuh Carissa membuka lemari Fachmi untuk mencari-cari pakaian yang bisa ia gunakan. Komentar Fachmi tentang dirinya yang bau membuat Carissa kesal lalu tanpa pikir panjang membasahi pakaiannya. Begitu keluar dari kamar mandi, barulah Carissa teringat bahwa dirinya tidak memiliki pakaian ganti. Dan yang lebih buruk, Fachmi tidak memiliki satupun jubah mandi yang bisa Carissa gunakan. Kemeja besar hingga mencapai tengah paha menjadi pilihan Carissa. Lalu dengan wajah memerah, dia juga mengambil celana boxer Fachmi, mencari yang paling kecil. Setelah boxer dan kemeja ia kenakan, Carissa berdiri di depan cermin untuk menilai penampilannya. Tidak terlalu buruk. Hanya saja, dia merasa tidak nyaman saat bergerak karena tidak mengenakan pakaian dalam. Di luar kamar, Carissa celingak-celinguk mencari keberadaan Fachmi. Samar-samar ia mendengar suara dari ruang tengah lalu memilih mencari sumber suara. Rupanya suara itu berasal dari TV yang sedang menayangkan siaran ulang pertandingan sepak bola. Sementara itu Fachmi tampak berbaring di sofa panjang yang menghadap TV. Hampir lima menit berdiri di dekat sofa tempat Fachmi berbaring, Carissa mulai bergerak-gerak gelisah. Entah apakah Fachmi memang tidak menyadari kehadirannya ataukah sengaja mengabaikan dirinya. “Hmm, Pak. Sebaiknya saya pamit pulang.” Mendengar suara Carissa, Fachmi menoleh, membuat tatapan mereka beradu. “Pak?” tanya Fachmi dengan salah satu alis terangkat. “Yah, mau bagaimana lagi? Anda memang atasan saya.” Bukannya tanpa alasan Carissa kembali menggunakan panggilan formal. Dia berharap hal itu bisa mengurangi perasaan canggungnya setelah Fachmi menyuruhnya melepas pakaian. Carissa tentu belum bisa melupakan kejadian itu. Dia benar-benar sudah berhasil mempermalukan diri sendiri di depan Fachmi. “Di kantor, ya. Tapi di rumah, kau adalah calon istriku.” Di rumah? Carissa menggigit bibir. Kenapa kedengarannya begitu intim padahal itu hanya kata-kata sederhana yang biasa diucapkan dalam percakapan. “Kau—benar-benar serius ingin menikahiku? Atau apakah Papa dan Om Rafka mengancammu?” “Tidak ada yang bisa memaksaku melakukan apa yang tidak kuinginkan. Jika aku bersedia menikahimu, berarti itu memang keinginanku.” Dasar tua m***m! “Baiklah, kurasa—” “Duduk di sini.” Fachmi menepuk sofa di dekat pahanya berada. Carissa menatap tempat yang Fachmi tunjuk lalu paha lelaki itu. Kegelisahan semakin meliputi hati Carissa saat ia membayangkan dirinya duduk di sana, yang otomatis pasti bersandar di paha lelaki itu. “Tidak.”  Carissa menggeleng. “Ini sudah larut malam. Aku harus segera pulang.” “Aku sudah menelepon Om Alan dan meminta izin agar kau bisa menginap di sini.” “Apa?!” Nyaris saja Carissa menjerit. “Kenapa repot-repot melakukannya? Aku tidak akan menginap. Aku akan pulang sekarang juga.” Carissa hendak berbalik namun ia membeku mendengar ucapan Fachmi. “Silakan pulang tapi jangan bawa pakaianku. Aku sedikit pelit untuk urusan barang-barang pribadi dan lagi, kau mengambil kemeja kesukaanku.” Carissa ternganga, lalu perlahan ia menoleh kembali ke arah Fachmi. “Jadi, kau menyuruhku pulang telanjang?” Dengan santai Fachmi kembali mengalihkan perhatian ke arah TV. “Kau boleh tetap memakainya di sini. Aku tidak akan khawatir pakaianku hilang atau rusak karena bisa mengawasimu.” Rasanya Carissa ingin mencakar wajah Fachmi yang masih menampakkan raut datar. “Kalau seperti itu sikapmu pada calon tunanganmu, pantas saja kau selalu batal bertunangan.” Tidak ada tanggapan dari Fachmi. Dia masih fokus menonton TV dan sukses mengabaikan Carissa. Krrriiiuukkk. Suara itu terdengar jelas hingga berhasil menarik perhatian Fachmi kembali. Sementara itu Carissa memerah malu karena bunyi perutnya yang tidak tahu tempat. “Aku tidak punya makanan.” Fachmi menggeliat seraya berganti posisi menjadi duduk. “Seharusnya kau tidak menolak ajakanku untuk makan malam.” “Aku tidak lapar.” Carissa mengangkat dagu untuk menunjukkan sikap keras kepala. “Tadi perutku salah mengeluarkan bunyi.” Lagi-lagi Fachmi mengabaikan ucapan Carissa lalu pergi menuju kamarnya. Beberapa saat kemudian dia kembali sambil membawa dua jaket. “Dua ratus meter dari sini ada taman. Biasanya menjelang malam ada beberapa pedagang makanan yang  berjualan hingga larut malam.” Fachmi menjelaskan seraya mengenakan salah satu jaket. “Ulurkan tanganmu.” Carissa meringis menyadari Fachmi hendak membantunya mengenakan jaket. Memangnya dia anak kecil yang tidak bisa melakukan hal sepele macam itu seorang diri? “Aku bisa melakukannya sendiri.” “Ulurkan tanganmu!” kali ini nada suara Fachmi terdengar lebih tegas. Melihat tatapan tajam Fachmi, akhirnya Carissa mengalah lalu mengulurkan salah satu tangan. Dia semakin kesal pada diri sendiri karena sadar dirinya selalu kalah jika berhadapan dengan Fachmi. Entah sudah berapa kali Carissa hanya menurut saja saat Fachmi memaksanya untuk melakukan ini dan itu. Sama seperti kemeja tadi, jaket yang Carissa kenakan jauh lebih besar dari ukuran tubuhnya sendiri hingga bagian bawahnya hampir mencapai lutut. “Mau kuambilkan celana panjang? Udara di luar lumayan dingin.” Carissa menggeleng. “Seperti ini saja aku sudah tampak mengerikan.” “Ya, memang.” Carissa melayangkan tatapan kesal ke arah Fachmi. “Harusnya kau berkata, ‘Tidak, Carissa. Kau tampak cantik mengenakan apapun.’ Bukannya berkata, ‘Ya, memang,’ dengan raut datar seperti itu.” “Tidak, Carissa. Kau tampak cantik mengenakan apapun jika aku melihatmu dengan kacamata gelap.” Carissa tertawa lalu refleks memukul lengan Fachmi yang masih berdiri tenang di hadapannya. “Ternyata kau bisa melucu juga.” “Menurutmu itu lucu? Padahal aku serius.” Perlahan tawa Carissa memudar melihat raut wajah Fachmi yang tidak berubah. Sama datar dan sama tenangnya seperti patung. Carissa menghentakkan kaki lalu berbalik, berjalan lebih dulu menuju pintu dan meninggalkan Fachmi. Lelaki itu benar-benar tidak memiliki selera humor. Ah, bukan hanya selera humor. Dia juga minim ekspresi. *** Carissa tidak menyangka Fachmi akan memilih jalan kaki menuju taman. Dia tidak seperti pria yang suka berjalan santai di antara gelapnya malam bersama seorang gadis. Perbuatan seperti ini biasanya hanya dilakukan para lelaki seperti Farrel yang energik dan penuh cinta. Bukannya lelaki macam Fachmi yang dingin dan kaku. “Hmm, apa kau sering melakukan kegiatan seperti ini bersama mantan kekasihmu?” tanya Carissa penasaran. “Tidak. Mantan kekasihku tidak ada yang pernah datang malam hari hanya untuk minta makan,” jelas Fachmi datar. Perasaan kagum Carissa berubah seketika. Lelaki satu ini benar-benar menyebalkan. Jadi dia menganggap Carissa datang ke apartemennya hanya untuk minta makan? Carissa menghentakkan kaki dengan kesal lalu berjalan mendahului Fachmi. Lama-lama berada di dekat lelaki itu bisa membuat kepala Carissa berasap. Fachmi menahan senyum geli melihat tingkah calon istrinya itu. Carissa benar-benar menggemaskan. Saat Fachmi bersikap perhatian dan akrab, Carissa pasti jadi salah tingkah dan kikuk. Tapi saat Fachmi bersikap datar dan acuh, gadis itu terus menerus merasa kesal. Sungguh, dia jadi semakin tidak sabar menunggu hari di mana gadis itu resmi menjadi miliknya. Fachmi yakin dirinya sama sekali tidak merasakan ‘cinta’ terhadap Carissa. Namun ia akui, gadis itu selalu menarik perhatiannya. Terutama saat dengan terang-terangan Carissa memilih selalu menghindari Fachmi. Seolah dia membenci Fachmi—yang mungkin—akibat reputasi buruk Fachmi sebagai pemain perempuan. Yah, sebenarnya ketertarikan Fachmi terhadap Carissa hanya sebatas itu. Dia juga tidak mengerti mengapa dirinya bisa menawarkan sebuah pernikahan. Tapi dia sama sekali tidak menyesal. Tingkah Carissa pasti bisa menghibur hari-hari Fachmi yang biasanya sepi. Tak lama kemudian, mereka telah tiba di taman yang Fachmi maksud. Tempat itu lumayan ramai padahal ini sudah larut dan bukan hari libur. “Jadi, mau makan apa?” tanya Fachmi begitu berdiri di samping Carissa yang tengah memperhatikan pedagang makanan di sekelilingnya. “Entahlah. Ada saran?” “Mau coba lalapan?” Carissa mengangguk antusias. “Di sebelah sana ada yang enak dan murah.” Fachmi menunjuk salah satu pedagang. “Murah? Aku baru tahu bahwa seorang Fachmi masih harus mempertimbangkan makanan dari segi harga.” Carissa terkekeh geli seraya mensejajarkan langkah dengan Fachmi. “Ya. Murah itu perlu untuk sesuatu yang tidak penting.” “Tidak penting?” langkah Carissa terhenti. Sudah dua kali dalam waktu kurang dari satu jam Fachmi menghinanya seperti ini. Padahal Carissa sudah menerima kenyataan bahwa dia harus menikah dengan lelaki itu. Fachmi juga berhenti lalu menoleh ke arah Carissa. Salah satu alisnya terangkat dengan ekspresi bertanya. “Kalau kau tidak ikhlas memberiku makan, katakan saja. Tidak perlu terus menerus menyindir seperti itu.” Tiba-tiba Fachmi terkekeh lalu merangkul pundak Carissa. “Ekspresi wajahmu sangat menggemaskan saat sedang kesal.” Carissa terbelalak meihat sikap Fachmi mendadak berubah. Perasaan canggung mulai merambati hatinya. “Jadi—kau sengaja bersikap menyebalkan?” tanya Carissa seraya berusaha melepaskan diri dari Fachmi. Fachmi mempererat rangkulannya lalu perlahan mulai melangkah. Kini mereka tampak benar-benar seperti sepasang kekasih. “Ya, hanya untuk mengganggumu.” Fachmi sama sekali tidak mengelak. Tiba di tempat pedagang yang tadi Fachmi tunjuk, keduanya langsung duduk lesehan di depan meja rendah. Tadinya Carissa berniat duduk berhadapan dengan lelaki itu, menjadikan meja sebagai penghalang di antara mereka. Namun dirinya tidak bisa menolak saat Fachmi dengan tegas menariknya agar duduk berdampingan. Mendadak Carissa menyesal. Seharusnya dia bersyukur karena tadi Fachmi bersikap kaku dan dingin padanya. Ternyata Fachmi yang seperti ini jauh lebih berbahaya untuk perasaan Carissa. Dia jadi terus menerus salah tingkah dan merasa canggung. Belum lagi debar jantungnya berubah aneh tiap kali Fachmi menyentuhnya atau tersenyum manis seperti sekarang. “Nak Farrel.” Fachmi menoleh menatap si pedagang yang tadi memanggilnya dengan nama Farrel. “Sudah lama tidak ke sini.” Bapak lima puluh tahunan itu menyapa ramah. “Pacar baru, ya?” kali ini dia bertanya dengan lebih pelan. “Sebenarnya calon istri.” Fachmi menjelaskan seraya menggenggam jemari Carissa yang berada di atas meja. DEG. Jantung Carissa kembali bergemuruh. Dia menelan ludah seraya membasahi bibirnya. “Wah,” Si Bapak tampak kagum seraya menata pesanan Fachmi dan Carissa di meja. “Bapak tidak menyangka Nak Farrel yang akan menikah duluan. Lalu bagaimana dengan Kakakmu?” Ucapan Bapak itu membuat perhatian Carissa teralihkan dari perasaan canggungnya. Dia menahan senyum karena si Bapak salah mengenali orang. “Sepertinya dia masih betah melajang.” Fachmi menjawab seraya mengedipkan sebelah mata pada Carissa yang semakin tak kuasa menahan senyum geli. “Mungkin karena raut wajahnya kelihatan menyeramkan. Jadi dia susah mendapat kekasih.” Rasanya Carissa ingin terbahak. Terutama saat melihat Fachmi yang mendadak mengerutkan kening setelah mendengar penjelasan si Bapak yang entah siapa namanya. “Ehm, dari mana Bapak tahu bahwa Kakak Farrel kelihatan menyeramkan?” tanya Carissa. “Mereka pernah makan berdua ke sini. Meskipun wajah mereka sangat mirip, tapi Kakak Nak Farrel sangat sulit tersenyum dan suka menatap orang lain dengan tajam. Bapak saja sampai ngeri melihatnya.” Si Bapak sampai bergidik saat bercerita. Akhirnya tawa Carissa lepas juga. Melihat itu, si Bapak meringis antara malu dan khawatir. “Duh, Nak. Maaf Bapak keceplosan. Tolong jangan katakan ucapan Bapak tadi pada Kakak Nak Farrel.” Dia tahu betul bahwa sepasang kakak beradik kembar itu adalah orang kaya. Kalau ucapannya tadi sampai ke telinga Kakak Farrel dan membuatnya tersinggung, tamatlah riwayatnya. “Tenang saja, Pak. Kami bisa menjaga rahasia.” Carissa menenangkan si Bapak. “Terima kasih, Nak. Bapak harus melayani pembeli yang lain.” “Iya, Pak. Terima kasih juga.” Sepeninggal Bapak itu, tawa Carissa kembali pecah melihat Fachmi merengut. Wajahnya jadi sangat menggemaskan seperti anak kecil yang merajuk. “Nak Farrel, nikmati saja makanannya. Jangan merengut. Wajahmu jadi mirip Kakak Nak Farrel yang menyeramkan.” Goda Carissa sambil terkikik geli. “Memangnya aku terlihat sangat menyeramkan, ya?” “Ya. Coba saja bercermin.” Carissa masih tertawa. Tapi mendadak tawa Carissa memudar saat wajah Fachmi tiba-tiba mendekat. Mereka saling pandang dengan jarak sekitar dua inchi. Carissa menahan napas dengan mata melebar. Jantungnya bergemuruh hingga terasa menyakitkan. Rasanya dia ingin memejamkan mata dan menunggu apa yang akan dilakukan Fachmi selanjutnya. Tapi mata tajam Fachmi seolah memakunya dan membuat Carissa lebih memilih membalas tatapan lelaki itu. Selang tiga menit yang terasa berjam-jam, mendadak Fachmi kembali menarik diri. Lalu sudut bibirnya terangkat membentuk senyum kecil. “Ya, aku memang tidak seperti Farrel. Farrel mudah akrab dengan orang lain sementara aku sangat kaku. Farrel sering membuat orang lain tersenyum namun aku hanya sanggup menatap orang lain dengan tajam dan dingin. Jadi kuharap kau mulai terbiasa dan tidak pernah menyesal bahwa lelaki ini yang akan menikahimu dan bukannya lelaki menyenangkan seperti Farrel.” Selesai berkata demikian tiba-tiba Fachmi mengangkat tangan Carissa yang masih ada dalam genggamannya lalu ia kecup lembut punggung tangan gadis itu. Sama tiba-tiba seperti kecupan itu, Fachmi melepas tautan jemari mereka lalu mengalihkan perhatian pada hidangan di hadapannya. “Ayo makan.” Carissa mengangguk. Dia pun mengalihkan perhatian pada sajian di hadapannya sementara jemarinya yang semula digenggam Fachmi perlahan mengepal. Ada rasa kehilangan yang tidak Carissa mengerti dan berusaha ia abaikan. Dan entah mengapa, ucapan Fachmi tadi seolah menyentuh relung hati Carissa. Seolah dia ingin menjadi orang yang memeluk Fachmi lalu berkata, ‘Tidak perlu bandingkan dirimu dengan orang lain. Aku di sampingmu dan aku menyukaimu apa adanya.’ Sadar otaknya mulai melantur, Carissa menggeleng pelan lalu segera menikmati makan malam mereka yang terlambat. Sungguh dirinya jadi penasaran, akan seperti apa rumah  tangga mereka kelak. --------------------- ♥ Aya Emily ♥
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN