Dibalik Nama Sadajiwa

1346 Kata
“Belum tidur kamu, Kak?” Reema yang tengah menyelesaikan setrika pakaiannya menoleh, mendapati adiknya berjalan ke arahnya. “Belum, kelarin ini dulu buat dipakai besok. Biar gak keburu-buru...” Adnan mengangguk, pilih duduk dekatnya. Saat sedang menyetrika, ia tidak berani menghidupkan televisi karena bisa tidak kuat daya listrik rumah mereka. “Bapak sudah tidur?” tanyanya sambil menoleh ke kamar yang ditempati bapaknya. “Baru saja, tadi enggak bisa. Batuk terus, dikasih obat baru. Obatnya juga tinggal satu kali minum. Besok kamu tebus obatnya dek, pas balik sekolah. Aku kasih uangnya.” Adnan mengangguk, kemudian mendekat, “kalau masih banyak sini aku saja yang lanjutin, kakak tidur saja. Mesti bangun subuh juga kan?” sudah hampir tengah malam saat itu. Reema menarik sudut bibirnya, “dikit lagi, tinggal ini saja.” Tarikan napas Adnan dalam, kemudian ia bertanya “tempat kerja sekarang, oke kan? Kakak jadi berangkat pagi pulang malem terus... kerjaannya banyak?” Kondisi keluarga yang sederhana, dan mereka hanya dua bersaudara ditambah Adnan cukup paham situasi mereka, buatnya lebih dewasa dari usianya. Tidak segan memberi perhatian, Reema sangat diringankan dengan sikap pengertian adiknya. Tangan Reema terulur, kemudian mengacak kepala Adnan, “oke, gajinya lebih besar dari sebelumnya. Aku juga bisa mulai nyisihin buat bayar hutang Bapak sekalian nyisihin tabungan kamu dek.” “Dulu kakak kuliah karena Bapak masih usaha, ada Ibu juga... kalau aku, sudah terima kok seandainya enggak kuliah. Enggak mau terus jadi beban kakak... mending aku kerja saja, bisa bantu.” Remma menggantung kemeja yang sudah rapi, kemudian melipat alas setrikanya “kita usahakan dulu, kalau mau sambil kerja juga boleh.” Adnan mengangguk, kemudian tiba-tiba dia mendekat dan memeluk Reema “kangen Ibu...” Reema seketika terdiam, kesedihan bernama rindu pada sosok Ibu yang sudah tiada menyeruak dari hatinya, “sama, tapi Ibu lebih butuh doa kita sekarang dibanding kesedihan menangisi kerinduan ini.” Adnan mengangguk, Reema memutar tubuhnya kemudian merentangkan tangan “sini peluk kakak,” Adnan membutuhkan pelukan, Reema juga. Ia menghirup dalam napasnya, lalu mengeratkan pelukan. “Aku akan lakukan apa pun, kerja keras buat kamu bisa kuliah dek... sama biaya bapak, walau kata dokter sudah sulit buat sembuh... Bapak harus dapat pengobatan yang layak biar bisa tetap bersama kita.” “Kak, pernah merasa kalau aku dan Bapak ini beban nggak sih? Kalau kami enggak nyusahin, pasti Ka Reema sudah nikah kayak teman-teman kakak... sudah punya pasangan dan berkeluarga sendiri.” Reema terdiam sesaat, namun kemudian tangannya terulur menyentil kening adiknya “kamu dan Bapak bukan beban, keluarga bukan beban. Kalau soal itu, aku memang belum siap menikah... kecuali mendapati pasanganku kelak bisa menerima kondisiku, keluargaku... keadaan kita.” Adnan menatap kakaknya, “harus suami super kaya kalau begitu, yang pantas buat kakakku!” Reema menggelengkan kepala pelan, “kaya kalau sikapnya minus ya buat apa?” Kemudian ia terdiam, teringat atasannya. Tampan, Gagah dan Kaya. Tiga kata yang selalu meluncur ringan dari mulut siapa pun saat membicarakan atasannya. Seolah sang Bos, Anvaya Dante Sadajiwa diciptakan dari standar sempurna majalah bisnis dan mimpi-mimpi perempuan metropolitan. Kini setelah ia berhadapan langsung dan bekerja dengannya, Reema merinding sendiri. Mengusir tiga kata itu kurang lengkap. “Kenapa, Kak?” “Sudah malam, kamu tidur... besok kesiangan lagi!” Katanya malah meminta adiknya untuk segera kembali ke kamar, beristirahat karena malam semakin larut. Sementara Reema merapikan setelah selesai dengan tugas rumahnya, dia memastikan pintu rumah sudah ke kunci barulah berbaring diranjang tua miliknya. *** Reema mengeratkan pegangan pada buku catatannya, mempertimbangkan langkah untuk masuk. Jadi takut karena detik sebelumnya, dua orang yang menghadap sang Bos keluar dengan wajah pucat dan terburu-buru. Ia berbalik, memejamkan mata sekilas lalu bergumam “ya ampun baru kali ini aku bertemu manusia paling dingin, galak dan jangan lupakan dominan. Sangat dominan. Pantas nggak ada yang tahan lama di sini—“ Pintu tepat di belakangnya terbuka, Reema terkejut dan berbalik hingga hampir menabrak atasannya. Dante menaikkan satu alis, “ngapain kamu?” “Oh, eh...” dia jadi gugup. Sial! Batinnya. “Mau ngasih surat resign?” Tanyanya dengan nada datar. Reema membulatkan matanya kemudian menggeleng pelan, “Pak Dante kenapa ingin sekali saya resign sih?” dia balikan kalimat itu. “Ya, kalau kerjamu tidak becus... buat apa saya pertahankan kamu?” katanya hendak melangkah ke samping. Namun, Reema juga mengambil langkah yang sama jadi terkesan menghalangi. Satu alis Dante naik, memerhatikannya “Pak Dante mau ke mana?” “Saya harus lapor ke kamu?” “Ya, harus pak!” Reema menaikkan nada terdengar menekan, “nanti kalau misal ada yang telepon, terus nyariin Pak Dante... saya jawab apa?!” Dante melipat tangannya, kemudian membungkuk ke depan membuat Reema sampai memundurkan wajahnya. Tatapan mata mereka bertaut dalam. “Kamu katanya cerdas, memikirkan jawaban begitu saja tidak bisa?” “Pak—“ Hans muncul bersama seorang pria dengan pakaian rapi, Reema sudah bertemu beberapa kali dengan pria bernama Mohamed Ibra Sakib itu. Selain bagian posisi penting sebagai Vice Director di perusahaan ini, Ibra juga teman dekat Dante. Tatapan keduanya melihat posisi Dante dan Reema yang terlalu dekat, Reema refleks hendak mundur terlalu cepat hingga tidak melihat posisinya. “Astaga!” dia terjungkal, hampir bokongnya jatuh keras ke lantai sampai ia memejamkan mata tapi merasa sebuah rangkulan di pinggangnya. Tangan kokoh membelit erat, kemudian tubuhnya ditarik cepat hingga menabrak dadanya yang bidang dan keras. Ia membuka mata perlahan, mencium aroma parfum yang manly jelas mahal. Saat mendongak, Dante kembali memosisikan menunduk dan memberi tatapan lekat “selain tidak teliti, kamu mau menunjukkan dirimu yang ceroboh, Reema Kanaya?” “Maaf, Pak!” dia berseru dan refleks mendorong lepas, mundur dan menunduk. Dante menatap dua orang lainnya, “tetap tinggal di sini, paling bentar lagi Mamiku akan datang. Katakan padanya, aku sibuk dan baru kembali sore nanti.” Reema memberi anggukan, “baik Pak, saya sampaikan—“ Reema hampir mendengus saat dapati Dante begitu saja melangkahkan kaki sebelum mendengar jawabannya. “Oh ya ampun, setan saja pasti minder sama sikap minusnya itu!” decak Reema. Menghela napas dalam-dalam, kemudian kembali ke tempat duduknya, “Mami? Maksudnya Pak Dante Ibu Hestia Femina-Sadajiwa?” Reema belum pernah bertemu dengannya. Dia lanjut fokus bekerja, dan saat waktunya makan siang mengambil bekal yang dibawa walau hanya nasi, telur dan tumis toge-tahu saja. Dia pilih untuk turun ke kantin, membeli jus. Saat antre masih saja dapati beberapa mata menatapnya asing, walau sebagian sudah tahu posisinya sebagai sekretaris Dante. “Benar gak sih, berita kalau Nolan Sadajiwa bakal balik Jakarta dan ambil posisi juga?” Reema tetap berusaha fokus pada layar ponselnya, membalas pesan temannya. “Iya katanya, setelah lama tinggal di Luksemburg sama ibunya... pasti bakal balik ikut ngurus perusahaan ini. Sama-sama pewaris, walau dari istri muda.” Cukup berani rekannya menjawab, walau suaranya dipelankan, Reema tetap bisa mendengar karena posisinya yang membelakangi ketiga staf tersebut. Reema menajamkan telinganya, selain mengenai Dante... kabar mengenai Pemimpin atau komisaris utama Sadajiwa yang punya istri dua memang akhirnya Reema dengar. Nama pria yang baru disebutkan, merupakan anak laki-laki lain yang dimiliki selain Dante. Dari istri mudanya yang tidak pernah muncul di publik. Kenyataan yang akhirnya membuat Reema menarik garis merah, mungkin sikap dingin Dante beberapa hari lalu pada sang Papi di hadapan Reema karena pilihan hidup papinya. Sisi lain dari segala yang dimiliki keluarga Sadajiwa. Reema segera membawa jus yang dibelinya kembali ke lantai dua puluh tiga. Selama lift bergerak naik, ia terus memikirkan kerumitan keluarga pemilik perusahaan tempatnya kerja. Denting lift terdengar, pintu bergeser dan Reema mengambil langkah keluar saat matanya menemukan dua orang wanita beda usia berpakaian sama-sama modis, dan seorang anak laki-laki baru saja keluar dari ruangan bosnya. Matanya membulat terkejut, lalu terburu lebih dulu meletakan jus itu di mejanya sebelum menghampiri semuanya. Mereka adalah, Mami, kembaran Dante dan putra kecilnya. “Se-selamat siang, saya Reema—“ “Sekretaris baru? Saya heran kenapa mejamu tadi kosong. Di mana Dante?” tanya wanita paruh baya yang langsung memotong ucapan Reema, ia berpenampilan elegan seperti ibu-ibu sosialita kelas atas, dia adalah Hestia Femina-Sadajiwa. Tatapan matanya tidak kalah lekat dan tajam seperti Dante, mampu membuat lawan bicaranya langsung gugup.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN