Jumat (20.19), 26 Maret 2021
-----------------------
“Kini kalian sudah sah menjadi suami istri.”
Seruan bahagia terdengar dari semua yang hadir. Ucapan selamat silih berganti dilontarkan kepada sepasang pengantin baru itu.
“Kau pasti bahagia, Nak. Mama yakin,” gumam Destia seraya memeluk putri semata wayangnya itu.
Tidak ada yang bisa diucapkan Carissa sebagai tanggapan selain mengangguk dan balas memeluk Mamanya.
“Fachmi, tolong jaga putri Om.” Alan berkata seraya menepuk bahu Fachmi lembut.
“Tentu saja, Om,” sahut Fachmi mantap.
“Alan, jangan khawatir. Fachmi akan menjaga Carissa sepenuh hati.” Rafka menenangkan Alan seraya tersenyum bangga pada putranya. Fachmi memang seperti itu. Selalu bisa diandalkan. Kebalikan dari Farrel yang senang membuat ulah.
Alan hanya mengangguk setuju. Dia tidak sanggup bersuara karena gumpalan emosi yang membuat tenggorokannya tercekat. Rasanya baru kemarin dia menimang putrinya yang baru lahir. Tapi kini dia sudah harus melepas Carissa untuk hidup berumah tangga.
“Sayang,” Rena langsung memeluk Carissa. “Jangan sungkan untuk sering-sering mengunjungi Tante—ah tidak, Mama. Mulai sekarang kamu harus panggil Om dan Tante, Papa dan Mama.” Rena menoleh ke arah Fachmi. “Fachmi, kamu juga.”
“Iya, Ma,” sahut Fachmi singkat.
Kemudian Rena mencium kedua mempelai itu bergantian. “Semoga kalian bahagia.”
“Hei, Bro! Selamat!” Seperti biasa, Farrel langsung memeluk Fachmi, membuat Fachmi meringis malu.
Kali ini giliran Farrel dan Juan yang berdiri di hadapan sepasang pengantin baru itu.
“Carissa, adikku yang cantik! Selamat!” Farrel merentangkan tangan siap memeluk Carissa, tapi Fachmi buru-buru menahan kerah tuxedo adik kembarnya itu.
“Awas kalau kau macam-macam!” Ancam Fachmi sengit.
“Whoaa, Bro. Kau langsung bersikap posesif padahal belum satu jam kalian menikah. Dulu-dulunya kau tidak peduli aku memeluk Carissa atau berboncengan dengannya ke mana-mana,” ejek Farrel.
“Oh, aku lupa belum memberikan ucapan selamat pada Kanza.” Mendadak Juan yang berada di samping Farrel berbalik menghadap Kanza yang berdiri bersama Jessie. “Kanza sayang, selamat atas kehamilanmu.”
Seperti yang dilakukan Farrel tadi, Juan juga merentangkan tangan siap memeluk Kanza yang kini sedang hamil memasuki bulan keenam. Melihat itu, Farrel bergegas menarik tuxedo Juan lalu melayangkan tatapan tajam.
“Kau mau kubunuh?!”
“Biar adil. Kau goda Carissa, aku menggoda Kanza.” Lalu Juan menoleh kembali pada Kanza yang sedang menahan senyum geli. “Iya kan, Sayang?”
Dengan kasar Farrel memalingkan wajah sepupunya dari sang istri. “Siapa yang kau panggil sayang? Sana cepat cari istri agar kau tidak perlu mengganggu istri orang.”
Mendadak Jessie berdiri di antara Juan dan Farrel, seolah hendak melerai perkelahian. “Sudah, sudah! Tidak perlu berebut aku seperti itu.” Lalu dia merangkul lengan Farrel dan Juan di kiri dan kanannya. “Aku tidak masalah dibagi di antara kalian bertiga. Asalkan pengaturan waktunya adil…hihihi.”
“Astaga! Anak itu!” seru Freddy geleng kepala sementara yang lain langsung terbahak.
“Jessie tidak salah, kan? Di sini memang Jessie yang paling beruntung. Jessie bisa bebas memeluk Kak Juan, Kak Fachmi, dan Kak Farrel. Sementara Kanza hanya bisa memeluk Kak Farrel saja. Carissa juga begitu, hanya bisa memeluk Kak Fachmi saja.” Dengan sengaja Jessie menjulurkan lidah ke arah Carissa yang memang merupakan teman bermainnya.
Melihat itu Carissa tidak mau kalah. Tiba-tiba dia turun dari pelaminan, membuat semua orang terkesiap.
“Siapa bilang? Aku juga bisa memeluk mereka!” Carissa turut menggamit lengan Farrel dan Juan yang bebas. Kedua lelaki itu memang sudah seperti Kakak bagi Carissa. Hanya saja dia sedikit menjaga jarak dari Fachmi.
Juan dan Farrel saling pandang dengan mata berkilat geli. Lalu keduanya kompak menjulurkan lidah ke arah Fachmi yang masih ternganga di pelaminan.
Plak.
Rafka menepuk keningnya sendiri. “Sepertinya akan ada perang saudara.”
“Fachmi terlihat sudah siap membunuh Juan dan Farrel.” Alan geleng-geleng kepala.
“Padahal anakmu yang salah. Penyebab peperangan,” celetuk Freddy.
Alan menoleh lalu melotot pada Freddy. “Kenapa kau menyalahkan putriku? Putrimu dulu yang memancing keributan. Seperti kau!”
“Whoaa! Kenapa sepertinya kau mengungkit masa lalu?”
“Memang dari dulu kau seperti itu, kan?”
“Baiklah, guys! Aku hanya akan menonton kalian bertengkar seperti anak kecil.” Rafka angkat tangan.
Yang tidak Rafka sadari, Freddy dan Alan meraih kue pernikahan dekat mereka dalam genggaman, lalu menghantamkan bersamaan ke wajah Rafka.
“s**t!” umpat Rafka seraya membersihkan wajahnya.
Destia, Rena, dan Ratna saling pandang lalu geleng-geleng kepala.
“Kapan mereka akan dewasa?” gumam Rena sambil memijat keningnya.
“Sepertinya tidak akan pernah bisa,” desah Ratna.
“Pernikahan ini mulai kacau,” Destia berkata. Tapi kemudian dia menahan senyum seraya meraih kue berlumur cokelat di dekatnya. “Jadi kenapa tidak nikmati saja sekalian?” seketika Destia membuat cap kue di wajah Ratna dan Rena bersamaan.
Sementara itu Rafka tidak tinggal diam. Dia juga mengambil kue pernikahan dengan tangannya lalu ia lempar ke arah Freddy yang tertawa sambil berusaha menjauh. Namun—
“Ups!” Rafka nyengir ke arah Papa mertuanya yang terkena lemparannya.
“Dasar menantu kurang ajar! Kau mau kupecat jadi menantu?!”
Pak Gun buru-buru menuju kue pernikahan yang sudah tidak berbentuk lagi. Namun tanpa sengaja dia mendorong orang di dekatnya hingga orang itu yang jatuh dengan wajah tepat mengenai meja hidangan penuh kue.
“Pak Jeremy, maaf!” buru-buru Pak Gun membantu Jeremy menegakkan tubuh kembali.
Dengan wajah belepotan cokelat dan kacang iris, Jeremy menegakkan tubuh, masih dengan sikap wibawanya.
“Tidak apa-apa, Pak Gun. Kenapa tidak kita nikmati saja?” Jeremy menyeringai yang juga dibalas seringai Pak Gun.
Dan akhirnya, perang kue pun terjadi. Semua orang saling berebut kue bukan untuk dimakan, melainkan untuk dilempar pada satu sama lain. Tawa bahagia terdengar jelas, menjadikan pernikahan itu terasa hidup dan ceria. Sebuah pernikahan yang penuh keakraban.
***
“Ugh, lengket.” Carissa menggerutu seraya melepas jepit-jepit dari rambutnya. Saat ini dia sedang duduk di depan meja rias dalam kamar hotel, memandang dirinya sediri dalam cermin. “Carissa, kau pemecah rekor sebagai pengantin paling berantakan sedunia.”
Dia meringis melihat rambut dan wajahnya penuh krim kue. Sama sekali tidak mewujudkan sosok pengantin.
Klek.
Carissa menegang mendengar pintu kamar dibuka. Degup jantungnya mulai berpacu cepat tapi dia tetap berusaha menampilkan sikap tenang. Astaga, ini malam pertamanya!
“Perlu bantuan?”
Carissa tersentak kaget mendengar suara yang tiba-tiba muncul itu. Tak lama kemudian, Fachmi terlihat dalam cermin sedang berjalan ke arahnya, lalu berdiri di belakang Carissa.
“Eh, hmm—tidak! Tidak perlu!” Carissa menggigit bibirnya untuk menahan perasaan gugup. Rasanya dia ingin berlari lalu sembunyi di kamar orang tuanya.
Salah satu sudut bibir Fachmi terangkat namun ekspresi wajahnya tetap datar. Hal itu mengingatkan Carissa bahwa lelaki yang telah resmi menjadi suaminya ini adalah satu-satunya orang yang tidak terlibat perang kue. Dia hanya duduk sambil menatap malas sekelilingnya, meski beberapa kali Farrel dan Juan sengaja melemparinya dengan kue.
Lama-lama Carissa merasa bahwa bayi Juan dan Fachmi tertukar. Mungkin sebenarnya saudara kembar Farrel adalah Juan namun mereka tertukar. Meski Juan kadang juga bersikap datar, tapi itu hanya di luar keluarganya.
Mengabaikan larangan Carissa, Fachmi meraih salah satu jepit di puncak kepala Carissa. Seketika tubuh Carissa menegang dan tak sadar dia menahan napas.
Deg deg deg.
Degup jantung Carissa terdengar bertalu-talu hingga menyesakkan d**a. Dia sungguh berharap Fachmi segera menjauhkan diri sebelum dia terkena serangan jantung lalu mati muda.
“Kau tampak seperti kelinci yang ketakutan,” gumam Fachmi dengan ekspresi yang masih sama datarnya seperti tembok. “Aku tidak akan memakanmu. Kecuali,” Fachmi sengaja menggantung kalimatnya. “kau mengizinkanku melakukannya.”
“Tidak!” Mendadak Carissa berseru tapi kemudian segera membekap mulut karena Fachmi menatapnya tajam di dalam cermin.
Ya, saat ini Carissa masih dalam posisi duduk sementara Fachmi berdiri di belakangnya. Jadi satu-satunya cara mereka saling berpandangan adalah melalui cermin besar di hadapan mereka.
“Ma—maksudku, tidak sekarang.” Carissa sadar dirinya sudah bersikap kurang ajar tadi. Bagaimanapun status Fachmi saat ini adalah suaminya. Fachmi berhak mendapatkan—yah, mendapatkan itu. “Kau, ehm—mengerti maksudku, kan? Aku masih sekolah.”
“Aku tidak keberatan menggunakan pengaman.”
Carissa melongo dan telinganya terasa panas mendengar kata-kata Fachmi yang menurutnya v****r itu. Yah, bukan berarti Carissa tidak mengerti. Tapi biasanya hal semacam itu hanya dibicarakan dengan teman sesama wanita. Bukannya dengan lelaki yang jauh lebih tua darinya dan masih terasa asing.
“Memangnya harus sekarang, ya? Tidak bisakah kita melewatkan hal itu dulu?”
“Kau sedang berjualan? Kenapa tawar menawar denganku?”
Dasar tua m***m!
Rasanya Carissa ingin meneriakkan kata-kata itu. Enak saja dia bilang Carissa sedang berjualan. Memangnya dia pikir kesuciannya adalah ikan yang sedang diperjual-belikan?
“Bantu aku cuci rambut.”
Ucapan Fachmi yang tiba-tiba membuat Carissa melotot. “Ap—apa?! Kau memintaku mandi bersama?”
“Ide bagus.”
“Apanya yang ide bagus?!”
“Apa tenggorokanmu tidak sakit berbicara dengan nada tinggi seperti itu terus?” Tiba-tiba Fachmi menarik tangan Carissa agar berdiri. “Ayo, cepat!”
“Papa!” Refleks Carissa berseru dengan ekspresi wajah nyaris menangis. Dia benar-benar ingin sembunyi di belakang punggung Papanya sekarang.
Fachmi berdecak melihat wanita yang telah dinikahinya beberapa jam lalu itu. Carissa sama sekali tidak tampak seperti seorang istri. Dia lebih terlihat seperti anak kecil yang ketakutan di hadapan orang asing.
“Kalau kau tidak mau berdiri, aku yang akan menggendongmu ke kamar mandi.”
“Kak, aku janji akan menurut padamu, sungguh!” Carissa memelas. “Tapi tolong jangan apa-apakan aku.”
“Aku kan hanya menyuruhmu membantuku cuci rambut.” Kali ini nada suara Fachmi terdengar kesal.
“Sungguh?”
“Yah, mungkin sedikit membantu yang lainnya juga.”
Lainnya?
Apa itu?
Otak Carissa berputar dan kengerian kembali menghiasi matanya.
“Akh!”
Carissa memekik kaget ketika Fachmi mendadak menariknya ke kamar mandi. Dia hanya bisa tertunduk sambil menahan air mata saat pintu kamar mandi sudah tertutup di belakangnya dan Fachmi mulai melepas pakaian.
Carissa masih terus diam tertunduk dan sama sekali tidak berani melirik apa yang kini tengah dilakukan Fachmi. Dari suara-suara di sekitarnya, Carissa menebak bahwa Fachmi sedang mengisi bathtub dengan air lalu menuangkan sabun beraroma bunga ke dalamnya.
“Mandilah. Aku akan mandi di bilik shower.”
Carissa mendongak tiba-tiba namun Fachmi sudah berbalik menuju bilik shower dengan bertelanjang d**a dan hanya mengenakan celana kain yang sama seperti di pernikahan tadi.
Jemari Carissa saling meremas. Keraguan menggerogoti hatinya. Bagaimana kalau tiba-tiba Fachmi keluar dari bilik itu lalu menerjangnya yang sedang berendam dengan tubuh telanjang?
Buru-buru Carissa berbalik hendak melangkah keluar dari kamar mandi. Tapi baru selangkah dia berhenti. Sepertinya lari bukanlah pilihan bijak. Dirinya dan Fachmi tidak akan tinggal berdua hanya hari ini saja. Entah untuk berapa lama, mereka akan bersama. Kalaupun hari ini Carissa bisa melarikan diri, lalu bagaimana besok?
Aku tidak akan memakanmu. Kecuali, kau mengizinkanku melakukannya.
Sejenak Carissa memejamkan mata.
Percaya.
Ya, itu yang harus Carissa lakukan saat ini. Papanya menikahkannya bukan untuk membuat dirinya sengsara. Sang Papa melakukan ini karena percaya bahwa Fachmi akan menjaganya. Karena itu harusnya Carissa juga percaya. Fachmi tidak mungkin menyakitinya. Fachmi akan menjaganya.
Kelopak mata Carissa kembali terbuka lalu buru-buru ia melepas semua pakaian. Setelahnya ia segera menenggelamkan diri di dalam bathtub, memastikan air dan busa menyembunyikan tubuh telanjangnya.
Tidak ada yang akan terjadi. Semua akan baik-baik saja Carissa pasti bisa melewati hari ini dan besok adalah hari baru yang cerah.
Carissa mengulang kalimat itu dalam hati layaknya sebuah mantra. Perlahan tapi pasti, degup jantungnya yang sejak tadi bertalu-talu mulai melambat dan ia mulai rileks, menikmati saat berendam yang biasanya sangat Carissa sukai.
Lima menit berlalu, suara air yang mengalir dari pancuran mulai mengganggu pendengaran Carissa. Kemudian tanpa bisa dicegah, Carissa melirik tirai tipis yang membatasi bilik shower dan tempat Carissa berendam. Seketika wajah Carissa memerah malu saat ia bisa dengan leluasa melihat siluet tubuh telanjang Fachmi.
Astaga! Sepertinya Carissa mulai tertular virus m***m Fachmi. Kenapa sekarang dia jadi penasaran seperti apa tubuh lelaki itu yang diguyur air tanpa ditutupi tirai pengganggu itu?
“Carissa, sadar!”
Carissa menepuk pipi kanan dan kirinya bersamaan untuk mengenyahkan bayangan-bayangan yang mulai merambati otaknya.
“Jangan berendam terlalu lama. Kau bisa sakit.”
“HUWAA!!” Carissa berteriak kaget.
Dia terlalu tenggelam dalam lamunan hingga tidak menyadari bahwa suara air mengalir sudah berhenti dan kini Fachmi tengah berdiri menatapnya hanya dengan handuk melilit pinggang dan air menetes-netes dari tubuh.
“Kau kenapa?” kening Fachmi berkerut.
“Kau membuatku kaget!”
Fachmi hanya mengangkat bahu lalu berjalan ke pintu. Selangkah lagi dari pintu, mendadak Fachmi berhenti lalu menoleh kembali ke arah Carissa. “Kau berhutang membantuku cuci rambut. Lain kali aku akan menagihnya.” Kemudian Fachmi keluar meninggalkan Carissa seorang diri.
Dengan kesal Carissa menjulurkan lidah pada pintu yang tertutup. Dasar tukang perintah!
Namun beberapa saat kemudian, kengerian kembali menjalari hati Carissa. Apa dirinya bisa melewati malam ini dengan selamat? Sepertinya dia harus mulai membuat surat wasiat agar benda-benda kesayangannya jatuh ke tangan orang-orang yang tepat.
-----------------------
♥ Aya Emily ♥