Sangat Tajam

1471 Kata
Minggu pertama bekerja dengan Anvya Dante Sadajiwa terasa seperti sebulan penuh bagi Reema. Setiap pagi ia datang lebih awal walau malam sebelumnya habis lembur, memastikan ruang kerja Dante steril dari kekeliruan. Kopi favorit harus tepat rasanya, jadwal harus tersusun rapi tanpa satu pun yang terlewat, bahkan posisi duduk para tamu rapat pun harus sesuai permintaan sang CEO yang tidak pernah menyatakan pujian, hanya keheningan atau teguran. Setiap hari Reema dapat teguran, tapi yang paling membuatnya mulai sakit hati teguran datang di pertengahan minggu kedua bekerja sebagai sekretaris seorang Dante. Terjadi saat presentasi untuk meeting penting, Reema salah mencetak satu lampiran laporan—angka tahun fiskal tertukar. Hanya satu halaman dari tiga puluh yang keliru. Tapi Dante menemukannya. Di depan kepala divisi. Di tengah ruangan yang senyap. “Sulit dipercaya!” katanya, pelan tapi mematikan. Ia menatap Reema tanpa ampun, seolah kesalahannya sangat fatal. “Maaf, Pak... saya—" "Ini pekerjaan mudah and you failed at a basic detail. Apa perusahaan ini menetapkan standar asal-asalan untuk sekretaris saya? Termasuk kamu?!" Tidak ada teriakan. Tapi justru nada rendah itulah yang menusuk. Ditegur depan orang-orang yang ada di sana. Reema menunduk, mengangguk cepat. “Saya kurang teliti. Saya minta maaf, Pak. Saya akan perbaiki—” “Simpan permintaan maafmu, itu! Kesalahan seperti ini sudah saya ingatkan, untuk tidak terjadi! Buang-buang waktu!” Suara Dante tegas, dingin, dan berakhir dengan diam panjang yang membuat seluruh ruangan tertahan napas. Reema masih saja tidak berani mengangkat pandangan terutama semua mata menatapnya kasihan. Rapat dilanjutkan, tapi hati Reema sudah tertinggal di halaman yang salah cetak itu. Ia menahan semuanya sampai selesai. Tersenyum ketika diminta ambilkan makan siang klien. Mengangguk ketika Dante melemparkan berkas dengan nada “perbaiki ini sebelum jam tiga!” Ia hanya mengepalkan tangan yang berkeringat dingin, namun saat akhirnya sempat menyelinap ke kamar mandi di sudut lantai eksekutif, pertahanannya runtuh. Tangisnya meledak dalam diam setelah sejak awal menerima saja. Tanpa suara, hanya bahunya yang berguncang pelan di balik pintu kamar mandi yang tertutup. “Harusnya lebih teliti, bodoh banget sih aku?!” ia tidak kesal pada Dante, lebih kecewa pada dirinya sendiri. Sampai ditegur depan orang lain. Huft! Berulang ia menarik napas dalam, lalu melepas napasnya supaya tangisnya tidak berlanjut. Lalu berdiri, berjalan membuka pintu. Kemudian menatap dirinya di cermin—mata sembab, wajah kelelahan, dan jantung yang terus berdebar karena ingat sikap dingin bosnya. Reema, sanggupkah kamu? Satu pertanyaan berasal dari dalam dirinya terlempar untuk dirinya sendiri. Ini bukan soal gaji besar. Bukan soal kantor mewah tapi soal harga dirinya yang pelan-pelan digerus oleh ketidakramahan dunia yang disebut profesional sekali pun dia sudah melakukan yang terbaik. Ketika ada kesalahan kecil, seolah tatapan dan ucapan bosnya menunjukkan tidak pantasnya berada di sana. Namun, bahkan saat air matanya masih membekas, ia mengambil tisu, menarik napas dalam-dalam, dan berbisik pada bayangan dirinya, “ingat Bapak dan Adnan! Nggak boleh putus asa. Nyerah sekarang, bagaimana sama mereka?! Ini cuman ujian, aku harus lebih teliti bahkan jangan membiarkan kesalahan seperti tadi terulang!” Semangatnya pun kembali. Lalu ia merapikan make up dan keluar. Menghadap dunia dingin yang sama. Menghadapi atasan yang perlu tahu jika Reema tidak akan menyerah begitu saja. *** Reema keluar dari kamar mandi dengan wajah yang sudah kembali teratur—bedak tipis menutupi sembab, lipstik nude diperbaiki secukupnya. Tidak ada waktu untuk rapuh. Tidak ada ruang untuk terlihat lemah di kantor ini, apalagi di hadapan putra sulung Sadajiwa. Langkahnya tegap saat kembali ke meja. Tanpa jeda, ia mencetak ulang dokumen yang salah, mengecek ulang detailnya, dan mengantarkannya sendiri ke ruang kerja Dante. Ia hanya mengetuk, menyerahkan berkas tanpa bicara banyak. “Meski mungkin Pak Dante tidak membutuhkan ucapan maaf saya, sekali lagi saya perlu meminta maaf atas kesalahan saya tadi.” Dante tidak berkata apa pun. Tapi tatapannya mengikuti Reema lebih lama dari biasanya ketika perempuan itu berbalik sampai membuka, dan pintu kembali tertutup. Sepasang mata gelap itu menatap ke dokumen yang Reema letakan, ada hal yang tidak bisa ia ungkap di balik wajah datarnya. Heran dapati Reema masih bertahan. Lalu ia kembali bekerja seolah tidak terjadi apa-apa. Tidak semua orang bisa seperti itu. Sekretaris sebelumnya pasti sudah menghilang di jam makan siang atau esok harinya ia dapati pernyataan pengunduran diri. Menjelang sore, seorang tamu penting tiba dilantai ruang CEO perusahaan berada. Reema sempat diminta menyiapkan ruangan VIP, menyiapkan makanan ringan dan tak lama kemudian ia dipanggil langsung oleh Hans, tangan kanan Dante untuk dikenalkan. “Ini Pak Ardhani Nadav Sadajiwa, komisaris utama kita,” ucap Hans. Ada kemiripan dengan Dante, pun nama belakangannya, ditambah fotonya yang bersanding bersama Dante di beberapa majalah bisnis, bahkan papan digital besar di lobi, membuat Reema akhirnya bertemu langsung dengan Komisaris utama, pemegang saham utama sekaligus Ayah dari Dante. Reema menoleh dan langsung menunduk sopan, meletakan kedua tangan bertumpu diperut, “salam kenal, saya Reema Kanaya. Sekretaris baru Pak CEO.” Lelaki paruh baya yang berdiri di hadapannya memiliki aura elegan yang kuat—tidak setajam Dante, tapi tetap berwibawa. Senyumnya hangat, “Pak Nadav saja, panggil seperti yang lain.” Reema tersenyum memberi anggukan. “Sudah berapa hari bekerja dengan putraku?” Pertanyaan yang pasti atas dasar ayahnya ini tahu betul sikap putranya. “Ini minggu kedua, Pak." Papi dari Dante tersenyum lagi, “akhirnya ada yang bertahan selama ini.” Reema sudah dengar dari Ibu Lastari jika ada sekitar empat sekretaris baru sebelumnya yang diterima, lalu bertahan sebentar dan mengundurkan diri. Setelah sekretaris yang bekerja lama dengan Dante, memutuskan resign karena ikut suaminya pindah ke luar Negeri. Sejak itu, mencari sekretaris yang cocok sulit sekali. Reema tersenyum gugup. “Saya hanya berusaha melakukan yang terbaik, Pak.” Ardhani tertawa kecil, suaranya berat tapi ramah. “Tetap kuat, ya. Kadang kerja di dekat orang seperti Dante itu... harus tahan dengan suasana hatinya.” Pak Nadav terkekeh, Reema hanya tersenyum dan saat itulah, suara berat dari belakang memotong percakapan. “Dia masuk perempuan tipemu, Papi?” Seketika suasana membeku, kaku kembali. Dante berdiri di ambang pintu, satu tangan di saku celana, ekspresinya netral tapi nadanya... tajam. Tidak main-main. Sorot matanya tak tertuju pada Reema, tapi langsung menantang pria yang ia panggil Papi. Reema terpaku. Jantungnya berhenti berdetak sejenak. Pertanyaannya terlalu tiba-tiba. Terlalu tidak pantas. Terlalu... pribadi. Pak Nadav menatap putranya dengan raut terkejut dan sedikit tersinggung. “Dante,” tegurnya pelan tapi keras. “Kamu tidak seharusnya bicara seperti itu. Apalagi di depan stafmu.” Hening menggantung. “Aku hanya bertanya, jika Papi mau... aku tidak masalah membiarkannya pindah jadi stafmu membantumu secara profesional atau bahkan pribadi.” Jawabnya dengan rahangnya mengencang. Ada ketegangan yang lebih dari sekadar masalah pekerjaan antara ayah dan anak itu. Seperti ada sesuatu yang melatari sikapnya. Ada luka. Dan kini, Reema tanpa sengaja berada di tengahnya. Reema mengepalkan tangannya disisi tubuh, apa pun alasan Dante secara pribadi. Seharusnya tidak mengatakan seolah Reema ini barang yang siap dia berikan pada siapa pun. Lalu sambil menatap Dante tajam, Pak Ardhani menambahkan, “Jangan biasakan menyamakan profesionalitas dengan prasangkamu, Dante. Tarik ucapanmu, meminta maaf pada stafmu!” Dante justru berjalan menuju kursi, tidak ada keinginan menuruti ucapan papinya, “waktuku tidak banyak untuk hal tidak penting—“ “Dante!” Sorot matanya langsung beralih pada sekretarisnya, “apa ucapanku menyinggungmu, Reema Kanaya?” Reema langsung mengangkat tatapan bertaut dengan Dante. Perlukah dia bertanya? Jelas-jelas, ya! batinnya. Heran dengan sikap Dante, apa sisi arogannya sudah benar-benar akut hingga membuatnya tidak manusiawi sedikit saja? “Reema...” panggil Dante. Reema ingin langsung menjawab, ya! Tapi, dia enggan memperpanjang terutama depan komisaris utama. Namun terdorong ia tetap bicara... “saya tidak tahu tujuan Pak Dante mengatakannya serius atau hanya gurauan, tapi seperti kata Pak Nadav, saya setuju jika seharusnya tidak ada kalimat seperti barusan hanya untuk menguji kesetiaan dan profesional kerja saya di sini untuk Pak Dante. Maafkan saya, jika dianggap lancang menjawab ini, Pak Nadav...” Papi tersenyum mendengar jawaban sekretaris putranya, “terima kasih sudah berkata jujur, Reema... dan tidak perlu meminta maaf. Harusnya Dante tidak sembarang bicara padamu." Pak Nadav meminta ia dan Hans keluar, Reema masih tegang sebab merasa kali ini Dante lebih kelewatan dibanding menegurnya depan banyak orang yang terjadi di hari ini juga. "Reema..." panggil Hans. "Ya, Pak Hans?" "Saya hanya perlu mengingatkan, Pak Bos memang tidak akan senang melihat perempuan mana pun selain Nyonya Sadajiwa, adik perempuannya terlalu dekat dengan Pak Nadav. Sikap seperti tadi, bisa dianggap kamu sengaja menarik perhatian Pak komisaris." "Tapi, saya tadi hanya bersikap ramah karena beliau komisaris utama." Menurutnya tidak ada yang aneh, masih batas wajar saja. "Dengarkan saja apa yang saya beritahu barusan." Kata Hans lagi dan berlalu. Reema semakin tidak mengerti. Pun tidak berani menatap Dante tadi, mungkin jawabannya berbalik menyinggung atasannya. Dia tidak peduli, karena kalimat Dante sudah menginjak harga dirinya. Sementara itu Dante sempat mengikuti punggung Reema yang menjauh, agak tersentak mendapati Reema berani mengutarakannya walau dengan susunan kata yang hati-hati sekali.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN